Dr. Abdullah Roy, M.A, Kajian Kitab, Kitabul Iman

Kajian Kitabul Iman – 05, Dr. Abdullah Roy, M.A

5 views

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ. أَمَّا بَعْدُ.

Ayyuhal ikhwah, kita lanjutkan pembahasan Kitab Al-Iman yang ditulis oleh Ibnu Abi Syaibah, seorang imam di antara imam-imam Ahlusunah wal Jamaah yang meninggal pada tahun 235 Hijriah. Sampai kita kepada yang terakhir adalah hadis yang panjang yang berkaitan dengan datangnya seorang Arab Badui kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan.

Di antara faedah yang bisa kita ambil adalah bahwa iman ini memiliki rukun-rukun yang harus ada di dalam diri orang yang beriman, seperti misalnya beriman kepada Allah, beriman bahwasanya Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ adalah Rasulullah. Demikian pula di sana ada yang dinamakan dengan rukun-rukun Islam: salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, zakat, berhaji. Dan barang siapa yang mencukupkan dirinya dengan perkara yang diwajibkan dan tidak melakukan perkara yang disunahkan, dan dia benar-benar menjaga kewajiban-kewajiban tersebut, maka ini bisa menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Kita lanjutkan hadis yang selanjutnya. Nah.

بِسْمِ اللَّهِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأُسْتَاذِنَا وَلِمَشَايِخِنَا وَلِلْوَالِدَيْنِ وَلِلْحَاضِرِينَ وَلِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ. آمِينْ.

قَالَ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى. بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ:

قَالَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مَسْعَدَةَ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْإِسْلَامُ عَلَانِيَةٌ وَالْإِيمَانُ فِي الْقَلْبِ، ثُمَّ يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى صَدْرِهِ: التَّقْوَى هَاهُنَا، التَّقْوَى هَاهُنَا.

Nah, diceritakan kepada kami dari Zaid ibn al-Hubbab, dari Ali ibn Mas’adah. Diceritakan kepada Qatadah, dan diceritakan kepada Anas ibn Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Ia berkata, Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ bersabda, “Islam itu ditampakkan, dan iman itu ada di dalam hati.” Kemudian beliau menunjuk dengan tangannya ke arah dadanya mengatakan, “Takwa itu ada di sini, dan takwa itu ada di sini.”

Nah, berkata Ibnu Abi Syaibah رَحِمَهُ اللَّهُ:

حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مَسْعَدَةَ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ.
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ bersabda:

الْإِسْلَامُ عَلَانِيَةٌ وَالْإِيمَانُ فِي الْقَلْبِ.

Ucapan beliau, الْإِسْلَامُ عَلَانِيَةٌ. Islam ini adalah sesuatu yang nampak. Maksudnya adalah bahwa amalan-amalan Islam itu nampak dengan perilaku-perilaku yang zahirah (yang kelihatan). Amalan-amalan Islam nampak dengan perilaku-perilaku yang kelihatan oleh manusia. Ini adalah bagian dari keislaman, bentuk dari ketundukan kita kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Seperti misalnya salat lima waktu, nampak dan dilihat oleh orang lain. Salat berjamaah, nampak dan dilihat oleh orang lain, dan ini semua adalah bentuk ketundukan kita kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Membayar zakat, nampak dan dilihat oleh orang lain, seorang mengeluarkan sebagian hartanya. Berhaji juga demikian, dia melakukan bepergian, melakukan tawaf, sa’i, wukuf. Maka الْإِسْلَامُ عَلَانِيَةٌ. Amalan-amalan Islam ada di antaranya yang terlihat oleh orang lain, seperti contohnya yang tadi kita sebutkan.

Kemudian ucapan beliau, وَالْإِيمَانُ فِي الْقَلْبِ. Dan iman itu di dalam hati. Maksudnya adalah pembenaran yang sebenarnya. Maka di dalam hati tidak mengetahuinya kecuali Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Seperti misalnya kepercayaan, meyakini bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang mencipta, dialah yang memberikan rezeki, dialah yang berhak untuk disembah. Meyakini bahwasanya malaikat itu ada, dan bahwasanya dia adalah hamba-hamba Allah yang tidak memaksi Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di dalam apa yang Allah perintahkan. Maka ini semua ada di dalam hati seseorang. وَالْإِيمَانُ فِي الْقَلْبِ. Dan iman itu berada di dalam hati.

