Blog
Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 09, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.
Kebahagiaan Dicintai karena Allah dan Membenci karena Allah
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. Sekalian, kita akan lanjutkan بِسْمِ اللَّهِ pengajian kita membahas tentang hadis Nabi صلى الله عليه وسلم. Dan seperti yang selalu kita sampaikan, kita berharap agar kita mendapat kemuliaan bisa sejajarkan atau dikumpulkan bersama orang-orang yang mencintai hadis Nabi صلى الله عليه وسلم. Kita sampaikan pada pertemuan sebelumnya bagaimana para sahabat bahagia sekali ketika mendengar hadis Nabi صلى الله عليه وسلم “الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ” (seseorang akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama orang yang engkau cintai). Dan cukuplah merupakan kebahagiaan ketika seseorang dikumpulkan bersama rombongan أَهْلِ الْحَدِيثِ (ahlul hadis) dan biasanya akan sulit bertemu antara أَهْلِ الْحَدِيثِ أَهْلُ السُّنَّةِ dengan أَهْلِ الْبِدْعَةِ. Ini pernah disampaikan oleh salah seorang ulama أَهْلِ الْحَدِيثِ derajat beliau dalam زَهْرَةُ namanya Ahmad Ibnu Sinan pada tahun 259 H. Beliau mengatakan, “لَيْسَ فِي الدُّنْيَا مُبْتَدِعٌ إِلَّا وَهُوَ يُبْغِضُ أَهْلَ الْحَدِيثِ” (di dunia ini melainkan dia akan benci kepada أَهْلِ الْحَدِيثِ). Apabila seseorang melakukan بِدْعَةَ (bid’ah), maka manisnya hadis akan dicabut dari hatinya. Bagaimana seseorang akan merasakan nikmatnya belajar hadis pada saat dia benci dan tidak suka dengan sunah? Padahal para ulama mereka berupaya menjadikan hadis sebagai landasan pada setiap gerak-geriknya. Disebutkan dalam kitab beliau menukil dari salah seorang ulama ahli hadis Sufyan mengatakan, “إِذَا لَمْ تَقْدِرْ أَنْ تَحُكَّ رَأْسَكَ إِلَّا بِحَدِيثٍ فَافْعَلْ” (Ini kalau kamu bisa tidak menggaruk kepala kecuali dengan hadis, lakukan). Artinya dalam urusan sepele saja para ahli hadis sudah terbiasa untuk mensejajarkan atau selalu mencari landasan dengan hadis.
Bukan kita mengerjakan dulu kemudian cari pembenaran dari hadis, akan tetapi kita jadikan hadis itu sebagai landasan dalam beramal. Maka akan diselamatkan oleh Allah, ditolong, dijaga, dan mereka akan selamat sekalipun banyak orang yang tidak suka dan ada orang yang akan menyakiti mereka. Ini disebutkan dalam hadis yang banyak, “لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ” (masih akan ada sekelompok orang yang akan ditolong oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ sampai menjelang hari kiamat, mereka selalu berada dalam kebenaran). Itu dalam riwayat صحيح البخاري disebutkan ini salah satu lafaz dari hadis tersebut dikatakan, “لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ قَائِمًا” (laa yazalu hadzal amr) maksudnya هَذَا الدِّينُ (agama ini) مُسْتَقِيمٌ (mustaqiman) lempeng, lurus, jernih sampai hari kiamat. Dan ada orang yang akan Allah tolong seperti itu disebutkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam شَرَفُ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ dari pernyataan Ali bin Madini رَحِمَهُ اللَّهُ dari Al-Imam Al-Bukhari. Beliau mengatakan, “هُمُ أَهْلُ الْحَدِيثِ” (أَهْلُ الْحَدِيثِ) yang dikatakan dalam hadis itu adalah أَهْلُ الْحَدِيثِ dan orang-orang yang selalu berusaha menerapkan mazhabnya Nabi صلى الله عليه وسلم dan mereka akan berusaha membela ilmu ini.
