Dr. Abdullah Roy, M.A, Kajian Kitab, Kitabul Iman

Kajian Kitabul Iman – 04, Dr. Abdullah Roy, M.A

3 views

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang telah banyak memberikan kenikmatan dan juga karunia kepada kita semuanya. Tentunya nikmat yang paling besar dan karunia yang paling agung yang Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى limpahkan kepada kita adalah nikmat hidayah kepada Islam dan juga sunah. Semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mematikan kita dan menghidupkan kita di atas Islam dan juga sunah. Selawat dan salam semoga senantiasa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى curahkan kepada orang yang menjadi sebab kita mendapatkan hidayah. Beliau adalah Nabi kita Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.

Hadirin, para jemaah, para mahasiswa, dan juga para mahasiswi, semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى senantiasa menjaga kita semuanya. Insya Allah kita lanjutkan pembahasan Kitabul Iman yang ditulis oleh Ibnu Abi Syaibah, yang meninggal dunia pada tahun 235 Hijriah. Telah kita baca bersama pada pertemuan yang terakhir hadis Ibnu Abbas. Insya Allah akan kita lanjutkan dengan membaca bersama hadis Anas ibni Malik رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ, yang isinya adalah kedatangan seorang Arab Badui kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan. Jadi, hampir sama dengan hadis sebelumnya.

Baik, siapa yang membaca? Nah. Silakan.

بِسْمِ اللَّهِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِأُسْتَاذِنَا وَلِمَشَايِخِنَا وَلِأَبَوَيْنَا وَلِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ. آمِينْ.

أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ. قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى:

حَدَّثَنَا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كُنَّا قَدْ نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، وَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ. فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَتَاكَ رَسُولُكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ؟ فَقَالَ: صَدَقَ. قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ؟ قَالَ: اللَّهُ. قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟ قَالَ: اللَّهُ. قَالَ: فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ؟ قَالَ: اللَّهُ. قَالَ: فَبِاللَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، اللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: زَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا وَلَيْلَتِنَا. قَالَ: صَدَقَ. قَالَ: فَبِاللَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ الْجِبَالَ، اللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: زَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا شَهْرًا فِي عَامِنَا نَصُومُهُ. قَالَ: صَدَقَ. قَالَ: فَبِاللَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ الْجِبَالَ، اللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: زَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا الْحَجَّ إِلَى الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا. قَالَ: صَدَقَ. قَالَ: فَبِاللَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ الْجِبَالَ، اللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَزِيدُ عَلَيْهِ شَيْئًا وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُ شَيْئًا. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ صَدَقَ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

Nah, beliau mendatangkan hadis Anas. Berkata Anas bin Malik رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ:

كُنَّا قَدْ نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، وَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ.

“Kami dahulu,” maksudnya adalah para sahabat رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ, “dahulu kami dilarang untuk bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tentang sesuatu.” Dan maksudnya adalah tentang sesuatu yang tidak bermanfaat, tentang sesuatu yang apabila ditanyakan justru malah akan memberikan مَشَقَّةٌ (keberatan, mudarat), sebagaimana firman Allah عَزَّ وَعَلَّى:

لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ.
“Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu apabila pertanyaan tersebut dijawab, dinampakkan jawabannya, justru akan membawa keberatan pada diri kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 101)

Berarti di sana ada pertanyaan-pertanyaan yang justru bukan memberikan manfaat tapi akan membawa mudarat, seperti yang terjadi pada Bani Israil ketika diperintahkan untuk أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً (untuk menyembelih sapi). Kemudian mereka justru malah bertanya bagaimana sifatnya, apa kriterianya, apa warnanya, sampai hampir-hampir mereka tidak bisa mendapatkan sapi yang disebutkan kriterianya. Maka jangan sampai kita mengikuti jejak Bani Israil.

Ini yang dimaksud dengan dilarang bertanya di sini. Adapun bertanya dengan maksud untuk belajar, bertanya dengan maksud untuk memahami, maka ini tentunya diperintahkan bukan dilarang. Sehingga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.
“Maka hendaklah kalian bertanya kepada ahludzikr (ahli ilmu), ahlal ilm, ahlal Quran, apabila kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Kita disuruh untuk bertanya. Abdullah ibn Abbas رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا, seorang alim di antara ulama para sahabat. Padahal beliau adalah termasuk yuniornya, bukan seniornya, tapi dikenal dengan keilmuannya. Pernah ditanya, “Bagaimana engkau bisa mendapatkan ilmu sebanyak ini?” Maka beliau menyebutkan rahasianya. Apa rahasianya?
بِقَلْبٍ عَقُولٍ وَلِسَانٍ سَؤُولٍ.
“Dengan hati yang berakal dan lisan yang mudah bertanya.”

