Dr. Abdullah Roy, M.A, Kajian Kitab, Kitabul Iman

Kajian Kitabul Iman – 03, Dr. Abdullah Roy, M.A

5 views

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Kembali kita dipertemukan oleh Allah pada sore hari ini untuk memulai dars yang berkaitan dengan kitab Al-Iman yang ditulis oleh seorang Imam di antara imam-imam Ahlusunah wal Jamaah, beliau adalah Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah. Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah yang meninggal pada tahun 235 Hijriah. Dan beliau adalah salah satu di antara guru dari Al-Imam Al-Bukhari dan juga Al-Imam Muslim. Semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى merahmati mereka semuanya.

Kita mulai dari penyebutan sanad kepada Mualif.
نَعَمْ أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَسَلَّمَ. قَالَ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ:

حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِيٍّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي أَسَدٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرْبَعٌ لَا يَجِدُ الرَّجُلُ طَعْمَ الْإِيمَانِ حَتَّى يُؤْمِنَ بِهِنَّ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ بَعَثَنِي بِالْحَقِّ، وَأَنَّهُ مَيِّتٌ ثُمَّ مَبْعُوثٌ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ، وَبِالْقَدَرِ كُلِّهِ.

Dengan sanadnya (diriwayatkan) dari Abu al-Ahwas, dari Mansur, dari Rib’i, dari seorang pemuda dari Bani Asad, dari Ali ia berkata: Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam bersabda, “Empat perkara, seseorang tidak akan merasakan nikmatnya iman sampai dia beriman dengan keempat perkara ini: ee tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah, Rasul Allah utusan Allah, Dia mengutusku dengan kebenaran, dan bahwasanya dia adalah mayit lalu dia diutus dari setelah kematian, dan dia beriman dengan takdir semuanya.”

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah wasalatu wasalamu ala rasulillah wa ala alihi wasahbihi waaman walah.

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang memudahkan pertemuan kita pada sore hari ini untuk melanjutkan sebuah Kitab yang ditulis oleh salah seorang di antara imam-imam Ahlusunah wal Jamaah, beliau adalah Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah, guru dari para aimah di antaranya adalah Al-Imam Bukhari dan juga muslim. Di dalam Kitab beliau kitabul Iman, hadis yang ketiga, hadis Ali رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ. Beliau mengatakan, Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam bersabda:

أَرْبَعٌ لَا يَجِدُ الرَّجُلُ طَعْمَ الْإِيمَانِ حَتَّى يُؤْمِنَ بِهِنَّ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ بَعَثَنِي بِالْحَقِّ، وَأَنَّهُ مَيِّتٌ ثُمَّ مَبْعُوثٌ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ، وَبِالْقَدَرِ كُلِّهِ.

Empat perkara, seseorang tidak akan merasakan Nikmatnya Iman sampai dia beriman dengan keempat perkara ini. Ini menunjukkan bahwasanya apa yang akan beliau Sebutkan صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam adalah termasuk cabang keimanan. Seorang tidak mendapatkan manisnya Iman, Nikmatnya Iman, kecuali apabila dia beriman dengan empat perkara ini:

  1. لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ.
    Pertama adalah meyakini bahwa tidak ada sesembahan yang berat disembah kecuali Allah. Yakin di dalam hatinya bahwa di alam semesta ini, baik alam yang di atas maupun alam yang di bawah, yakini bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah, yang berhak untuk diibadahi, kecuali satu, yaitu Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Dan ini adalah pondasi Islam, inti dari agama Islam itu. Keyakinan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى semata. Keyakinan ini muncul karena seseorang sebelumnya meyakini dan mengenal bahwa tidak ada yang mencipta selain Allah, enggak ada yang memberikan rezeki selain Allah, tidak ada yang maha sempurna selain Allah. Karena tidak ada yang mencipta, memberikan rezeki, memiliki sifat-sifat yang sempurna kecuali Dia, maka tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى semata.
  2. وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ بَعَثَنِي بِالْحَقِّ.
    Yang kedua, supaya seseorang merasakan keimanan, merasakan Nikmatnya Iman, harus meyakini bahwasanya aku adalah Rasulullah. Maksudnya adalah meyakini dengan sebenar-benarnya, tidak ada keraguan di dalamnya. Meskipun tidak pernah melihat beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam, yakin bahwasanya beliau adalah orang yang diutus oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Beliau Bukan Manusia Biasa dari Sisi ini, beliau adalah seorang yang diwahyukan, diutus kepada seluruh manusia. بَعَثَنِي بِالْحَقِّ. Bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى telah mengutusku dengan kebenaran. Bisa diartikan mengutus beliau dengan benar, atau mengutus beliau dengan sebuah kebenaran. Mengutus beliau dengan Wahyu, mengutus beliau dengan Al-Qur’an. Kewajiban kita tentunya adalah membenarkan dan melaksanakan al-haq yang dibawa oleh Beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam. Itu adalah maksud dari beriman bahwasanya beliau adalah seorang utusan. Apa maksud kita beriman bahwa beliau adalah seorang utusan Allah? Maksudnya adalah kita mengimani, melaksanakan, membenarkan apa yang beliau bawa sebagai seorang utusan. Itu maksudnya. Seandainya datang kepada kita utusan dari penguasa, utusan dari Presiden, dan kita membenarkan beliau adalah seorang utusan, datang ke kampus menyatakan dirinya dengan identitas yang jelas, maksudnya beliau adalah benar-benar seorang utusan presiden. Tentunya tidaklah beliau datang ke sini kecuali dengan membawa sebuah misi, bukan hanya datang tanpa tujuan. Apalagi diutus oleh seorang penguasa. Ada di dalam diri kita masing-masing, “Utusan presiden ini datang ke sini pasti ada maksudnya.” Maka kalau memang kita Yakin Dia adalah seorang utusan presiden, kemudian mulailah beliau menyampaikan pesan-pesan dari penguasa, 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. Kalau memang kita Yakin Dia adalah seorang utusan dan apa yang beliau sampaikan adalah dari penguasa, maka kewajiban kita adalah tentunya mengamalkan, membenarkan apa yang dia sampaikan. Diperintahkan misalnya mahasiswa Ma’had ‘Ali Riyadus Shalihin untuk menghadap ke istana misal, berbicara siapa utusan dari Presiden. Maka kita akan pergi ke sana membenarkan apa yang dia ucapkan, “Ini ucapan dari seorang utusan presiden, dan dia membawa pesan seperti itu.” Nah, ketika kita meyakini bahwasanya beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam adalah seorang utusan Allah, apa kewajiban kita? Ya, kita benarkan apa yang beliau Ucapkan, apa yang beliau Kabarkan. Kita laksanakan apa yang menjadi perintah beliau, kita jauhi apa yang menjadi larangan beliau. Mentaati beliau berarti mentaati Allah yang telah mengutus beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Membenarkan beliau berarti membenarkan Allah. Mendustakan beliau berarti mendustakan Allah. مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ.
    “Barang siapa yang mentaati Rasul, sungguh dia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80). Beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan, “Siapa yang taati Aku, sungguh dia telah taati Allah.” Jangan seperti yang diyakini oleh sebagian orang, “Kita harus taat kepada Allah saja.” Maksudnya apa? Maksudnya adalah, “Kita enggak usah percaya dengan hadis, enggak usah percaya dengan Rasul. Kita percaya kepada Allah saja. Kalau percaya kepada Rasul, berarti Syirik,” katanya. Ini sesat. Karena Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM beliau hanya sekadar sebagai seorang utusan yang beliau sampaikan itulah yang diwahyukan Kepada beliau. Perintah beliau asalnya adalah perintah Allah, larangan beliau adalah larangan dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Kabar yang beliau sampaikan kepada kita berupa kabar-kabar yang berkaitan dengan masa lampau, kabar-kabar terhadap perkara-perkara yang terjadi di masa yang akan datang, maka itu semua adalah wahyu dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Membenarkan beliau adalah membenarkan Allah, mendustakan beliau adalah mendustakan Allah. Berarti yang kedua, meyakini bahwasanya beliau adalah Rasulullah, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengutus beliau dengan kebenaran. Al-Qur’an adalah benar, hadis adalah benar, surga adalah benar, Neraka adalah benar. Alhamdulillah, masing-masing dari kita meyakini bahwasanya beliau adalah seorang utusan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Nikmat yang harus kita syukuri. Memiliki keyakinan yang benar, yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya, bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM adalah Rasulullah. Semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى matikan kita di atas dua kalimat ini: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. Disebutkan oleh sebagian sahabat ketika dia dalam keadaan sakit dan di sampingnya ada putranya, kemudian dia mengatakan kepada putranya, “Wahai anakku, sesungguhnya tidak ada amalan yang paling aku harapkan pahanya ketika nanti bertemu dengan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى daripada dua kalimat ini. Tidak ada sesuatu yang lebih aku harapkan pahalanya di hari kiamat lebih dari dua kalimat ini,” yaitu keyakinan tidak ada sesembahan yang berat disembah kecuali Allah dan keyakinan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah. Alhamdulillah, kita menyembah Allah, tidak melakukan perbuatan Syirik, dan kita meyakini bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah.
  3. وَأَنَّهُ مَيِّتٌ ثُمَّ مَبْعُوثٌ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ.
    Keyakinan bahwasanya dia akan mati. Keyakinan bahwasanya dia akan mati. مَيِّتٌ maksudnya adalah سَيَمُوتُ (akan mati). Yakin mengikrarkan bahwasanya dia tidak akan selamanya di dunia. Bagaimanapun kecintaan kita terhadap dunia, bagaimanapun fisik kita yang kuat, fisik kita yang sehat, masing-masing dari kita akan meninggal dunia cepat atau lambat. Maka di antara empat perkara yang kalau kita memilikinya, maka kita akan merasakan nikmat iman adalah meyakini bahwasanya kita akan meninggal dunia. Apakah setelah itu hanya menjadi tanah? Meninggal dan hanya menjadi tanah? ثُمَّ مَبْعُوثٌ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ. Akan meninggal dunia dan akan dibangkitkan setelah kematian. Akan dibangkitkan kembali. Sebelumnya dalam keadaan mati, sebelumnya dalam keadaan berupa tanah. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan mengembalikan kembali sebagaimana sebelumnya, lengkap seluruh badannya, dan akan digabungkan antara jiwa dan raga, antara roh dengan jasad. Dan setelah dibangkitkan, maksudnya adalah untuk dihitung amalan, amalan yang dilakukan di dunia, kemudian akan dibalas oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Jadi bukan hanya dibangkitkan saja, tetapi dibangkitkan dengan tujuan untuk dihisab, dihitung amalannya yang baik maupun yang buruk, kemudian setelah itu akan dibalas. Dan tidak ada yang dizalimi di sisi Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Ini adalah keyakinan yang ketiga yang apabila ada di dalam diri kita, maka ini menjadi modal kita untuk merasakan Nikmatnya Iman, merasakan lezatnya iman itu. Meyakini bahwasanya kita akan dibangkitkan. Dan dalil tentang adanya hari kebangkitan banyak di dalam al-Qur’an maupun Sunah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Di antaranya adalah firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ.