Dampak Ilmu pada Perilaku dan Pentingnya Sanad
Maka keselarasan itu terlihat sekali dan orang yang belajar hadis sampai bisa menikmati akan nampak pada penampilan mereka, sepak terjang, pembicaraan. Kalaupun seandainya harus berdiskusi dan berbantah-bantahan terlihat bagaimana mereka tetap khusyuk, bagaimana tetap sopan dan ilmiah. Dan ini yang disampaikan Al-Hasan Al-Bashri رَحِمَهُ اللَّهُ beliau ketika mengatakan tidak disebutkan dalam beberapa keadaannya dalam kita seorang belajar sebuah ilmu dan yang biasa mereka sebutkan di situ adalah hadis. Karena dulu orang-orang ketika akan belajar mereka akan selalu menyambungkan dengan hadis. Orang dulu ketika safar perjalanan jauh yang dikejar adalah hadis lalu mereka ambil kesimpulan dari hadis tersebut. Seorang belajar ilmu kemudian akan terlihat dampaknya pada perilakunya, perkataannya bahkan sepak terjangnya. Maka termasuk pakaian, bagaimana berinteraksi terlihat orang yang belajar kita harapkan seperti itu dan ini umum. Ini umum untuk orang yang juga bisa disebut sebagai orang yang فَقِيه (faqih) sebagaimana orang yang فَقِيه rata-rata mereka akan paham terhadap dalil. Dan فَقِيه ini disebutkan tentang tafsir hadis itu bisa dari arti فَقْه (faqh) artinya cepat paham mengalahkan yang lain dalam kecepatan memahami atau فَتْحُهَا (fathuha) artinya betul-betul mendarah daging pemahamannya sehingga dia tidak mengerjakan sesuatu kecuali ada ilmunya. Karena itu sudah terbiasa dan ini dirasakan juga oleh para ulama ketika mereka terbiasa membahas sebuah permasalahan dengan hadis maka mereka tidak nyaman apabila berbicara tanpa hadis.
Bahkan bukan hanya itu mereka terbiasa menggunakan sanad. Kalau tidak ada sanadnya mereka tidak merasa nyaman, tidak merasa puas mempelajari hadis kok tidak ada sanadnya karena mereka saking terbiasa mempelajari sanad itu. Makanya hadis kok enggak ada sanadnya itu kayak sayur sama cuka artinya enggak ada manfaatnya karena mereka terbiasa seperti itu. Pernah bertemu dengan Abdurrahman Bin Mahdi bertemu kemudian akan diberikan hadis ketika akan diberikan hadis atau diajari hadis yang mengatakan, “حَدِّثْنَا بِالْإِسْنَادِ” (sampaikan). “Enggak usah pakai sanad biar enggak panjang-panjang.” Maka kata gurunya atau mau naik lompat begini ke atap tanpa pakai tangga. Bahkan Imam Syafi’i رَحِمَهُ اللَّهُ Beliau mengatakan, “Orang belajar hadis tanpa sanad itu seperti orang ngumpulkan kayu bakar di tengah malam dia ambil segepok atau seikat kayu bakar di tengah malam di tengahnya ada ularnya enggak ngerti dia”. Itu permisalan orang belajar hadis tanpa sanad. Maka terkenal sekali ada perkataan ulama, “مَنْ أَسْنَدَ فَقَدْ أَحَالَ” (orang yang menyebutkan sanad, dia sudah selesai tugasnya). Selanjutnya terserah Anda, Anda mau mempelajari sanad itu kalau tahu di situ ada Rawi yang ضَعِيف (dha’if) Anda sudah tahu. Saya sudah sebutkan sanadnya. Artinya mereka terbiasa menggunakan sanad dalam membaca hadis. Bagaimana pula dalam pembahasan fikihnya kalau mereka tidak menggunakan hadis maka hadis ini perlu disosialisasikan, perlu disebarkan agar kaum muslimin tahu, agar mereka kenal dengan hadis Nabi صلى الله عليه وسلم sehingga tidak ada lagi orang trauma atau sensitif dengar kata-kata hadis.