Sebagian mengatakan bahwa ini menunjukkan perbedaan antara Islam dengan iman. Menunjukkan perbedaan antara Islam dengan iman. الْإِسْلَامُ عَلَانِيَةٌ وَالْإِيمَانُ فِي الْقَلْبِ. Berarti apa yang bisa kita ambil kesimpulan? Islam itu adalah amalan-amalan yang zahir. Sedangkan iman adalah amalan-amalan yang batin yang ada di dalam hati seseorang. Ini perbedaan antara Islam dengan iman. Islam adalah amalan-amalan zahir. Iman adalah apa yang ada di dalam hati seseorang.

Dan ini dikuatkan oleh hadis Jibril عَلَيْهِ السَّلَامُ ketika malaikat Jibril datang dan bertanya kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ, “أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِسْلَامِ؟” Beliau mengatakan, “الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا.” Ketika ditanya tentang Islam, beliau menjawab dan menyebutkan rukun Islam, dan semuanya adalah amalan-amalan yang zahir. Antum perhatikan.

Kemudian ketika beliau ditanya tentang iman, “أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ؟” Kabarkan kepadaku tentang iman. Beliau mengatakan, “أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.” Menyebutkan amalan-amalan yang batin.

Sehingga apabila terkumpul antara lafaz Islam dan juga iman dalam satu dalil, maka memiliki makna yang berbeda. Islam mewakili amalan-amalan yang zahir, dan iman mewakili amalan-amalan yang batin. Islam mewakili amalan-amalan yang kelihatan. Sedangkan iman ini mewakili amalan-amalan yang tidak kelihatan, yang ada di dalam hati seseorang.

Tapi kalau Islam datang sendiri di dalam sebuah dalil, atau iman lafaznya datang dalam keadaan sendiri di dalam sebuah dalil, maka dia menjadi sesuatu yang umum mencakup amalan zahir maupun amalan yang batin. Saya ulangi, kalau lafaz Islam datang sendiri dalam sebuah dalil, atau lafaz iman datang sendiri dalam sebuah dalil, maka dia menjadi lafaz yang umum mencakup amalan yang zahir maupun amalan yang batin. Iya.

Ketika misalnya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan, “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ.” Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada Allah dan juga rasul-Nya. Di sini disebutkan iman secara sendirian, maka dia mencakup amalan-amalan yang zahir maupun amalan-amalan yang batin.

Ketika Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ mengatakan, “الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً.” Iman itu ada 70 cabang lebih. Maka beliau mengatakan, “فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ.” Yang paling tinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Di sini disebutkan iman, cabang-cabang keimanan. Ternyata juga disebutkan di situ amalan-amalan yang zahir: mengucapkan lailahaillallah, menyingkirkan gangguan dari jalan. Maka seperti yang tadi kita sebutkan, kalau datang lafaz iman dalam keadaan sendirian, berarti dia mencakup amalan yang zahir maupun amalan yang batin.

Ini yang diucapkan oleh para ulama bahwasanya Islam dan juga iman مِنَ الْأَلْفَاظِ الَّتِي إِذَا اجْتَمَعَتْ افْتَرَقَتْ وَإِذَا افْتَرَقَتْ اجْتَمَعَتْ. Termasuk lafaz yang apabila dia iftaraqat, atau sebelumnya ijjtamaat (kalau misalnya lafaz-lafaz ini bersatu, berkumpul dalam satu tempat), maka dia iftaraqat (maka dia berpisah), berpisah apanya? Maknanya. Kalau dia berkumpul, maka berpisah maknanya. Berkumpul tempatnya, maka berpisah maknanya. Seperti ini: Islam dan iman berkumpul jadi satu dalam satu dalil. Akhirnya berpisah maknanya. Islam adalah amalan-amalan yang zahir. Iman adalah amalan-amalan yang batin.

وَإِذَا افْتَرَقَ (Kalau berpisah), sendiri-sendiri. Ini datang dalam dalil secara sendirian. Yang ini juga datang di dalam dalil secara sendirian. Maka dia memiliki makna yang umum, mencakup keseluruhan. Ya, Islam mencakup amalan yang zahir maupun yang batin. Iman juga demikian, mencakup amalan yang zahir maupun yang batin.