بِقَلْبٍ عَقُولٍ: Dengan jantung atau dengan kalb yang berakal, artinya berusaha untuk memahami. Dan ini perlu usaha bagaimana supaya kalbu kita ini memahami, hadir di sini. Di antaranya adalah dengan menjauhkan diri kita dari hal-hal yang bisa merusak konsentrasi kita. Entah itu HP atau teman yang mengajak ngobrol, atau rasa ngantuk. Rasa ngantuk jangan dibawa ke sini ya. Karena kalau dibawa ke sini, ini juga akan merusak konsentrasi. Berarti bagaimana caranya supaya ketika menghadiri majelis ilmu tidak hadir rasa ngantuk tersebut? Karena ini di antara kunci untuk mendapatkan ilmu. Seorang datang dengan jasadnya tetapi hatinya tidak bersama kita, memikirkan yang lain. Dan itu kelihatan ya dari wajah-wajahnya yang dia pikir bukan ilmu. Hah, ini kelihatan dia mikir makanan atau kapan selesainya dan seterusnya, ini kelihatan. Nah, ini meskipun dia duduk setiap hari bertahun-tahun untuk menghadiri, untuk mendapatkan ilmu, maka dia akan sulit untuk mendapatkan ilmu tersebut. Habis sebaliknya, 15 menit Antum duduk tapi Antum konsentrasi ya, maka ini akan bermanfaat bagi diri Antum. Ini sebentar saja antara Magrib dan Isya ini, kurang berapa menit? Tinggal setengah jam saja.

بِقَلْبٍ عَقُولٍ: Kemudian yang kedua kuncinya adalah وَلِسَانٍ سَؤُولٍ dan lisan yang mudah untuk bertanya. Maksudnya apa? Kalau memang ada sesuatu yang perlu ditanyakan, disampaikan oleh ustaz atau yang dibaca di dalam kitab yang berkaitan dengan agama Allah, maka dia berusaha untuk menanyakan pertanyaan tersebut. “Ustaz, saya sering lupa. Saya ingin tanya tapi saya lupa apa yang harus saya tanyakan kepada ustaz.” Nah, ini perlunya kita membawa kertas ya. Itu ada dua sisi. Sisi sebelah kanan yang kosong itu bisa ditulis pertanyaan-pertanyaan yang ingin kita sampaikan. Tek, misalnya Antum terbetik, “Ini maksudnya apa ya?” Maka Antum tulis di situ. Sehingga apa? Nanti bisa ditanyakan di akhir majelis. Atau seandainya di akhir majelis ustaz tidak membuka pertanyaan, maka nanti bisa ketika kita ketemu dengan ustaz di luar majelis. Yang penting pertanyaan sudah tertulis. Nah, ini dengan cara seperti ini, semoga waktu Antum di sini setahun, 2 tahun, 3 tahun atau lebih ini, Antum bisa mendapatkan ilmu.

Jadi ini yang dimaksud dengan كُنَّا قَدْ نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ. Jadi bukan berarti dalam agama kita dilarang sama sekali kita untuk berpikir, dilarang untuk bertanya, tidak. Silakan bertanya. Ya, ustaz pun nanti akan menjawab sesuai dengan kemampuannya. Kalau dia bisa menjawab, ya dia jawab sesuai dengan ilmu yang dia miliki. Kalau tidak mampu, ya dia akan serahkan kepada yang lain. وَاللَّهُ أَعْلَمُ. Silakan bertanya kepada asatizah yang lain, kepada para masyaikh. Antum juga bisa bahas ya ke maktabah atau sekarang lewat internet bisa mencari juga jawabannya.

وَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ.
“Dan dahulu يُعْجِبُنَا. يُعْجِبُنَا artinya adalah يَسُرُّنَا، يُسْعِدُنَا. Kami senang.” Jadi bukan “mengherankan kami,” itu terjemahan letterlijk-nya demikian. Tapi orang Arab ketika mereka mengatakan يُعْجِبُنَا, maksudnya adalah يَسُرُّنَا، يُسْعِدُنَا. Kami sangat gembira. Ketika datang seorang laki-laki dari أَهْلِ الْبَادِيَةِ (orang Badui), dan di sana maksudnya adalah orang gurun. Karena di Jazirah Arab ada perkotaan. Nah, di sana ada orang-orang yang tinggal di gurun, orang-orang أَهْلُ الْبَادِيَةِ yang mereka ini memiliki sifat-sifat yang khusus yang tidak dimiliki biasanya oleh orang-orang yang ada di kota. Di antaranya adalah mereka polos, ikhlas, luarnya sama dengan dalamnya. Tidak ada yang mereka sembunyikan. Kalau mereka ngomong ‘a’ ya ‘a’ itu yang ada di dalam hatinya. Kalau mereka mengatakan hitam ya hitam, putih ya putih. Ini yang disenangi oleh para sahabat dari orang-orang أَهْلُ الْبَادِيَةِ tersebut, tidak ada kepentingan tertentu.