Akhirnya mereka bingung hadis apa atau bagaimana menyikapi ada hadis belum lagi menyebarnya hadis-hadis yang palsu ضَعِيف sekali dan sebagainya gara-garanya kebanyakan kaum muslimin jarang menyampaikan pembahasan dengan hadis sehingga orang merasa asing ketika ada hadis itu disampaikan. Ini tugas kita semua agar kita bisa membumikan kalian duduk di masjid-masjid sebarkan ilmu hingga orang-orang yang tidak tahu menjadi tahu karena ilmu ini tidak akan sirna sampai tidak dibahas. Ketika orang tidak membahasnya tidak membicarakannya, kita sebagai طَلَبَةُ الْعِلْمِ (tholabul ilmi) tidak membicarakan hadis siapa yang akan membicarakan hadis di tengah masyarakat bisa selesai itu. Pernah mendatangi sebuah kota Kemudian beliau malas di situ Bukan malas tapi bosan beliau katakan kepada pembantunya, “Kita tinggalkan kota ini, ini kota ilmunya mati kenapa? Karena jarang orang bertanya tentang ilmu”. Bagaimana kiranya para ulama datang ke Indonesia? Orang Indonesia ini banyak senyumnya belajar itu diceritakan karena mereka paham saja syekhnya sedang menceritakan sesuatu mereka paham senang ketawa mereka padahal kadang-kadang tidak lucu juga. Akhirnya orang Arab ini bingung kenapa kalian ketawa. Orang yang terbiasa serius karena belajar ketika kita ketawa itu mereka bingung, bingung kayak seolah-olah dia diketawakan gitu. Padahal kita enggak tahu kita senang aja اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ kita kebiasaan begitu ya. Kalau seandainya kita serius sedikit mungkin pada khusyuk beneran itu ya. Maka kita perlu membiasakan kalau seandainya kita sudah sering mendengar hadis Nabi صلى الله عليه وسلم apalagi menggunakan sanad maka diharapkan kita betul-betul akan tertarik untuk selalu dekat dengan hadis sampai seperti Abdullah bin Mubarak itu membutuhkan proses. Baca itu seperti sedang duduk bersama Nabi صلى الله عليه وسلم maka dia tidak akan bosan ya. Mirip sama orang baca novel, orang baca novel bisa lama enggak ngerti jam itu ngerti-ngerti subuh karena dia belum hatam itu duduk begini kalau perlu buku itu dipindah-pindah sekarang anak setelah Anda anak sampai apa namanya daftar nanti saya baca buku itu ya سُبْحَانَ اللَّهِ ini tingkat apa namanya pengetahuan kita tentang hadis dari situ ya.
Maka mudah-mudahan seiring dengan belajarnya hadis kita semakin suka dengan hadis-hadis Nabi صلى الله عليه وسلم.
Hadis ke-16: Adab Buang Hajat dan Bersuci dengan Air
Hadis ke-16 dari sahabat Anas bin Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Rasulullah صلى الله عليه وسلم masuk ke tempat buang hajat. Di sini dikatakan الْخَلَاءُ (al-khala) artinya tempat buang hajat. Kemudian dikatakan, “فَأَتَيْتُهُ بِمَاءٍ وَعَنَزَةٍ” (maka aku membawakan untuk hajat Nabi صلى الله عليه وسلم Aku bawakan sebuah tempat yang berisi air). “Aku bersama seorang anak kecil dua ulama nahwi dikatakan”.