Yang semisal dengan ini banyak, seperti misalnya iman dan juga takwa. Iman dan juga takwa termasuk lafaz yang seperti ini. Kalau dia berkumpul jadi satu, maka makna iman adalah menjalankan perintah. Bertakwa maknanya adalah menjauhi larangan. Iman menjalankan perintah. Bertakwa menjauhi larangan. Itu kalau jadi satu, contoh misalnya firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)
“Ketahuilah bahwasanya wali-wali Allah, tidak ada rasa takut atas mereka, dan mereka tidak bersedih. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63).

Apa yang dimaksud dengan beriman? Menjalankan perintah. Apa yang dimaksud dengan bertakwa? Menjauhi larangan. Tetapi kalau lafaz iman datang sendirian, atau takwa datang sendirian, maka iman menjadi umum. Takwa juga menjadi umum. Iman menjadi umum, mencakup menjalankan perintah dan juga menjauhi larangan. Ketakwaan juga demikian, menjadi umum, menjalankan perintah dan juga menjauhi larangan.

Misalnya, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ mengatakan, “اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ.” Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah di mana pun engkau berada.

Baik. Siapa yang bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan takwa di sini? Ketika Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan, “اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ.” Iya. Nah, sebelah kanan. Nah, yang ngantuk bangun sebentar, sebelah kanan dulu. Ustaz sudah jelaskan tadi. Iman, takwa kalau bersatu maknanya demikian. Kalau berpisah demikian. اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ. Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Apa maksudnya? Ah, silakan Faturahman.

“Ya, selalu dalam pengawasan Allah.”

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ. Makna bertakwa kepada Allah di sini apa? Baik, Doni tolong dibantu ininya kalau ada mic-nya ya. Petugas mic. Iya. Tolong dibantu ambilin mic-nya. Saya lihat banyak yang duduk tapi enggak konsen.

Doni, coba. “اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ” bimakna ee taatilah Allah dan jauhilah larangannya di mana saja kamu berada. Jalankan, jalankan perintahnya dan jauhilah larangannya di mana saja kau berada. Baik.

Kenapa Antum maknai bertakwa di sini menjalankan perintah dan menjauhi larangan?
“Karena jika ee kalimat takwa datang sendirian, maka maknanya juga beriman.”

Iya. Berarti maknanya apa? Ada dua makna. Menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Menjauhi larangannya.

Ustaz sebelah sini coba diulang nih satu orang. Iya. Makna takwa fi kalimah اتَّقِ اللَّهَ ustaz ya. Al makna takwa dalam sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM اتَّقِ اللَّهَ dalam hadis ini.

التَّقْوَى أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ تَرْجُو ثَوَابَ اللَّهِ، وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ تَخَافُ عِقَابَ اللَّهِ.

(Tepuk tangan). Bisa diringkas, berarti makna ketakwaan di sini apa? Mentaati perintah Allah, menjalankan menjalankan perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Iya.

Kenapa kita artikan takwa di sini dengan dua makna tadi? Karena tidak menyatu lafaznya dengan kalimat iman. Karena dia datang dengan sendiri. Sendirian, tidak bersama iman.

Baik. Itu makna ucapan الْإِسْلَامُ عَلَانِيَةٌ وَالْإِيمَانُ فِي الْقَلْبِ.

Kemudian beliau mengatakan, ثُمَّ يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى صَدْرِهِ. Anas bin Malik mengatakan, “Kemudian Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ mengisyaratkan dengan tangan beliau kepada dadanya.” Ya, maksudnya adalah seperti ini (menunjuk ke dada), disyaratkan dengan tangan beliau, dengan dengan tangan beliau kepada dadanya. Ini menunjukkan terkadang seorang ketika dia mengajar, dia menggunakan isyarat tangan atau yang lain, ingin menunjukkan penguatan, ingin menguatkan apa yang beliau ucapkan. Ya, terkadang beliau seperti ini (menunjuk ke dada), ingin mengatakan bahwasanya Muslim bagi Muslim yang lain seperti ini.

يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا.
“Saling menguatkan satu dengan yang lain.”