    “Orang-orang kafir mereka meyakini bahwasanya mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Demi Rabbku, sungguh kalian akan dibangkitkan, kemudian sungguh kalian akan diberitahukan dengan apa yang kalian lakukan, dan itu bagi Allah mudah.'” (QS. At-Taghabun: 7).
  4. وَبِالْقَدَرِ كُلِّهِ.
    Yang keempat adalah beriman dengan takdir semuanya. Maksudnya adalah membenarkan bahwa segala sesuatu adalah dengan takdir Allah. Segala sesuatu, خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (yang baik maupun yang buruk). Yang baik berupa kenikmatan, keluasan rezeki, hidayah, ketaatan. Kita yakini bahwasanya itu adalah bagian dari takdir Allah. Allah yang telah menulis sebelumnya, Allah yang telah mengetahui sebelumnya, Allah yang menghendaki kebaikan tersebut, yang menghendaki kita mendapatkan hidayah, menghendaki kita mendapatkan rezeki. Apabila kita meyakini yang demikian, dan akan membawa kita untuk bersyukur kepada Allah dan menyandarkan nikmat tadi hanya kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Demikian pula sebaliknya, كُلِّهِ (semuanya) termasuk di antaranya adalah takdir yang buruk. Musibah, sandung, terkena penyakit. Maka itu sudah diketahui oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sebelum terjadinya, dan ditulis oleh Allah di dalam Lauhul Mahfuz bahwa Si Fulan akan terkena penyakit ini, akan terkena musibah ini. Kemudian Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menghendaki dan terjadi sebagaimana yang kita lihat. Barang siapa yang meyakini bahwa musibah pun adalah dengan takdir Allah, dan tentunya dengan hikmah dari Allah, maka ini adalah termasuk di antara cabang keimanan. Kalau kita beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk, maka ini di antara sebab kebahagiaan seseorang. Orang yang beriman bahwasanya seluruh musibah adalah dari Allah, dan yakin bahwasanya di dalam musibah tadi ada kebaikan, ada hikmah, maka ini yang akan menjadikan seseorang bahagia. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
    “Tidaklah menimpa sebuah musibah kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, maka Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan memberikan Hidayah kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun: 11). Di antara maknanya, barang siapa yang beriman bahwa apa yang terjadi adalah dengan takdir Allah, Antum kena musibah, terkena penyakit, sandung, ujian dari sisi ekonomi, kemudian Antum ingat ini adalah dengan takdir Allah, maka insya Allah Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan memberikan Hidayah kepada hati kita, menjadikan kita berbahagia, menjadikan kita bersabar, menjadikan kita menang dalam menghadapi seluruh ujian. Hadis ini sebagaimana yang Antum lihat di rawi-rawinya ada seorang laki-laki yang tidak disebutkan namanya di sini, عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي أَسَدٍ (seorang laki-laki dari Bani Asad). Dan ini tentunya sebuah cacat di dalam sanad. Harusnya sanad ini diketahui rawi-rawinya dan bagaimana kedudukan dia, tapi di sini hanya disebutkan عَنْ رَجُلٍ (dari seorang laki-laki) dari Bani Asad. Laki-laki tersebut kita tidak tahu, mungkin dia adalah orang yang tsiqah, mungkin tidak, karena memiliki kemungkinan yang demikian. Sehingga sanad seperti ini dihukumi sebagai sanad yang daif, sanad yang lemah. Namun di sana ada hadis-hadis yang lain yang bisa menjadi شَوَاهِدٌ (syawahid) bagi hadis ini, sehingga sebagian menghukumi hadis ini sebagai hadis yang صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ (shahihun li ghairihi), dia adalah sahih karena yang lain. Jadi dia adalah hadis yang daif, sanadnya daif, tetapi karena di sana ada hadis-hadis yang lain yang menguatkan, maka dia menjadi hadis yang sahih li ghairihi atau hadis yang hasan li ghairihi. Abu al-Ahwas, beliau adalah Sallam Ibnu Sulaim Al-Hanafi, meninggal pada tahun 179 Hijriah. Seorang yang tsiqah, termasuk Ahlul Hadis dari Kufah, dan sekaligus beliau adalah seorang ahli fikih. Beliau meriwayatkan dari Mansur, dan Mansur adalah Mansur Ibnu Mu’tamir dari Kufah juga, meninggal pada tahun 132 Hijriah. Seorang Imam di antara imam-imam Ahlusunah wal Jamaah dan beliau dikenal sebagai orang yang banyak ibadahnya. Demikian ya, ikhwah. Para ulama kita bukan hanya dikenal dengan ilmunya saja, tetapi juga mereka menggabungkan antara ilmu dengan ibadah. Siapa yang lebih sibuk antara kita dengan mereka? Tentunya mereka. Tetapi masalah ibadah pun mereka tidak ketinggalan. Dan sampai kita sebagai seorang penuntut ilmu hanya belajar saja, menghafal, tapi dilihat dari sisi ibadahnya sangat-sangat kurang, bandingkan dengan yang telah dilakukan oleh para Salaf kita. Kemudian dari Rib’i, beliau adalah Rib’i Ibni Hirasy Al-Kufi. Beliau juga sebagai seorang yang faqih dan dikenal dengan kejujurannya. Bahkan disebutkan dalam terjemah beliau, tidak pernah beliau berdusta di dalam hidupnya. لَمْ يَكْذِبْ فِي حَيَاتِهِ. Rib’i dikenal sebagai seorang yang sangat jujur, tidak pernah berdusta di dalam kehidupannya. Ini juga pelajaran penting kita sebagai seorang penuntut ilmu. Bukan hanya ilmu saja, tetapi juga hendaknya kita menjaga akhlak, menjaga ucapan, berusaha untuk jujur. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.
    “Wahai orang-orang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah: 119). Jujur ketika bersama ustaz, jujur kepada temannya, jujur kepada orang lain. Seandainya dia bercanda, maka jangan sampai candanya adalah canda yang mengandung unsur kedustaan. Silakan bercanda, tapi candanya adalah canda yang jujur, tidak ada kedustaan di dalamnya. Bani Asad ini adalah kabilah yang ma’rufah. Dari Ali, Ali di sini adalah Ali bin Abi Thalib, khalifah yang keempat di antara Khulafaur Rasyidin. Dan beliau adalah termasuk pembesar sahabat yang dikenal dengan ilmunya, dikenal dengan keutamaannya. Bahkan beliau adalah menantu dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Dan salah satu di antara 10 orang yang dikabarkan masuk ke dalam surga. Faedah yang bisa kita ambil dari hadis ini yang pertama, penjelasan bahwasanya iman itu memiliki cabang-cabang. Bahwasanya di antara cabang-cabang iman ada yang merupakan rukun dan juga pondasi. Antum perhatikan empat perkara ini masuk dalam rukun iman. لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ masuk dalam beriman kepada Allah. وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ بَعَثَنِي بِالْحَقِّ masuk di dalam keimanan kepada Rasul. Beriman dengan hari kebangkitan, beriman dengan hari akhir. Beriman dengan takdir adalah beriman dengan takdir. Berarti empat perkara ini termasuk di antara Rukun Iman. Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil, bahwa untuk bisa merasakan Nikmatnya Iman, maka kita harus tentunya memenuhi rukun-rukun Iman terlebih dahulu, ya. Harus memenuhi rukun-rukun Iman terlebih dahulu. Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil, bahwa Iman ini sangat berkaitan erat dengan amalan hati. Iman sangat berkaitan erat dengan amalan hati. Karena iman adalah اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ، وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ، وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ. Baik, di sini disebutkan حَتَّى يُؤْمِنَ بِهِنَّ (sampai beriman dengannya). Berarti menunjukkan hubungan yang sangat erat antara iman dengan amalan-amalan hati.