Para ulama artinya adalah orang yang umurnya hampir sebaya dengan aku artinya umurnya hampir berdekatan dengan aku. Kita membawa tempat air dan juga kita membawakan tongkat. اَلَا (ala) Anda di sebagian Anda ada itu ada tafsirannya itu adalah tombak kecil. اَلْحَرْبَةُ (al-harbah) itu artinya tombak. Kemudian Rasul صلى الله عليه وسلم bersuci dengan air disebutkan dalam صحيح البخاري juga diberi judul demikian bersuci dengan air. Kenapa kok disebutkan bersuci dengan air? Beliau mengatakan karena memang ada sebagian orang mengingkari adanya bersuci dengan air. Bersuci dengan air itu mereka tidak biasa lakukan sehingga Al-Imam Al-Bukhari رَحِمَهُ اللَّهُ sengaja menyebutkan hadis yang riwayatnya صحيح dan diberi judul tentang bolehnya seseorang bersuci dengan air. Kita enggak kebayang kan bagaimana bersuci dengan air kok bisa diingkari karena di zaman itu air jarang air jarang. Bahkan ada sebagian sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم seperti disebutkan dari Yaman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا beliau ditanya, “Apa mungkin atau boleh seseorang bersuci dengan air?” Beliau Katakan, “Iya, إِذَا لَمْ يُنَجِّسْ يَدًا” (aku mungkin bersuci dengan air kalau tanganku masih bau). Berarti mereka terbiasa menggunakan batu kalau ternyata masih sisa. Dan ini disebut Beliau mengatakan bahwa bersuci dengan air memang beda dengan bersuci dengan batu standarnya berbeda karena hasilnya memang akan beda kalau orang menggunakan air bisa suci bersihnya. Kalau batuk tidak karena enggak mungkin batu di hancur itu badan orang ya kan. Maka kata Syekhul Islam اِبْنُ تَيْمِيَّةَ (Ibnu Taimiyyah) رَحِمَهُ اللَّهُ standar bersih ketika menggunakan batu untuk bersuci tidak sama yang penting عَيْنُ النَّجَاسَةِ (ainun najasah) hilang. Maka mungkin masih ada tersisa baunya atau mungkin masih ada yang tidak sebersih menggunakan air. Tapi kalau seandainya setelah bersuci begitu kok tersisa di tangan Anda masih ada bau yang apa namanya asing begitu maka Anda menggunakan air ini dinukil dari فَتَاوَىٰ (fatwa) juga di nukil dari sebagian sahabat lainnya beliau tidak mau menggunakan air sebagai alat bersuci. Disebutkan juga dari Ibnu Zubair, “Kami tidak pernah menggunakan itu artinya kami tidak biasa menggunakan air sebagai alat untuk bersuci.” Beliau juga mengingkari enggak mungkin Nabi صلى الله عليه وسلم bersuci dengan air dan ini mungkin saja disampaikan sebagian ulama karena hadis itu bisa jadi tidak sampai kepada mereka ya yang jelas menukil dari sebagian ulama yang meriwayatkan dan Imam Malik beliau mengingkari bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersuci dengan air. Maka Al-Imam Al-Bukhari ingin menyebutkan ini loh hadisnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersuci dengan air. Maka dalam riwayatnya dikatakan bersuci dengan air.
Kemudian di antara sebagian ulama ada yang menyebutkan, “Kenapa kok tidak boleh bersuci dengan air? Karena air itu dipakai untuk minum.” Karena air dipakai untuk minum maka terhormat tidak boleh digunakan untuk cebok itu padahal air beda-beda ya kan air beda-beda. Maka اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ seseorang bersuci dengan air. Al-Imam An-Nawawi رَحِمَهُ اللَّهُ Beliau juga menyebutkan hadis ini dan menjelaskan bolehnya seseorang bersuci dengan satu alat bersuci kalau seandainya ada yang bisa menggabungkan teori اِسْتِجْمَار (istijmar) dengan اِسْتِنْجَاء (istinja) bersuci dengan air dan bersuci dengan batu atau dengan kayu atau dengan tisu misalkan. Makanya lebih bagus para ulama menjelaskan karena ketika dia akan bercebok dengan tangannya tangan ini tidak perlu menyentuh najisnya sehingga yang pertama berhubungan dengan najis adalah batunya baru setelah itu diikuti dengan air. Ini أَفْضَلُ (afdal) kata Imam Nawawi para ulama. Akan tetapi para ulama juga mengatakan boleh seandainya seseorang اِسْتِجْمَار mencukupkan dengan salah satu dari alat bersuci sekalipun yang satunya lagi ada. Contohnya orang yang mencukupkan dengan air padahal ada batu itu boleh kebalikannya juga boleh ada orang mencukupkan dengan air meskipun mencukupkan dengan batu padahal air ada. Dan ini sama-sama menjadi metode dalam اِسْتِنْجَاء.