Di sini beliau mengisyaratkan dengan tangan beliau dan menunjuk kepada dadanya. Apa yang beliau katakan? التَّقْوَى هَاهُنَا. Ketakwaan itu berada di sini. Maksudnya bagaimana? Maksudnya adalah ketakwaan yang sebenarnya itu asalnya adalah berada di dalam hati. Asalnya, asasnya, pondasinya adalah apa yang ada di dalam hati seseorang. Berupa rasa takut kepada Allah, merasa diawasi oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, rasa harap, ketergantungan kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Asalnya apa yang ada di dalam hati seseorang. Kemudian rasa takut tersebut, rasa cinta tersebut, rasa harap tersebut, akhirnya muncul di dalam lahir seseorang. Ya, ketika benar-benar takut kepada Allah, akhirnya muncul sujud, karena dia takut kalau sampai tidak bersujud kepada Allah. Ketika dia ada rasa takut kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, akhirnya dia pun meninggalkan kemaksiatan. Dari mana itu semua muncul? Asalnya adalah apa yang ada di dalam hati seseorang. Jadi maksudnya adalah asasnya, pondasinya itu ada di dalam hati.

Sebagaimana ucapan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ di dalam hadis yang lain. أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ. Ketahuilah bahwasanya di dalam jasad kita masing-masing ada segumpal daging. Dia segumpal saja ya, dibandingkan dengan jasad kita secara keseluruhan. Dia adalah sesuatu yang sangat kecil, tetapi ternyata dia memiliki peran yang besar. Apabila dia baik, sehat, di dalamnya ada rasa takut kepada Allah, di dalamnya dipenuhi dengan rasa harap dengan rahmat Allah, di dalamnya ada مُرَاقَبَةُ اللَّهِ (merasa diawasi oleh Allah), صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ, maka seluruh jasad akan baik. Tangan takut untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Lisan akan takut mengucapkan ucapan yang jorok. Matanya akan takut untuk melihat sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Telinganya takut untuk mendengar sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Dari mana itu semua? Awalnya dari hati. Pondasinya adalah dari al-qalb.

Tapi ketika hati ini rusak, qolbun ini rusak, rasa takutnya kepada Allah lemah, rasa مُرَاقَبَتُهُnya lemah, maka akan nampak di dalam jawarih seseorang, anggota badan seseorang. Jadi enggak bisa dibohongi. Sangat erat hubungannya antara anggota badan kita dengan apa yang ada di dalam jantung kita. Kita bisa tahu orang ini kalbunya sedang ke mana-mana. Dia enggak bersama ustaz karena matanya ngelihat sana ya, ngelihat kanan, ngelihat kiri, ke samping ngobrol. Oh, berarti ini tahu kalbunya ini enggak sama kita ini. Ya, jangan, enggak bisa dibohongi. Ada hubungan yang erat antara apa yang ada di dalam kalbu seseorang dengan apa yang ada di lahirnya. Kita tahu seseorang itu sedang takut. Dia kelihatan gelisah ke sana kemari. Oh, berarti ini kalbunya sedang takut.

Tidak bisa dibohongi antara tidak bisa dibohongi. Kita bisa mengetahui zahir seseorang dari qalbun seseorang. Sebaliknya orang yang kalbunya مَمْلُوءٌ بِذِكْرِ اللَّهِ (penuh dengan zikir kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى), kalbunya penuh dengan zikir kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, maka akan terlihat pada ketenangan dia. Ketenangan dia dalam kehidupan dia sehari-hari. Ketenangan dia dalam menghadapi berbagai permasalahan. Karena memang kalbunya penuh dengan mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ.
“Orang-orang yang beriman dan tenang qolbun-qolbun mereka dengan mengingat Allah. Ketahuilah bahwasanya dengan mengingat Allah, maka hati ini akan menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

Kemudian beliau mengulangi dan mengatakan التَّقْوَى هَاهُنَا. Ketakwaan itu berada di sini. Berarti beliau mengulangi dua kali. Menunjukkan kita ini harus memiliki perhatian terhadap qalbun kita lebih daripada yang lain. Jangan kita hanya memiliki perhatian terhadap jasad kita saja. “Saya ingin sehat, makan yang banyak, makan yang sehat, olahraga dengan alasan biar sehat, Ustaz, biar kuat.” Silakan kita memperhatikan jasad kita supaya dia sehat. Tapi di sana ada bagian jasad kita yang harus kita perhatikan lebih daripada yang lain. Yang itu lebih fatal kalau sampai dia rusak, yaitu yang berkaitan dengan qalbun seseorang. Kalau Antum rutin tiap pekan futsal, rutin tiap pekan renang, karena dengan alasan sehat ya, tiap berapa hari sekali nge-gym dengan alasan supaya kuat, sehat, maka ketahuilah perhatian kita terhadap qalbun kita harus lebih besar lagi. Karena ini berkaitan dengan nasib kita di dunia maupun di akhirat.