Tetapi di sini disebutkan sifatnya adalah الْعَاقِلُ (orang yang berakal) di antara أَهْلُ الْبَادِيَةِ. Karena أَهْلُ الْبَادِيَةِ juga ada yang berakal, ada yang tidak berakal. Mereka juga bermacam-macam. Orang yang berakal yang maksudnya adalah yang menggunakan akalnya dengan baik. Karena manusia semuanya berakal. Ada di antara mereka yang menggunakan akalnya dengan baik. Dan inilah الْعَاقِلُ. Dan di sana ada orang yang tidak menggunakan akalnya dengan baik. Bahkan orang modern pun, orang perkotaan pun juga sama, ada yang akil, ada yang ghairu akil. Dan maksudnya di sini adalah yang menggunakan akal. Dia punya akal. Ya, dia punya akal, tapi kalau dia tidak menggunakan akal, maka disamakan dengan orang yang tidak punya akal. Jadi, tidak semua orang أَهْلُ الْبَادِيَةِ pertanyaannya baik, tapi yang berakal di antara mereka yang menggunakan akalnya. Dan perlu diketahui bahwa agama yang datang dari Allah عَزَّ وَعَلَّى dibawa oleh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ adalah agama yang sesuai dengan akal. Karena agama ini berasal dari Allah dan akal Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang menciptakan. Kalau akalnya masih sehat, tidak berpenyakit, tidak sakit, maka pasti dan bisa dipastikan akal tersebut sesuai dengan apa yang ada di dalam dalil. Tapi kalau akalnya tidak sehat, maka yang terjadi adalah komentar-komentar, ucapan-ucapan yang ingin menunjukkan bahwasanya agama ini atau syariat ini tidak sesuai dengan akal manusia. Kalau ada yang mengucapkan demikian, berarti akal yang dia miliki adalah akal yang tidak sehat.

فَيَسْأَلُهُ. Kemudian orang gunung itu pun dia bertanya, وَنَحْنُ نَسْمَعُ. “Dan kami pun mendengar.” Karena mereka senang kalau ada orang Arab Badui datang bertanya, mereka berusaha untuk mendengar. Kenapa mereka berusaha untuk mendengar? Pertanyaan yang akan disampaikan adalah pertanyaan yang bermanfaat dan mereka akan mendengar apa yang diucapkan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ, apa yang beliau lakukan, karena itu adalah bagian dari wahyu.

فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ. Maka datanglah seorang laki-laki dari Badui.

وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَتَاكَ رَسُولُكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ؟
Nah. أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ. Beliau mengatakan:

فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ.
Maka dia pun, yaitu laki-laki ini berkata, “Ya Muhammad, wahai Muhammad,” memanggil Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ dengan namanya. Tahunya, ya, dia adalah namanya Muhammad, memanggilnya juga Muhammad. Ini di antara sifat orang Badui adalah mereka memiliki sifat kasar, ya. Dan ketika memanggil pun dengan cara seperti ini. Memanggil namanya langsung. Padahal beliau adalah seorang kepala negara, seorang nabi, seorang yang dikedepankan, pemuka. Tapi demikianlah sifat orang Badui dan ini bisa dimaklumi oleh para sahabat رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ saat itu. Adapun para sahabat, maka mereka kalau memanggil apa? Ya Rasulullah, ya Nabi Allah.

أَتَاكَ رَسُولُكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ؟
“Datang utusanmu,” karena saat itu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ mengirim utusan ke orang-orang yang ada di gurun. “Islam bukan hanya untuk orang-orang yang ada di kota saja, tetapi juga untuk orang-orang yang ada di pedalaman. Dan beliau adalah seorang nabi untuk seluruh manusia.” Makanya beliau حَرِيصٌ (bersemangat), bersemangat bagaimana supaya Islam dikenal oleh semua manusia. Beliau utus para rasul, para utusan, supaya tidak ada lagi alasan kami belum mendengar Islam, kami belum mengetahui tentang hari akhir. Beliau utus utusan-utusan menuju ke tempat-tempat yang jauh tersebut. Dan ini menunjukkan, ayyuhal ikhwah, pentingnya dakwah di daerah-daerah pedalaman. Ingat bahwasanya yang ingin masuk surga bukan hanya kita saja. Di sana ada dan banyak saudara-saudara kita di pedalaman, di kampung-kampung, mereka belum mengenal Islam dengan baik. Bahkan sangat minim pengetahuan mereka tentang Islam, tentang Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ.