Bolehnya Meminta Bantuan dan Kisah Budak yang Alim
Kemudian faedah berikutnya disebutkan bolehnya seseorang memperbantukan atau minta tolong kepada orang lain sekalipun orangnya bebas. Karena biasanya para ulama dulu mereka memiliki budak sehingga apapun yang mereka perintah yang diperintah adalah budak dan ini berlaku terus ketika perbudakan masih ada para ulama memiliki budak sampai sebagian mereka tidak mengerti ketika dia belajar asik-asiknya disuapin oleh budaknya karena budaya khawatir ini Tuhannya belum makan akhirnya dia bilang sudah hati Aisyah ambilkan itu makan malamnya kemudian dia suapin Dia sedang baca asik banget itu. Selesai baca dia tanya kepada pembantunya atau budaknya tadi, “Mana makan malamku?” “Loh tadi Anda sudah makan.” Enggak ngerti. سُبْحَانَ اللَّهِ kalau kita kebalikannya itu kalau sudah ada makanan mau ujian juga enggak kebaca itu ya.
Padahal kadang-kadang ada orang mau belajar ngantuk cari Jamilah contohnya kebanyakan luar biasa ya artinya سُبْحَانَ اللَّهِ perbedaan kita sama ulama itu kelihatan sekali ya. Jadi ini menunjukkan bolehnya seseorang menggunakan bantuan orang lain sekalipun dia bebas. Apalagi Anda sebenarnya adalah orang yang siap istilahnya menjadi kita tidak katakan sebagai pengabdian atau dia mengabdi kepada Nabi صلى الله عليه وسلم. Akan tetapi memang dia siap untuk membantu. Bahkan Ibunya datang kemudian mengatakan, “Anak kecilmu akan membantu kamu.” Maka Rasul صلى الله عليه وسلم terima sampai menjadi pembantu Nabi صلى الله عليه وسلم selama 10 tahun. Terakhir sekarang غُلَام (ghulam) ini siapa? غُلَام ini اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ menyebutkan ada beberapa kemungkinan tapi yang jelas dalam riwayatnya dikatakan أَنَا kata ini menunjukkan bahwa membantu Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan kemuliaan. Bahkan Abu Darda رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Iya Abu Darda dalam صحيح البخاري dalam hadis ini pula ini hadis tentang اِسْتِنْجَاء ternyata Abu Darda ketika beliau datang ke Irak dan di situ ada Abdullah masih utuh. Kemudian beliau ditanya tentang sebuah hukum. Beliau mengatakan, “Kamu tanya ke saya kenapa?” Ini dikatakan kepada Alqamah salah seorang tabiin, “Kenapa kamu tanya ke saya sementara Anda di situ ada Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ dia punya alim yang bisa ditanya yang pernah membawakan sandal Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian biasa membawakan طُهُور tempat wudhunya Nabi صلى الله عليه وسلم dan juga suka membawakan bantal.” Karena juga sama salah satu sahabat yang dikenal dekat sekali dengan keluarga Nabi صلى الله عليه وسلم. Sampai dalam biografi beliau ada orang yang melihat sampai nyangka jangan-jangan Abdullah karena beliau bisa ketemu dengan Nabi صلى الله عليه وسلم di waktu-waktu yang jarang menerima tamu tetap aja masuk masuk begitu karena dekatnya. Ini menunjukkan keistimewaan kemuliaan kok bisa satu Nabi صلى الله عليه وسلم.