التَّقْوَى هَاهُنَا. Ketakwaan itu berada di dalam kalb. Maksudnya adalah pondasinya. Dan ini bukan berarti cukup seseorang bertakwa hanya di dalam hatinya saja. Jangan dipahami demikian. Jadi maksud ucapan beliau di sini adalah itu adalah sumbernya, itu adalah pondasinya. Bukan berarti ketakwaan hanya yang ada di dalam hati. Karena sebagian mungkin salah paham ketika dia diajak (berbuat) baik, dilarang untuk melakukan kemungkaran. Yang akhwat misalnya disuruh untuk memakai hijab yang syar’i, yang laki-laki misalnya disuruh untuk memelihara jenggotnya, tidak memotong jenggotnya, kemudian dia mengatakan, “Kan iman di dalam hati. Takwa kan yang penting di dalam hati. Yang penting saya beriman, yang penting saya percaya kepada Allah, kepada hari akhir. Meskipun saya tidak berhijab, ya tidak masalah. Meskipun saya memotong jenggot atau isbal, dia mengatakan tidak masalah. Yang penting kan hati saya bersih.” Nah, ini salah paham terhadap dalil. Ini namanya mengikuti hawa nafsu. Ke mana hadis-hadis yang isinya adalah perintah Allah? Ke mana hadis-hadis yang isinya adalah larangan Allah? Kemudian kita berpegang dengan satu hadis dan kita tinggalkan ratusan bahkan ribuan hadis yang isinya adalah menjalankan perintah dan juga menjauhi larangan. Ini namanya mengikuti hawa nafsu.

Ahlusunah di antara ciri-ciri mereka adalah mengumpulkan dalil. Mengumpulkan dalil, baru mereka mengambil kesimpulan.

Hadis ini ada yang mendaifkan karena di dalamnya ada seorang rawi yang bernama Ali Ibnu Mas’adah. Dan Ali Ibnu Mas’adah dia adalah seorang yang daif. Dia adalah seorang yang daif. Sehingga ada yang mendaifkan hadis ini. Cuma maknanya sahih. Maknanya sahih sebagaimana yang tadi kita sebutkan dan didukung oleh dalil-dalil yang lain.

Zaid Ibnu Hubab. Zaid Ibnu Hubab meninggal dunia pada tahun 203 Hijriah. Ini adalah guru dari mualif Ibnu Abi Syaibah, dan dia adalah seorang yang tsiqah, dan ada yang mengatakan beliau adalah seorang yang shaduq.

Ali Ibnu Mas’adah (daif). Beliau mengatakan:

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ.
“Telah menceritakan kepada kami Qatadah.” Qatadah beliau adalah Qatadah Ibnu Di’amah As-Sadusi. Qatadah Ibnu Di’amah As-Sadusi. Meninggal pada tahun 117 Hijriah. ثِقَةٌ ثَبْتٌ. ثِقَةٌ ثَبْتٌ. Ini tingkatan yang tinggi di dalam rawi-rawi hadis. ثِقَةٌ (tsiqah), ثَبْتٌ (tsabat), orang yang terpercaya dan dia adalah orang yang kokoh hafalannya, termasuk seniornya para tabiin. Termasuk seniornya para tabiin. Dan beliau adalah seorang imam di dalam ilmu hadis, di dalam hadis maupun di dalam tafsir. Banyak nama beliau disebutkan di dalam kitab-kitab tafsir. Dikenal sebagai seorang yang wara’ dan juga dikenal dengan ilmu fikihnya. Dan beliau adalah murid dari Anas bin Malik رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ.