Pernah mungkin ustaz ceritakan ada survei di sebagian kampung yang jauh. Ditanya tentang siapa nama nabimu, dia tidak tahu. Dia mengatakan, “Sepertinya dia Abu Bakar atau Umar, saya tidak tahu.” Dibaca atau disuruh di antara mereka disuruh untuk membaca Al-Fatihah, berkali-kali dia salah, bolak-balik. Ini menunjukkan bagaimana keadaan saudara-saudara kita. Dan Antum bisa survei sendiri bagi Antum yang tinggal di daerah-daerah, bagaimana keadaan keislaman mereka. Sehingga bukan hanya di zaman dahulu, di zaman sekarang pun masih banyak saudara-saudara kita yang tinggal di pedalaman yang mereka belum terlalu mengenal tentang Islam ini. Yang seandainya Antum bacakan sebuah ayat, Antum terjemahkan, Antum bacakan sebuah hadis, Antum terjemahkan, niscaya itu menjadi hadiah yang besar bagi mereka, menjadi cahaya bagi mereka.

Antum mungkin di sini hanya menghafal mungkin 10 hadis atau 42 hadis yang ada di dalam Arbain Nawawiyah. Mungkin kita biasa mendengarkannya. Tapi ketika Antum jelaskan di hadapan mereka satu hadis saja, atau Antum menjelaskan tentang الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, ayat di dalam Surah Al-Fatihah, itu mungkin menjadi ilmu yang begitu besar bagi mereka. Mungkin baru pertama kali mereka mendengarkan tentang tafsir yang seperti itu. Sehingga jangan kita merasa kecil hati ya, bagaimanapun nilai Antum di kelas, insya Allah Antum masih bisa mengajarkan orang lain kebaikan, ada manfaatnya bagi manusia.

Dan alhamdulillah sudah mulai banyak program-program pengiriman dai di pedalaman, dan kita di Yayasan HSI juga alhamdulillah sudah mulai mengirimkan dai di pedalaman, di antaranya adalah berdasarkan hadis yang seperti ini. Dan alhamdulillah dari yayasan-yayasan yang lain dari Multaqad Duat Indonesia juga demikian, memiliki program-program, memiliki program yang berkaitan dengan pengiriman dai. Dan kita pun di sini di Yayasan Riyadus Shalihin juga demikian. Karena kita di Banten, di sebelah barat, selatan itu juga masih banyak kampung-kampung, daerah-daerah yang perlu dakwah. Masih belum terjamah dengan tauhid, belum terjamah dengan sunah. Nah, di sini juga ada qismud dakwah. Dan kita harapkan nanti dari kampus kita juga memiliki رِجَالٌ ya, kita memiliki رِجَالٌ دَعْوَةٍ, para mahasiswa yang mereka siap untuk menyampaikan satu atau dua ayat, satu atau dua hadis kepada para jemaah kaum muslimin yang ada di sekitar kampus kita ini.

Kemudian beliau mengatakan:

وَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ؟
“Kemudian dia menyangka, ‘Utusanmu ini cerita kepada kami, mendakwahi kami.'” Dia menyangka bahwasanya engkau meyakini bahwa Allah mengutusmu. Utusan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ, salah seorang sahabat, datang ke kampungnya dan mengatakan bahwasanya Muhammad ibn Abdillah diutus oleh Allah. Ini maksud dari orang Badui ini. Dia menceritakan kepada Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ bahwasanya utusan beliau mengatakan demikian. Mengatakan bahwasanya engkau adalah seorang utusan Allah.

فَقَالَ: صَدَقَ.
“Maka beliau mengatakan, ‘Benar.'” Apa yang diucapkan oleh utusan tadi benar. Aku adalah seorang Rasulullah.

قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ؟ قَالَ: اللَّهُ. قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟ قَالَ: اللَّهُ. قَالَ: فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ؟ قَالَ: اللَّهُ.
Kemudian laki-laki ini kembali bertanya. Dan ini adalah pertanyaan orang yang berakal. Kita lihat bagaimana bentuk atau letak akal yang dia miliki. “Siapa yang menciptakan langit?” قَالَ: اللَّهُ. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ mengatakan, “Allah.” “Kemudian dia kembali bertanya, ‘Siapa yang menciptakan bumi?'” قَالَ: اللَّهُ. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ mengatakan, “Allah.” Dia bertanya kembali, “Siapa yang menancapkan gunung-gunung ini?”