Maka ada yang mengatakan bisa jadi yang dikatakan bahwa غُلَامٌ نَحْوَهُ ini adalah Abdullah Bin Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Maka dikatakan di situ dalam beberapa riwayat غُلَام itu kata Hafiz bisa diartikan dari anak kecil sejak lahir sampai balig itu bisa dikatakan sebagai غُلَام. Kalau orang yang sudah dewasa apalagi tua kok dipanggil غُلَام itu berarti majas kata beliau itu hanya penyebutan saja. Tapi aslinya anak kecil sampai usia balig itu yang biasa dipanggil غُلَام ya. Kalau seandainya ada budak ya wajar dia dipanggil غُلَام atau عَبْد atau apa. Yang jelas secara makna dari usia seperti itu berarti ketika menyebutkan Abdullah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ juga membantu berarti usia itu segitu beliau usianya segitu. Cuman kata Hafiz Ibnu Hajar ini justru dari makna bahasa seolah-olah tidak benar kalau غُلَام-nya adalah Abdullah bin Mas’ud karena Abdullah bukan anak kecil tidak seperti Anas kalau Anas beliau memang masih kecil. Tapi kalau Abdullah Bin Mas’ud bahkan beliau termasuk orang yang sejak di Mekkah sudah dikenal akan tetapi mungkin dari pendapat yang lain dari pertimbangan yang lain ya disebutkan ketika Abdullah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ di Mekkah Beliau pernah menggembala kambing dan itu menjadi kebiasaan orang-orang mereka menggembalakan kambing dan Rasul صلى الله عليه وسلم pernah mengatakan kepada Abdullah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ adalah seorang anak muda yang terpelajar seperti itu. Dan ini pujian dan karena pertimbangan hadis tadi kemungkinan dia adalah Abdullah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Akan tetapi dalam riwayat صحيح البخاري disebutkan dengan lafaz غُلَامٌ مِنَّا itu maksudnya umurnya hampir sama dengan aku. Tapi dalam beberapa riwayat di antaranya riwayat Bukhari dikatakan ulama menafsiri مِنَ الْأَنْصَارِ dan Abdullah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ bukan termasuk orang Anshar beliau adalah Muhajirin. Akan tetapi bisa juga sih dipahami bahwa semua sahabat adalah أَنْصَار-nya Rasulullah صلى الله عليه وسلم tapi itu secara makna secara عُرْف jarang. Anshar itu orang Aus dan Khazraj. Ada riwayat lain yang mengatakan bisa jadi yang dimaksudkan adalah Abu Hurairah karena Abu Hurairah juga pernah beliau membawakan air itu untuk Nabi صلى الله عليه وسلم. Bisa jadi itu kebiasaan dan dikatakan نَحْوَهُ artinya صحيح dan Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ sekalipun beliau tidak kecil akan tetapi beliau hijrahnya belakangan memang beliau hanya menjadi sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم selama 4 tahun.
Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa orang itu adalah Jabir Abdillah karena dalam beberapa riwayat termasuk dalam صحيح مسلم Beliau pernah juga membawakan untuk Nabi صلى الله عليه وسلم bejana air. Tapi ini tidak ngefek dan tidak terlalu berpengaruh pada hukum dalam hadis karena siapapun yang membawakan yang penting hukum اِسْتِنْجَاء-nya. Dan ini menunjukkan bahwa اِسْتِنْجَاء adalah hal yang disyariatkan dan dianjurkan pada saat Nabi صلى الله عليه وسلم bersuci. طَيِّبٌ, kemudian dibawa di situ hadis.