Beliau mengatakan:
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ.
“Telah mengabarkan kepada kami Anas bin Malik.” Dan Anas bin Malik adalah pelayan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ, dan telah melayani Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ selama 10 tahun. Dan beliau termasuk tujuh orang sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM yang banyak meriwayatkan hadis dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM.

Nah, insya Allah kita lanjutkan setelah azan.

(Azan)

Nah, satu hadis lagi. أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ.

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى:

قَالَ حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ الْمِقْدَامِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو هِلَالٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ.

تَرْجَمَ: Telah mengabarkan Mus’ab ibn al-Miqdam. Telah mengabarkan Abu Hilal. Dari Qatadah, dari Anas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, ia berkata, Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ bersabda, “Tidak ada keimanan baginya bagi siapa yang tidak amanah.”

Nah, kemudian beliau mendatangkan dengan sanadnya sampai kepada Anas bin Malik kembali. Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam bersabda:

لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ.
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak ada amanat baginya.” Ini menunjukkan bahwasanya menunaikan amanah adalah termasuk bagian dari iman. Dan menunaikan amanah di sini umum. Baik amanah harta (dipercaya untuk memegang harta kaum muslimin atau lembaga atau komunitas tertentu), maka dia jaga harta tersebut dan jangan sampai digunakan di dalam perkara-perkara yang bukan pada tempatnya. Atau amanah di dalam pekerjaan. Mendapatkan amanah sebagai seorang ketua atau sebagai seorang sekretaris. Maka seorang yang beriman yang tahu bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyuruh kita untuk menunaikan amanah. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM juga menyuruh kita untuk menunaikan amanah. Dan bahwasanya amanah termasuk di antara yang akan ditanya di hari kiamat. Maka seorang yang beriman dia melaksanakan amanah tersebut meskipun tidak ada manusia yang melihat. Karena dia sadar Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang Maha Mengetahui apa yang dia lakukan. Jadi orang yang beriman menjaga amanah. Semakin besar imannya, semakin dia menjaga amanahnya. Sehingga sejak dahulu para para sahabat رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ, para aimmah, bagaimana semangat mereka untuk menjaga amanah ini. Seperti Umar bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ dan sebelumnya Abu Bakar As-Siddiq, karena amanah yang di pundak mereka besar sebagai seorang khalifah. Sehingga seperti Umar bin Khattab terkadang di malam hari beliau keliling, beliau tidak ingin ada orang yang kelaparan, dan kalau beliau mendapatkan, maka beliau segera kembali ke gudangnya. Dia angkat sendiri. Gandum, dia berikan kepada orang yang membutuhkan. Kenapa yang demikian dilakukan? Karena beliau merasa ini adalah amanah. Tahu ini adalah amanah yang besar yang akan ditanyakan di hari kiamat.

Maka kita sebagai seorang muslim perlu diperhatikan amanah. Kalau amanahnya harus melakukan ini, harus melakukan itu selama sekian jam, maka kita berusaha untuk melaksanakan amanah tersebut. Sekali lagi, semakin besar keimanan seseorang, maka akan semakin dia menjaga amanahnya. Tapi semakin sedikit, tipis keimanan seseorang, maka akan semakin sedikit juga dia dalam melaksanakan amanah. Orang yang mengawasi, lalai sebentar saja, maka langsung dia mengkhianati amanah tersebut karena imannya terlalu tipis, ya. Perasaan diawasi oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dia sangat kurang, sehingga mudah sekali dia mengkhianati amanah tersebut.

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan, “لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ.” Tidak ada iman orang yang tidak memiliki amanat sama sekali. Kalau sampai seseorang enggak ada amanat sama sekali, ya, dikasih amanat apapun dikhianati, berarti sudah sama sekali enggak ada amanah di dalam dirinya, berarti tidak ada iman di dalam dirinya. Berkhianat sampai dalam perkara-perkara yang besar, yaitu khianat yang sampai kepada nifak yang besar. Iya. Ini kalau sampai sama sekali enggak ada amanah. Amanah dalam masalah dunia, amanah dalam masalah agama. Karena yang namanya amal saleh, salat ya, yang kita lakukannya adalah amanah. Berhijab ini adalah amanah. Seseorang sesuai dengan kadar iman yang ada di dalam hatinya, maka dia akan melaksanakan, menunaikan amanah tersebut.