Karena gunung-gunung ini apabila seseorang melihat ke dalam atau yang ada di bawah gunung, maka dia akan seperti paku yang menghujam ke bumi. Jadi gunung ini bukan hanya atasnya ada tanah yang menjulang ke atas saja, tetapi di bawahnya ada paku, ya, ada pakunya. Dia adalah menghunjam ke bumi. Bahkan ada yang mengatakan, sesuai dengan tinggi gunung tersebut, maka ke bawahnya juga demikian. Jadi kalau tingginya yang paling tinggi berapa kilo? Abdullah Fauzan Indonesia, berapa kilo? Paling tinggi. Hah? 4,5 kilo. Berarti ke bawahnya juga 4,5 kilo. Karena dia sering naik gunung gitu ya. Jadi ini adalah paku. Makanya dinamakan gunung itu sebagai paku bumi yang dengannya bumi ini akan tidak goncang. Sehingga orang yang sering naik gunung harusnya mengingat kebesaran Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ۝ وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ ۝ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ۝ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ.
“Mengapa mereka tidak melihat kepada unta, bagaimana ia diciptakan? Dan kepada langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan kepada gunung-gunung, bagaimana ia ditancapkan? Dan kepada bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghashiyah: 17-20).

“Siapa yang menciptakan gunung-gunung ini?” قَالَ: اللَّهُ. Maka beliau mengatakan, “Allah.”

Setelah menyebutkan tiga pertanyaan, berarti Allah yang menciptakan langit, menciptakan bumi, menancapkan gunung.

قَالَ: فَبِاللَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ الْجِبَالَ، اللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟
Maka demi zat yang telah menciptakan langit, menciptakan bumi, dan menancapkan gunung-gunung ini, bersumpah dengan nama Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Karena Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ meyakini tentang Allah dan meyakini bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang menciptakan langit yang demikian besarnya, bumi yang membentang, gunung yang demikian tingginya. Dia ingatkan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ dengan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang melakukan itu semuanya.

Kemudian bersumpah dengan nama Allah dan bertanya kembali, “Allahu arsalaka?” “Apakah benar Allah yang telah mengutusmu?” Benar atau tidak Allah yang telah mengutusmu. Mukadimahnya apa? Diingatkan tentang Allah dan juga kebesaran-Nya. Ini menunjukkan akal dari orang Badui ini. Dia mengetahui tentang akidah, keyakinan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ. Maka dia tidak hanya bertanya kamu rasul atau bukan. Tidak. Tapi diawali dengan mukadimah. Mukadimah yang isinya adalah pertanyaan ingin mengingatkan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ tentang kebesaran Allah. Supaya ketika beliau menjawab, menjawab dengan صِدْقٌ (jujur). Supaya ketika menjawab, menjawab dengan benar.

Ini boleh Antum praktikkan dalam kehidupan sehari-hari ya. Ketika Antum ingin mengajarkan anak, mengajarkan murid, ya, ingin meyakinkan sesuatu supaya dia tidak bohong, tidak bohong, tidak dusta. “Siapa yang menciptakan langit? Allah.” “Demi Allah, apakah kamu tadi demikian dan demikian?” Kalau memang ini perkaranya yang perkara yang besar. Ya. Ya. Karena bersumpah dengan nama Allah ini tidak sembarangan, tidak digunakan dalam setiap perkara yang kecil maupun yang besar. Tapi الْقَسَمُ بِاللَّهِ (bersumpah dengan nama Allah) itu digunakan dalam perkara-perkara yang besar.

Kemudian beliau mengatakan:

قَالَ: زَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا وَلَيْلَتِنَا. قَالَ: صَدَقَ. قَالَ: فَبِاللَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ الْجِبَالَ، اللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ.

Pertanyaan yang pertama, “Allah yang mengutusmu?” Beliau mengatakan, “Iya.” Setelah yakin beliau adalah seorang Rasulullah, maka beliau menyebutkan pertanyaan yang kedua. Dan kalau kita lihat urutan pertanyaan ini menunjukkan tentang akal yang dimiliki oleh laki-laki ini. Dia mengatakan, “زَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا وَلَيْلَتِنَا.” “Utusanmu menyangka bahwasanya kami wajib untuk melakukan lima kali salat di dalam satu hari (dan) kami.” Berarti setelah syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ dan bahwasanya syahadat Muhammad adalah Rasulullah, bertanya tentang kewajiban salat. “Benar enggak kalau engkau memang Rasulullah, rasulmu, utusanmu mengatakan bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى telah mewajibkan kita untuk melakukan lima kali salat dalam sehari?” قَالَ: صَدَقَ. Maka beliau mengatakan, “صَدَقَ.” Benar. Apa yang dia katakan. Beliau membenarkan apa yang dibawa oleh rasul tersebut. Dan ini menunjukkan bahwasanya seorang dai yang diutus harus amanah, karena dia mengatasnamakan agama. Jangan sampai dia mengubah-ngubah sesuatu di dalam agama ini. Kalau memang lima salat, ya lima salat saja yang disampaikan. Kalau memang Subuh dua rakaat, ya, Subuh dua rakaat saja yang disampaikan. Jangan dia merubah-rubah di dalam agama ini.