Tujuan Membawa Tombak saat Buang Hajat
“Aku membawakan tempat air dan aku juga membawakan اَلْحَرْبَةَ.” Untuk apa ini kok Rasul صلى الله عليه وسلم akan pergi ke tempat itu kok dibawakannya tombak begitu untuk apa gitu? Tapi di sini sebagian riwayat dikatakan اَلْحَرْبَةَ dalam beberapa lafal sampai disebutkan حَرْبَةٌ ذَاتُ شُعْبَتَيْنِ (punya dua gigi). Maksudnya وَاللَّهُ أَعْلَمُ ke sana dan ke sini seperti tongkat begitu. Nah kata Hafiz Ibnu Hajar dalam hadis اِسْتِنْجَاء dibawakan tongkat bisa jadi karena Rasul صلى الله عليه وسلم ingin menutup auratnya bisa menutup aurat dengan itu. Bukankah apabila tombak itu ditancapkan gini kan dia cuman begini saja nutup auratnya? Bagaimana gitu kalau seandainya jongkok saja maka tetap kelihatan karena seandainya memang di atasnya ada dua gigi gini kelihatan begini mestinya mungkin apa dibalik begini naruhnya. Tapi bisa saja itu dipahami Rasul صلى الله عليه وسلم meletakkan di depannya kemudian menyampirkan atau melabuhkan pakaiannya di situ. Atau Nabi صلى الله عليه وسلم meletakkan di samping sehingga orang-orang yang akan lewat tahu, “Oh di situ ada orang buang hajat,” sehingga mereka minggir. Atau Nabi صلى الله عليه وسلم dibawakan itu untuk siap-siap memukul kalau ada hewan-hewan yang mendekat karena dalam riwayat yang banyak Rasulullah صلى الله عليه وسلم apabila akan buang hajat beliau menjauh dan الْخَلَاءُ itu adalah tempat yang jauh sebagaimana kebiasaan orang Arab dulu kalau mereka akan buang hajat mereka menjauh dari orang-orang sehingga bisa jadi banyak هَوَامّ (hawamm) atau binatang-binatang melata. Nah ini tombak bisa untuk pukul-pukul begitu. Nah dan ini mengisyaratkan karena bisa jadi tombak itu akan dijadikan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai سُتْرَة (sutrah). Karena Nabi صلى الله عليه وسلم apabila beliau sudah buang hajat beliau akan berwudu setelah beliau berwudu beliau akan salat dua rakaat. Nah dibawakanlah tongkat itu, dibawakan tongkat itu maka Rasul صلى الله عليه وسلم akan menjadikan tongkat itu sebagai سُتْرَة.
Berarti beliau buang hajatnya bukan di حَمَّام atau كَنِيف (kanif) akan tetapi di luar. Maka Hafiz Ibnu Hajar mengatakan الْخَلَاءُ di sini artinya adalah tempat yang di luar bangunan. Kalau seandainya buang hajatnya di rumah maka tidak perlu pembantu harus dibawakan ini. Kenapa? Karena keluarganya bisa nyiapkan begitu. Artinya ini beliau itu detail sekali ketika menyebutkan dan beliau menyebutkan setiap ada kemungkinan makna beliau akan tambahkan dengan riwayat. Dan ini yang jarang kita dapatkan dari buku-buku para ulama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ. Dan orang-orang yang datang setelahnya rata-rata menukil dari beliau banyak sekali seperti kemudian juga ulama-ulama setelahnya banyak menukil dari beliau. Ini menunjukkan adanya مَشْرُوعِيَّة atau disyariatkan seorang beristinja dengan air. طَيِّبٌ, kemudian hadis yang berikutnya hadis yang ke صلى الله عليه وسلم.
Larangan Menyentuh Kemaluan dengan Tangan Kanan dan Bernapas dalam Bejana
Janganlah salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan kanan pada saat dia buang air kecil dan jangan pula bersuci dari buang hajat. الْخَلَاءُ di sini merupakan buang hajat yang besar dan jangan pula menggunakan tangan kanannya. Dan jangan bernafas di dalam bejana. Di sini ada tiga larangan yaitu larangan untuk bernafas di bejana. Kemudian yang kedua larangan menggunakan tangan kanan ketika buang air kecil dan yang ketiga larangan menggunakan tangan kanan ketika bersuci dari buang air besar. Dan ini semua merupakan keistimewaan dalam Islam ketika dalam urusan seperti ini dibahas. Dan ini menunjukkan bagaimana tingkat wawasan masing-masing masyarakat. Kalau Anda perhatikan bagaimana berpendidikannya sebuah masyarakat lihat cara berpakaian, cara berbicara, dan juga cara bersuci. Orang kampung disuruh pakai kloset yang harganya mahal itu enggak bisa mereka, enggak bisa. Saya pernah mendengar itu ada orang yang dari desa dia biasa di sungai di sungai air banyak ya kan bebas-bebas-bebasnya dia. Sampai ke kota tempatnya kayak begitu enggak bisa dia siramkan air itu dalam membuang air itu dia siramkan air gitu karena terbiasa dengan kebiasaan di sana. Memperhatikan bagaimana sepak terjang, tingkah laku, tindak tanduk seseorang caranya begitu. Kalau tempat buang hajatnya kotor biasanya orang ini enggak jelas ini ya. Karena saya pernah mendengarkan di Arab Saudi Mereka bilang kadang ketika keluarga pengen تَعَارُف (ta’aruf) dengan keluarga lainnya keluarga laki datang ke keluarga perempuan mereka sengaja ingin numpang حَمَّام dilihat حَمَّام yang bersih apa enggak karena itu di antara standar penilaian kelihatan seorang Bagaimana dalam urusan najisnya ya.