Penutup:

Naam setelahnya. أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ.

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى:

قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَعْدٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا غُلَامَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَعَلَيْكَ. قَالَ: إِنِّي رَجُلٌ مِنْ أَخْوَالِكَ مِنْ بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ، وَأَنَا رَسُولُ قَوْمِي إِلَيْكَ، وَأَنَا سَائِلُكَ فَمُسَيِّدٌ مَسْأَلَتِي إِيَّاكَ، وَمُنَاشِدُكَ فَمُسَيِّدٌ مُنَاشَدَتِي إِيَّاكَ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ.

Kemudian setelahnya beliau mendatangkan hadis yang cukup panjang, hadis Ibnu Abbas. Semoga Allah meridai beliau berdua.

قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Datang seorang Arab badui kepada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam.” Arab Badui, orang Badui, atau orang pegunungan yang mereka ini memiliki sifat di antaranya adalah polos, kasar, tak adanya tidak ada basa-basi, dan ini yang terlihat di dalam kisah ini.

وَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا غُلَامَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ.
Dia mengatakan, “السَّلَامُ عَلَيْكَ.” Semoga keselamatan atasmu wahai Anak Bani Abdul Muthalib. Karena Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam beliau adalah dari Bani Abdul Muthalib. Bapak beliau adalah Abdullah, dan kakek beliau adalah Abdul Muthalib. Dan mereka mengenal Abdul Muthalib. Abdul Muthalib ini seorang Pembesar Quraisy, dikenal dengan keutamaannya. Dan dialah yang ketika datang Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah, dialah saat itu yang menjadi pemuka Quraisy, dan dialah yang datang kepada Abrahah, kemudian Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menghancurkan Abrahah dan juga tentaranya. Sehingga mereka pun sangat mengenal siapa Abdul Muthalib. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM adalah cucu dari Abdul Muthalib.

يَا غُلَامَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ.
“Wahai anak dari Bani Abdul Muthalib.” Ini menunjukkan tentang bagaimana kekasaran dari orang Badui ini. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM seorang rasul yang para sahabat sangat memuliakan beliau, menghormati beliau, berhati-hati ketika berbicara dengan beliau. Datang orang ini dan mengucapkan ucapan seperti ini.

فَقَالَ: وَعَلَيْكَ.
Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan, “وَعَلَيْكَ.” Dan maksudnya adalah وَعَلَيْكَ السَّلَامُ. Dihilangkan di sini mubtada-nya. وَعَلَيْكَ maksudnya adalah وَعَلَيْكَ السَّلَامُ. Dihilangkan mubtada-nya. Dan boleh menjawab dengan jawaban yang serupa, karena Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا.
“Hendaklah kalian menjawab dengan yang lebih baik atau yang setimpal.” (QS. An-Nisa: 86).

Kalau dia mengatakan السَّلَامُ عَلَيْكَ, kita mengatakan وَعَلَيْكَ السَّلَامُ, maka boleh yang demikian. Kita sudah termasuk menjawab salam. Kenapa yang dilakukan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM وَعَلَيْكَ السَّلَامُnya di sini mubtadanya مَحْذُوفٌ (mahdzuf).