قَالَ: زَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا شَهْرًا فِي عَامِنَا نَصُومُهُ. قَالَ: صَدَقَ. قَالَ: فَبِاللَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ الْجِبَالَ، اللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ.

Pertanyaan yang selanjutnya, “زَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا شَهْرًا فِي عَامِنَا نَصُومُهُ.” “Utusanmu menyangka bahwasanya wajib bagi kami untuk berpuasa 1 bulan di dalam 1 tahun kami,” maksudnya adalah berpuasa di bulan Ramadan. قَالَ: صَدَقَ. Nah, maka Nabi mengatakan, “صَدَقَ.” Betul apa yang dia ucapkan adalah benar. Kemudian dia bertanya, “Maka demi zat yang menciptakan langit, menciptakan bumi, menancapkan gunung-gunung tersebut, apakah Allah yang telah memerintahkan kamu melakukan yang demikian?” قَالَ: نَعَمْ. Beliau mengatakan, “Iya.”

Dari salat kemudian puasa. Karena memang Rasul tadi mungkin ketika dia menyampaikan kepada orang-orang Arab Badui menyampaikan hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا.

Sesuai dengan apa yang ada di dalam hadis. Kemudian beliau mengatakan:

قَالَ: زَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا الْحَجَّ إِلَى الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا. قَالَ: صَدَقَ. قَالَ: فَبِاللَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ الْجِبَالَ، اللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ.

زَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا الْحَجَّ إِلَى الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا.” “Rasulmu, utusanmu menyangka bahwasanya kewajiban bagi kami untuk berhaji bagi siapa yang mampu menuju ke sana.” قَالَ: صَدَقَ. Beliau mengatakan, “صَحِيحٌ.” Betul dia jujur. Kemudian dia bertanya, “Maka demi zat yang telah menciptakan langit, menciptakan bumi, dan menancapkan gunung-gunung, Allah yang telah memerintahkan kamu dengan yang demikian?” قَالَ: نَعَمْ. Beliau mengatakan, “Iya.”

Setelah menyebutkan beberapa rukun Islam tadi, maka dia pun mengatakan:

وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَزِيدُ عَلَيْهِ شَيْئًا وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُ شَيْئًا.

“Demi zat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambah sedikit pun dari (rukun-rukun Islam) ini, dan aku tidak akan mengurangi darinya sedikit pun.” Artinya, sesuai dengan apa yang tadi kita bicarakan, berarti ada kewajiban salat, ada kewajiban puasa, ada kewajiban haji, dan mungkin dia bukan termasuk orang yang kaya, sehingga tidak diwajibkan untuk melakukan membayar zakat. Dia mengatakan, “Saya tidak akan menambah.” Maksudnya, saya tidak akan melakukan perkara-perkara yang sunah. Dia tidak melakukan salat rawatib, dia tidak melakukan salat Dhuha, dia tidak melakukan salat witir, salat malam, dia tidak melakukan puasa Syawal, tidak akan melakukan puasa Arafah, dan seterusnya. Dia tidak mau menambah, dan dia tidak ingin mengurangi juga. Maksudnya apa? Dia akan jaga kewajiban tadi, lima waktu dia kerjakan, tidak akan dia kurang, tidak akan bolong-bolong dalam mengerjakan salat lima waktu. Kalau memang punya kewajiban zakat, maka dia akan membayar zakat. Kalau memang punya kewajiban berpuasa, maka dia akan berpuasa. Kalau memang punya kewajiban berhaji, maka dia akan berhaji. Dia hanya mencukupkan diri dengan perkara yang wajib saja sampai dia meninggal dunia.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ صَدَقَ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

“Maka Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam mengatakan, ‘Jika dia jujur,’ ya, kalau dia jujur, kalau dia benar di dalam ucapannya. Jujur maksudnya adalah yang dia praktikkan sama dengan yang dia ucapkan tadi. Ya, dia tidak menambah dengan amalan-amalan yang sunah, dan rukun-rukun tadi dia memang benar-benar laksanakan sampai dia meninggal dunia. دَخَلَ الْجَنَّةَ (maka dia akan masuk ke dalam surga).'”