Kok kalau sampai sama sekali tidak ada amanah dari sisi agama, dia enggak melaksanakan agama, ketika bermuamalah dengan orang lain juga tidak menunaikan amanah, berarti tidak ada iman sama sekali. Nah, ini menunjukkan tentang peran amanah dan kedudukan amanah di dalam iman.

Dan ucapan seperti ini, ayyuhal ikhwah, menunjukkan bahwasanya iman adalah perkara yang wajib. Kalau sampai Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM menafikan, sampai menafikan keimanan dari seseorang ketika dia tidak melakukan sesuatu. Ketika Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM menafikan keimanan dari seseorang ketika dia tidak melakukan sesuatu, berarti melakukan sesuatu tadi hukumnya adalah wajib. Ini kaidah ya Antum pegang. Ketika Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM menafikan keimanan dari seseorang karena tidak melakukan sesuatu, berarti keimanan tersebut hukumnya apa? Berarti sesuatu tersebut hukumnya wajib. Ini termasuk kamalul iman al-wajib. Ini adalah termasuk kesempurnaan iman yang wajib.

Contoh misalnya, وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ. Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Siapa ya Rasulullah?
قَالَ: مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ.
“Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi kalau Antum punya tetangga, tetangganya enggak merasa aman dengan Antum. Enggak nyaman hidup bertetangga dengan Antum. Enggak nyaman dari sisi apa? Enggak nyaman? Khawatir ya, diganggu ya, dicurangi, diambil hartanya atau diganggu keluarganya. Dia enggak merasa aman keluar dari rumahnya pergi ke kantor kerja. Dia enggak merasa aman, jangan-jangan tetangganya berbuat tidak baik kepada keluarganya. Nah, ini barang siapa yang sampai tetangganya demikian, Nabi mengatakan لَا يُؤْمِنُ. Beliau nafikan dari orang tersebut keimanan. Ya, berarti apa? Menunjukkan bahwa menghargai tetangga, menghormati tetangga, ini merupakan sebuah kewajiban. Kalau sampai tidak ada, dosa kita. Karena ini adalah sebuah kewajiban.

Contoh yang lain, لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri. Kalau dia cinta dirinya tidak diganggu oleh orang lain, maka dia juga tidak. Maka dia senang juga apabila saudaranya tidak diganggu oleh orang lain. Apabila dia senang, dirinya sehat, maka dia harus senang juga apabila saudaranya sehat. Nah, ini perasaan seperti ini, cinta untuk diri sendiri, untuk saudaranya, apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri, ini adalah sebuah kewajiban. Artinya kita melakukan dosa.

Berarti menunaikan amanah adalah sebuah kewajiban, dan bahwasanya menunaikan amanah ini adalah bagian dari iman.

Mus’ab Ibnu Miqdam beliau adalah Al-Bashri. Salah satu di antara orang yang tsiqah dan termasuk rawi-rawi yang ada dalam Shahih Bukhari dan juga Muslim.

Abu Hilal dia adalah Ar-Rasibi. Namanya adalah Muhammad Ibnu Salim. Muhammad Ibnu Salim Ar-Rasibi. Dan Ar-Rasibi ini adalah nama sebuah kabilah, namanya Bani Rasib. Dinisbahkan kepada Rasib, dan dia adalah kabilah yang ada di Al-Basrah. Jadi bukan karena dia rasib ya, bukan karena dia Rosib ujian, tapi karena ini adalah nama sebuah kabilah. Abu Hilal Ar-Rasibi, Muhammad ibn Salim Ar-Rasibi. Baik.

Qatadah. Siapa Qatadah di sini? Na’am sebelah sini tadi sudah disebutkan Qatadah. Na’am. Siapa Qatadah? Sebelah kiri. Nah, Qatadah Ibnu Di’amah As-Sadusi, ahlut tafsir, ahlul hadis, ahlul fikih. Kemudian beliau meriwayatkan kembali dari Anas, seorang sahabat Nabi sallallahu alaihi wasallam, pelayan Nabi sallallahu alaihi wasallam dan termasuk
di antara tujuh orang sahabat Nabi sallallahu alaihi wasallam yang paling banyak paling banyak riwayatnya dari Nabi sallallahu alaihi wasallam. Baik, itu yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini. Insyaallah kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.


. وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.