قَالَ: إِنِّي رَجُلٌ مِنْ أَخْوَالِكَ مِنْ بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ.
Dia mengatakan, “Sesungguhnya Aku adalah seorang laki-laki dari أَخْوَالُكَ (bibik-bibikmu dari arah ibu) dari Bani Sa’ad bin Bakr.” أَخْوَالُ ini adalah jamak dari jamak dari خَالَةٌ (bibi dari arah ibu). Kalau bibi dari arah bapak, عَمَّةٌ. Bedakan dalam bahasa Arab antara bibi dari arah bapak dengan bibi dari arah ibu. عَمَّةٌ dari arah bapak, خَالَةٌ kalau dari arah ibu. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM dulu pernah disusui oleh Halimah siapa? Halimah As-Sa’diyah. Halimah Sa’diyah adalah seorang wanita dari Bani Sa’ad bin Bakr, dari Bani Sa’ad bin Bakr. Sehingga laki-laki ini dia berasal dari Bani Sa’ad bin Bakr, sehingga dia adalah seorang laki-laki مِنْ أَخْوَالِكَ yaitu dari bibik-bibikmu yang ada di Thaif, yang ada di Bani Sa’ad bin Bakr.

وَأَنَا رَسُولُ قَوْمِي إِلَيْكَ، وَأَنَا سَائِلُكَ فَمُسَيِّدٌ مَسْأَلَتِي إِيَّاكَ، وَمُنَاشِدُكَ فَمُسَيِّدٌ مُنَاشَدَتِي إِيَّاكَ.
“Dan Aku adalah seorang utusan kaumku kepadamu.” Jadi Bani Sa’ad bin Bakr mengutus laki-laki ini kepada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM, karena Bani Sa’ad bin Bakr ini banyak jumlahnya ya, dan tidak mungkin mereka semuanya datang kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM, cukup mengirim satu orang bertanya, belajar dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM, kemudian nanti dia akan kembali pulang ke kampungnya, menyampaikan kepada mereka apa yang mereka dengar dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Seperti kedatangan kita ke sini belajar dan di belakang kita ada kaum kita yang berada ada di kampung, yang meskipun mereka tidak mengatakan kepada kita kamu sebagai utusan, tapi kita di sini belajar dengan harapan tentunya ketika kita pulang ke kampung kita menjadi seorang dai, menyampaikan kepada mereka apa yang kita tahu dari agama ini yang kita pelajari di kampus ini. Ini dia datang ke Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM sebagai utusan dari kaumnya, memang diutus secara resmi untuk bertanya, belajar dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM.

وَوَافِدُهُمْ. “Dan sebagai utusan.”

وَأَنَا سَائِلُكَ فَمُسَيِّدٌ مَسْأَلَتِي إِيَّاكَ. “Dan aku akan bertanya kepadamu.” Ini termasuk di antara kekasarannya. “فَمُسَيِّدٌ مَسْأَلَتِي إِيَّاكَ.” “Dan aku akan keras dalam bertanya kepadamu.” “مُسَيِّدٌ” maknanya adalah مُشَدِّدٌ (musyaddidun). Dia sudah kabarkan sebelum bertanya bahwasanya saya akan bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang keras kepada dirimu.

وَمُنَاشِدُكَ فَمُسَيِّدٌ مُنَاشَدَتِي إِيَّاكَ.
مُنَاشَدَةٌ maknanya adalah meminta dengan sungguh-sungguh, meminta dengan benar-benar. Itu namanya munasyadah. Ya, dia tidak basa-basi bertanya, meminta dengan pertanyaan yang sesungguhnya dan ingin dijawab dengan jawaban yang sesungguhnya. Tidak ada kebohongan, tidak ada kedustaan.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ.
Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan, “خُذْ عَلَيْكَ يَا أَخَا بَنِي سَعْدٍ.” (ambil wahai saudara dari Bani Saad). Maksudnya adalah silakan, silakan bertanya sepuas-puasnya, dengan sesungguh-sungguhnya, dan saya akan menjawab dengan sejujur-jujurnya. Tak ada yang kita sembunyikan. Kau berasal dari Bani Saad, sebuah kabilah yang aku dulu pernah tinggal di sana dan menyusu dari seorang wanita yang ada di sana.

Laki-laki ini bertanya:


مَنْ خَلَقَكَ؟ وَمَنْ هُوَ خَالِقُ مَنْ قَبْلَكَ؟ وَمَنْ هُوَ خَالِقُ مَنْ بَعْدَكَ؟
“Siapa yang telah menciptakan dirimu? Dan siapa yang telah menciptakan orang sebelummu? Dan siapa yang telah menciptakan orang setelahmu?” Ditanya oleh laki-laki ini tentang siapa yang mencipta.

قَالَ: اللَّهُ.
Maka beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan, “Allah.”

Yang menciptakan aku, menciptakan orang sebelumku, menciptakan orang setelahku adalah Allah. Dan mereka, meskipun awalnya adalah orang-orang musyrikin, keyakinan bahwasanya Allah yang mencipta itu ada di dalam diri mereka.

Kemudian setelahnya dia bertanya:

قَسَمْتُكَ بِاللَّهِ، أَهُوَ أَرْسَلَكَ؟
“Aku bersumpah dengan nama Allah kepadamu, apakah Allah telah mengutusmu?” Mewahyukan kepadamu, menjadikan Engkau sebagai utusan kepada manusia?