Ini menunjukkan tentunya di antara faedahnya adalah pertama bahwasanya di dalam Islam ada perkara-perkara yang merupakan perkara yang inti di dalam agama ini, atau dinamakan dengan rukun. Berarti iman ada yang merupakan rukun, ada yang bukan merupakan rukun. Ada yang sunah, ada yang wajib. Ada yang pokok, ada yang tidak pokok. Jadi iman bukan hanya satu jenis saja. Di sana ada rukun iman, ada rukun Islam. Di sana ada perkara yang disunahkan, rahmat dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan hikmah dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil bahwa orang yang selama hidupnya sebagai seorang muslim, mencukupkan dirinya dengan kewajiban.


Tapi syaratnya apa? صَدَقَ. Jujur, luar dalamnya, ya. Dia melaksanakan kewajiban tersebut dengan ikhlas, tauhid, sampai dia meninggal dunia. Maka ini bisa menjadi modal dia untuk masuk ke dalam surga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, meskipun dia tidak melakukan amalan-amalan yang sunah sekalipun. Dia bisa masuk surga dengan melaksanakan rukun iman. Ini menunjukkan tentang tingginya kedudukan rukun iman di dalam agama kita. Jangan kita meremehkan salat 5 waktu. Jangan kita remehkan tentang puasa di bulan Ramadan. Haji bagi orang yang punya kewajiban untuk berhaji, maka dia berhaji. Ini di antara faedah yang bisa kita ambil yang berkaitan dengan keimanan.

Baik, terkait dengan para perawi yang ada di dalam hadis ini.

حَدَّثَنَا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ.
Syababah Ibnu Sawwar meninggal pada tahun 206 Hijriah. Dan dia adalah seorang yang tsiqah, tsabat, termasuk rawi Shahihain, rawi yang ada di dalam Shahih Bukhari dan juga Shahih Muslim.

Kemudian gurunya:
قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ.
Ini supaya Antum tahu kedudukan para rawi hadis. Mereka bukan orang sembarangan ya. Jangan dikira mereka orang-orang yang biasa, orang-orang bodoh yang hanya sekedar menyampaikan hadis begitu saja. Enggak. Mereka ini ulama-ulama kibar. Kalau Antum sekarang kagum terhadap fulan dan fulan, ustaz atau kagum terhadap syekh fulan, syekh fulan, ketahuilah bahwasanya mereka ini kedudukannya jauh lebih hebat, lebih tinggi daripada orang-orang yang Antum kagumi di zaman sekarang.

Sulaiman Ibnu Mughirah meninggal pada tahun 143 Hijriah dan beliau juga seorang yang tsiqah, orang yang tsiqah, dan ini adalah derajat yang tinggi bagi seorang rawi hadis.

Kemudian beliau meriwayatkan dari Tsabit al-Bunani:
عَنْ ثَابِتٍ.
Tsabit di sini adalah Tsabit al-Bunani. Dan Tsabit al-Bunani lengkapnya adalah Tsabit Ibnu Aslam al-Bunani, Al-Bashri, meninggal dunia pada tahun 127 Hijriah. Dan beliau adalah seorang yang tsiqah abid. Beliau adalah seorang yang tsiqah (terpercaya dari sisi keilmuan, hadis, hafalannya), di waktu yang sama beliau adalah seorang yang ahli ibadah, termasuk seniornya para tabiin. Dikenal sebagai seorang ahli ibadah dari Basrah.

Hammad ibn Zaid mengatakan, “مَا رَأَيْتُ أَعْبَدَ مِنْ ثَابِتٍ.” “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih banyak ibadahnya daripada Tsabit.” Dan beliau ini termasuk orang yang paling dekat atau guru yang paling dekat dengan, eh, seorang murid yang paling dekat dengan Anas bin Malik, sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ. Bahkan termasuk orang yang paling banyak riwayatnya dari Anas bin Malik. Berarti beliau mengumpulkan antara ilmu dengan ibadah.

Seorang thalibul ilm hendaknya memiliki sifat demikian atau mendekati yang demikian. Jadi bukan hanya belajar-belajar saja, tetapi dari sisi ibadah jauh. Jangan sampai demikian. Adalah di malam hari Antum bagian untuk melakukan salat malam, sedekah yang meskipun enggak seberapa ya. Kemudian salat rawatib 12 rakaat ini jangan sampai ketinggalan, membaca Al-Qur’an mungkin 100 ayat dalam sehari atau satu halaman dalam sehari. Ada sebagian di antara ibadah-ibadah tersebut yang Antum lakukan. Jangan benar-benar lepas, terpisah antara ilmu yang kita miliki dengan ibadah-ibadah tersebut. Rata-rata para ulama, ya, para rawi dahulu, mereka mengumpulkan antara ilmu dengan ibadah.