قَالَ: نَعَمْ.
Maka Beliau mengatakan, “Iya.” Allah yang telah menciptakan Aku dan menciptakan segalanya, Dia telah mengutusku kepada manusia. Berarti pertanyaan yang pertama keyakinan bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى (Dialah) Khaliq (pencipta). Berarti keyakinan bahwasanya tidak ada yang disembah selain Allah. Kemudian yang kedua keyakinan bahwasanya Nabi Muhammad adalah seorang Rasulullah yang telah diutus.

قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ السَّبْعَ وَالْأَرْضَ السَّبْعَ وَأَجْرَى بَيْنَهُمَا الرِّزْقَ؟
“Siapakah yang menciptakan langit yang tujuh, bumi yang tujuh, dan mengalirkan di antara keduanya rezeki?” Mengalirkan di antara keduanya rezeki, yaitu memberikan rezeki kepada makhluk. “Siapa yang menciptakan langit dan tujuh, bumi yang tujuh, dan memberikan rezeki?”

قَالَ: اللَّهُ.
Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM kembali menjawab, “Allah.”

قَالَ: فَقَسَمْتُكَ بِاللَّهِ، أَهُوَ أَمَرَكَ بِهَذَا؟
Kembali dia bertanya, “Demi Allah, aku meminta kepada-Mu jawaban dengan nama Allah, apakah benar Dia mengutus dirimu?” Kembali ditanya.

قَالَ: نَعَمْ.
Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan, “Iya.”

قَالَ: فَإِنَّا وَجَدْنَا فِي كِتَابِكَ وَأَمَرَنَا رُسُلُكَ أَنْ نُصَلِّيَ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ خَمْسَ صَلَوَاتٍ.
Setelah itu dia bertanya tentang salat, salat lima waktu. “Sesungguhnya kami mendapatkan di dalam kitabmu,” maksudnya adalah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM menulis (tentunya bukan beliau yang menulis, tapi di sana ada seorang sahabat yang menulis), dikirim kepada orang-orang Bani Sa’ad, “dan rasul-rasulmu, utusan-utusanmu memerintahkan kepada kami.” Jadi beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM sempat menulis tulisan dan mengutus utusan dibawa ke Bani Sa’ad. Di situ ada apa? Ada perintah untuk melakukan salat lima kali dalam sehari semalam. “Dan rasul-rasulmu telah memerintahkan kami untuk salat di dalam sehari semalam lima kali di dalam waktunya atau pada waktunya.”

قَسَمْتُكَ بِاللَّهِ، أَهُوَ أَمَرَكَ بِهَذَا؟
“Maka aku bertanya padamu dengan sungguh-sungguh, dengan nama Allah, apakah benar Allah memerintahkanmu untuk melakukan salat ini?” Ingin meyakinkan, ya, engkau mengaku sebagai seorang rasul, apakah benar Allah memerintahkanmu untuk melakukan salat ini?

قَالَ: نَعَمْ.
Maka beliau mengatakan, “Iya.”

قَالَ: وَإِنَّا وَجَدْنَا فِي كِتَابِكَ وَأَمَرَنَا رُسُلُكَ أَنْ نَأْخُذَ مِنْ حَوَاشِي أَمْوَالِنَا فَنَرُدَّهُ عَلَى فُقَرَائِنَا.
Kemudian dia mengatakan, “Sesungguhnya kami mendapatkan di dalam suratmu dan telah memerintahkan kepada kami utusan-utusanmu untuk supaya kami mengambil dari حَوَاشِي أَمْوَالِنَا (dari harta kami),” karena orang-orang Badui harta mereka ya, hewan-hewan tersebut. “فَنَرُدَّهُ عَلَى فُقَرَائِنَا.” “Kemudian kami kembalikan, kami berikan sebagian harta tersebut, yaitu zakat, kepada orang-orang fakir di antara kami.” Berarti di sini bertanya tentang zakat, sebelumnya bertanya tentang salat lima waktu.

قَسَمْتُكَ بِاللَّهِ، أَهُوَ أَمَرَكَ بِهَذَا؟
“Maka aku bertanya kepadamu, dengan nama Allah, apakah Allah memerintahkan kamu dengan yang demikian?” Yaitu memerintahkan kamu untuk membayar zakat?

قَالَ: نَعَمْ.
Maka beliau mengatakan, “Iya.”

Maka di sini laki-laki ini bertanya tentang sebagian dari rukun Islam. Telah sampai kepadanya rukun Islam, dan dia datang langsung kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM untuk meyakinkan tentang sebagian dari rukun Islam tadi.

ثُمَّ قَالَ: أَمَّا الْخَامِسَةُ، فَلَسْتُ بِسَائِلِكَ عَنْهَا، وَلَا أَرَى لِي فِيهَا حَاجَةً.
Kemudian dia mengatakan, “Adapun yang kelima, maka aku tidak bertanya kepadamu tentang perkara ini, dan aku tidak ada hajat bagiku untuk yang demikian.”

قَالَ: أَمَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَزِيدُ عَلَيْهِ شَيْئًا وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُ شَيْئًا.
Kemudian dia mengatakan, “أَمَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ.” “Ketahuilah demi zat yang telah mengutusmu dengan kebenaran itu, demi Allah, sungguh aku akan mengamalkan perkara-perkara tadi.” Yaitu meyakini Allah yang mencipta, memberikan rezeki, mengesakan Allah di dalam ibadah. “وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ” (mengganti kalimat sumpah dari kalimat sumpah sebelumnya). “Sungguh aku akan mengamalkan (yaitu akan melakukan salat lima waktu pada waktunya, dan kalau aku punya kewajiban zakat maka aku akan membayar zakat). لَا أَزِيدُ عَلَيْهِ شَيْئًا وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُ شَيْئًا. Aku tidak akan menambah sedikit pun dari (rukun-rukun Islam) ini, dan aku tidak akan mengurangi darinya sedikit pun.”

Artinya, sesuai dengan apa yang tadi kita bicarakan, berarti ada kewajiban salat, ada kewajiban puasa, ada kewajiban haji, dan mungkin dia bukan termasuk orang yang kaya, sehingga tidak diwajibkan untuk melakukan membayar zakat. Dia mengatakan, “Saya tidak akan menambah.” Maksudnya, saya tidak akan melakukan perkara-perkara yang sunah. Dia tidak melakukan salat rawatib, dia tidak melakukan salat Dhuha, dia tidak melakukan salat witir, salat malam, dia tidak melakukan puasa Syawal, tidak akan melakukan puasa Arafah, dan seterusnya. Dia tidak mau menambah, dan dia tidak ingin mengurangi juga. Maksudnya apa? Dia akan jaga kewajiban tadi, lima waktu dia kerjakan, tidak akan dia kurang, tidak akan bolong-bolong dalam mengerjakan salat lima waktu. Kalau memang punya kewajiban zakat, maka dia akan membayar zakat. Kalau memang punya kewajiban berpuasa, maka dia akan berpuasa. Kalau memang punya kewajiban berhaji, maka dia akan berhaji. Dia hanya mencukupkan diri dengan perkara yang wajib saja sampai dia meninggal dunia.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ صَدَقَ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Maka Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan, ‘Jika dia jujur,’ ya, kalau dia jujur, kalau dia benar di dalam ucapannya. Jujur maksudnya adalah yang dia praktikkan sama dengan yang dia ucapkan tadi. Ya, dia tidak menambah dengan amalan-amalan yang sunah, dan rukun-rukun tadi dia memang benar-benar laksanakan sampai dia meninggal dunia. دَخَلَ الْجَنَّةَ (maka dia akan masuk ke dalam surga).'”

Ini menunjukkan tentunya di antara faedahnya adalah pertama bahwasanya di dalam Islam ada perkara-perkara yang merupakan perkara yang inti di dalam agama ini, atau dinamakan dengan rukun. Berarti iman ada yang merupakan rukun, ada yang bukan merupakan rukun. Ada yang sunah, ada yang wajib. Ada yang pokok, ada yang tidak pokok. Jadi iman bukan hanya satu jenis saja. Di sana ada rukun iman, ada rukun Islam. Di sana ada perkara yang disunahkan, rahmat dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan hikmah dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil, bahwa orang yang selama hidupnya sebagai seorang muslim, mencukupkan dirinya dengan kewajiban. Tapi syaratnya apa? صَدَقَ. Jujur, luar dalamnya, ya. Dia melaksanakan kewajiban tersebut dengan ikhlas, tauhid, sampai dia meninggal dunia. Maka ini bisa menjadi modal dia untuk masuk ke dalam surga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, meskipun dia tidak melakukan amalan-amalan yang sunah sekalipun. Dia bisa masuk surga dengan melaksanakan rukun iman. Ini menunjukkan tentang tingginya kedudukan rukun iman di dalam agama kita. Jangan kita meremehkan salat 5 waktu. Jangan kita remehkan tentang puasa di bulan Ramadan. Haji bagi orang yang punya kewajiban untuk berhaji, maka dia berhaji. Ini di antara faedah yang bisa kita ambil yang berkaitan dengan keimanan.

Baik, terkait dengan para perawi yang ada di dalam hadis ini.

حَدَّثَنَا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ.
Syababah Ibnu Sawwar meninggal pada tahun 206 Hijriah. Dan dia adalah seorang yang tsiqah, tsabat, termasuk rawi Shahihain, rawi yang ada di dalam Shahih Bukhari dan juga Shahih Muslim.

Kemudian gurunya:
قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ.
Ini supaya Antum tahu kedudukan para rawi hadis. Mereka bukan orang sembarangan ya. Jangan dikira mereka orang-orang yang biasa, orang-orang bodoh yang hanya sekedar menyampaikan hadis begitu saja. Enggak. Mereka ini ulama-ulama kibar. Kalau Antum sekarang kagum terhadap fulan dan fulan, ustaz atau kagum terhadap syekh fulan, syekh fulan, ketahuilah bahwasanya mereka ini kedudukannya jauh lebih hebat, lebih tinggi daripada orang-orang yang Antum kagumi di zaman sekarang.

Sulaiman Ibnu Mughirah meninggal pada tahun 143 Hijriah dan beliau juga seorang yang tsiqah, orang yang tsiqah, dan ini adalah derajat yang tinggi bagi seorang rawi hadis.

Kemudian beliau meriwayatkan dari Tsabit al-Bunani:
عَنْ ثَابِتٍ.
Tsabit di sini adalah Tsabit al-Bunani. Dan Tsabit al-Bunani lengkapnya adalah Tsabit Ibnu Aslam al-Bunani, Al-Bashri, meninggal dunia pada tahun 127 Hijriah. Dan beliau adalah seorang yang tsiqah abid. Beliau adalah seorang yang tsiqah (terpercaya dari sisi keilmuan, hadis, hafalannya), di waktu yang sama beliau adalah seorang yang ahli ibadah, termasuk seniornya para tabiin. Dikenal sebagai seorang ahli ibadah dari Basrah.