Nah, beliau meriwayatkan dari siapa? Anas:
عَنْ أَنَسٍ.
Beliau meriwayatkan dari Anas. Anas siapa ini? Anas bin Malik ya, seorang sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ dan beliau adalah seorang pelayan, pembantu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam. Meninggal dunia pada tahun 93 Hijriah di Basrah. Dan Tsabit al-Bunani tadi dari mana? Dari Basrah. Menimba ilmu dari Anas. Anas dulu tinggalnya di Madinah kemudian tinggal di Basrah. 10 tahun beliau menjadi pembantu manusia yang terbaik di muka bumi ini dan dicintai oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam pernah mendoakan, ya, mendoakan kebaikan untuk Anas bin Malik, meskipun pembantu. Nah, ini di antara kebaikan ketika kita dekat dengan seseorang yang saleh. Mungkin dia tidak bisa memberikan Antum sesuatu, tapi yang bisa dia lakukan adalah mendoakan. Nabi pernah mendoakan untuk Anas dengan umur yang panjang. Didoakan dengan harta yang banyak. Didoakan dengan keturunan yang banyak. Dan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengabulkan doa ini. Dikabulkan tiga doa ini. Pertama, beliau diberikan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى umur yang panjang. Hidup dan umurnya lebih dari 100 tahun. Jarang di antara sahabat yang umurnya lebih dari 100 tahun. Anas bin Malik umurnya lebih dari 100 tahun. Kemudian yang kedua, dia termasuk di antara sahabat yang banyak hartanya. Termasuk para sahabat yang banyak hartanya, Anas bin Malik. Kemudian yang ketiga, dia termasuk sahabat yang paling banyak anaknya, banyak keturunannya. Disebutkan di dalam sebagian riwayat, selama dia hidup dia melihat di antara anak dan juga cucunya lebih dari 100 orang. Ya, melihat anak dan juga cucunya lebih dari 100 orang. Umurnya panjang, hartanya banyak, anaknya juga banyak. Doa dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam.

Makanya doa dari orang-orang yang saleh ya, meskipun dia mungkin tidak memberikan Antum sesuatu tapi hanya mendoakan saja. “Semoga Allah memberkahi harta Antum, semoga Allah memberkahi ilmunya, memberkahi umurnya.” Itu penting ya. Di samping kita juga berdoa sendiri kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Dan Anas bin Malik, dengan harta yang banyak, dengan keturunan yang banyak, dengan umur yang panjang tadi, beliau termasuk tujuh orang sahabat yang paling banyak hadisnya dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam. Jadi secara keilmuan termasuk di antara sahabat yang diperhitungkan karena beliau sebagai seorang pelayan. Sedikit-sedikit melayani Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam. Ketika beliau menerima tamu, beliau di situ mendengarkan hadis. Ternyata bukan hanya sebagai pelayan saja, tetapi beliau menggunakan kesempatan menjadi pelayan tersebut untuk menimba ilmu.

Coba seandainya kita yang dekat dengan pondok ya, sebagai seorang tukang bersih-bersih atau kita sebagai seorang satpam, kita sebagai seorang tukang dapur, memanfaatkan kesempatan kita berada di pondok untuk mencari ilmu, maka Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan meninggikan derajat kita. Anas bin Malik tidak ingin menyia-nyiakan waktunya. Sebagai seorang pembantu, sebagai seorang pelayan, ingin benar-benar memanfaatkan. Dan beliau menghafal lebih dari 2200 hadis. Menghafal lebih dari 2200 hadis. Termasuk di antara tujuh orang sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam yang paling banyak hadisnya dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam.

Nah, kalau seorang pelayan saja yang dia sambil melayani tapi dia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya, mendapatkan ilmu saja, Allah muliakan dia. Lalu bagaimana dengan orang yang khusus dia mencari ilmu? Ya, seperti Antum-antum yang ada di sini ya, para mahasiswa, para mahasiswi, datang ke sini memang untuk tujuannya adalah untuk menuntut ilmu. Harusnya kita lebih bersemangat lagi untuk ya menimba ilmu, fokus, berijtihad, sungguh-sungguh dalam mencari ilmu ini.

Baik, para ikhwah sekalian, dan semoga apa yang kita sampaikan ini bermanfaat dan mohon maaf, insya Allah pertanyaan bisa disampaikan di lain waktu.

جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا.

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.