Hammad ibn Zaid mengatakan, “مَا رَأَيْتُ أَعْبَدَ مِنْ ثَابِتٍ.” “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih banyak ibadahnya daripada Tsabit.” Dan beliau ini termasuk orang yang paling dekat atau guru yang paling dekat dengan, eh, seorang murid yang paling dekat dengan Anas bin Malik, sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Bahkan termasuk orang yang paling banyak riwayatnya dari Anas bin Malik. Berarti beliau mengumpulkan antara ilmu dengan ibadah.

Seorang thalibul ilm hendaknya memiliki sifat demikian atau mendekati yang demikian. Jadi bukan hanya belajar-belajar saja, tetapi dari sisi ibadah jauh. Jangan sampai demikian. Adalah di malam hari Antum bagian untuk melakukan salat malam, sedekah yang meskipun enggak seberapa ya. Kemudian salat rawatib 12 rakaat ini jangan sampai ketinggalan, membaca Al-Qur’an mungkin 100 ayat dalam sehari atau satu halaman dalam sehari. Ada sebagian di antara ibadah-ibadah tersebut yang Antum lakukan. Jangan benar-benar lepas, terpisah antara ilmu yang kita miliki dengan ibadah-ibadah tersebut. Rata-rata para ulama, ya, para rawi dahulu, mereka mengumpulkan antara ilmu dengan ibadah.

Nah, beliau meriwayatkan dari siapa? Anas:
عَنْ أَنَسٍ.
Beliau meriwayatkan dari Anas. Anas siapa ini? Anas bin Malik ya, seorang sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM dan beliau adalah seorang pelayan, pembantu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Meninggal dunia pada tahun 93 Hijriah di Basrah. Dan Tsabit al-Bunani tadi dari mana? Dari Basrah. Menimba ilmu dari Anas. Anas dulu tinggalnya di Madinah kemudian tinggal di Basrah. 10 tahun beliau menjadi pembantu manusia yang terbaik di muka bumi ini dan dicintai oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM pernah mendoakan, ya, mendoakan kebaikan untuk Anas bin Malik, meskipun pembantu. Nah, ini di antara kebaikan ketika kita dekat dengan seseorang yang saleh. Mungkin dia tidak bisa memberikan Antum sesuatu, tapi yang bisa dia lakukan adalah mendoakan. Nabi pernah mendoakan untuk Anas dengan umur yang panjang. Didoakan dengan harta yang banyak. Didoakan dengan keturunan yang banyak. Dan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengabulkan doa ini. Dikabulkan tiga doa ini. Pertama, beliau diberikan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى umur yang panjang. Hidup dan umurnya lebih dari 100 tahun. Jarang di antara sahabat yang umurnya lebih dari 100 tahun. Anas bin Malik umurnya lebih dari 100 tahun. Kemudian yang kedua, dia termasuk di antara sahabat yang banyak hartanya. Termasuk para sahabat yang banyak hartanya, Anas bin Malik. Kemudian yang ketiga, dia termasuk sahabat yang paling banyak anaknya, banyak keturunannya. Disebutkan di dalam sebagian riwayat, selama dia hidup dia melihat di antara anak dan juga cucunya lebih dari 100 orang. Ya, melihat anak dan juga cucunya lebih dari 100 orang. Umurnya panjang, hartanya banyak, anaknya juga banyak. Doa dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM.

Makanya doa dari orang-orang yang saleh ya, meskipun dia mungkin tidak memberikan Antum sesuatu tapi hanya mendoakan saja. “Semoga Allah memberkahi harta Antum, semoga Allah memberkahi ilmunya, memberkahi umurnya.” Itu penting ya. Di samping kita juga berdoa sendiri kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Dan Anas bin Malik, dengan harta yang banyak, dengan keturunan yang banyak, dengan umur yang panjang tadi, beliau termasuk tujuh orang sahabat yang paling banyak hadisnya dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Jadi secara keilmuan termasuk di antara sahabat yang diperhitungkan karena beliau sebagai seorang pelayan. Sedikit-sedikit melayani Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Ketika beliau menerima tamu, beliau di situ mendengarkan hadis. Ternyata bukan hanya sebagai pelayan saja, tetapi beliau menggunakan kesempatan menjadi pelayan tersebut untuk menimba ilmu.

Coba seandainya kita yang dekat dengan pondok ya, sebagai seorang tukang bersih-bersih atau kita sebagai seorang satpam, kita sebagai seorang tukang dapur, memanfaatkan kesempatan kita berada di pondok untuk mencari ilmu, maka Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan meninggikan derajat kita. Anas bin Malik tidak ingin menyia-nyiakan waktunya. Sebagai seorang pembantu, sebagai seorang pelayan, ingin benar-benar memanfaatkan. Dan beliau menghafal lebih dari 2200 hadis. Menghafal lebih dari 2200 hadis. Termasuk di antara tujuh orang sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM yang paling banyak hadisnya dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM.

Nah, kalau seorang pelayan saja yang dia sambil melayani tapi dia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya, mendapatkan ilmu saja, Allah muliakan dia. Lalu bagaimana dengan orang yang khusus dia mencari ilmu? Ya, seperti Antum-antum yang ada di sini ya, para mahasiswa, para mahasiswi, datang ke sini memang untuk tujuannya adalah untuk menuntut ilmu. Harusnya kita lebih bersemangat lagi untuk ya menimba ilmu, fokus, berijtihad, sungguh-sungguh dalam mencari ilmu ini.

Baik, para ikhwah sekalian, dan semoga apa yang kita sampaikan ini bermanfaat dan mohon maaf, insya Allah pertanyaan bisa disampaikan di lain waktu. جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا.

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.