Maka sebenarnya itu sudah diperhatikan dalam syariat Islam. Nah di sini tidak boleh seseorang menggunakan tangan kanan karena memang tangan kanan itu merupakan sesuatu yang digunakan untuk hal terhormat. Kita harus sampaikan dulu seseorang bisa jadi kalau ini dipakai untuk bercebok atau bersuci satu saat ketika dia makan menggunakan tangan kanan dia ingat jangan jangan ketika dia makan dia ingat, “Oh ini di sini,” akhirnya dia enggak jadi makan. Jangan dibalik makanya menggunakan tangan kiri berceboknya menggunakan tangan kanan enggak jelas sekali ada peraturan begitu ya. Kecuali kalau ada orang cacat terus lain lagi tapi yang jelas ini disebutkan dalam syariat seperti ini. Baik ini disebutkan oleh Abu Qatadah Al-Harits رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ beliau dikenal dengan apa namanya kuniahnya Abu Qatadah dan beliau ini merupakan salah satu فَارِس (faris) atau pasukan berkudanya Nabi صلى الله عليه وسلم. Disebutkan dalam صحيح مسلم menyatakan, “خَيْرُ فُرْسَانِنَا أَبُو قَتَادَةَ” (sebaik-baik pendekar penunggang kuda Kami adalah Abu Qatadah). Zaman sekarang anak-anak muda yang dibanggakan itu yang lagi sekarang tuh jadwalnya pada طَاقَة (taqah) kalau dapat Sepatu Emas bisa membawa negaranya. Enggak dibawa negaranya. Itu dia yang dibayar banyak ya. Tapi itu jadi kebanggaan untuk saudara, “Oh itu itu,” sampai bangga sampai تَجَنَّنَ (tajannana) sampai kayak orang gila itu kalau apa menggandrungi seorang bintang di bidang itu senang sekali. Sampai pakaian yang dipakai salat juga ada nomornya ada namanya juga, “Oh namanya ini ya.” سُبْحَانَ اللَّهِ karena memang sudah ngefansnya sama orang-orang kayak begitu. Kita lupa bahwa kita kaum muslimin punya teladan-teladan yang lebih menakjubkan itu enggak usah belajar. Anda itu rata-rata orang kayak gitu tuh kalau di pelajaran emang jarang ada orang pintar di lapangan pintar di kelas itu. Tapi seandainya dia manfaatkan kehebatan dan kekuatannya untuk yang lebih bermanfaat jelas ada.
Beliau dikenal sebagai فَارِس Nabi صلى الله عليه وسلم. Beliau juga dekat dengan khalifah Ali رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ sampai pernah dijadikan Gubernur. Kemudian semua pertempuran beliau bersama Ali رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ beliau ikuti. Sedangkan pertempuran beliau dengan Rasul صلى الله عليه وسلم dimulai dengan Perang Uhud. Ada riwayat yang mengatakan Beliau pernah menghadiri Perang Badar tapi kata Hafiz Ibnu Hajar riwayatnya lemah. Beliau baru mulai apa namanya berjihad bersama Nabi صلى الله عليه وسلم di intinya hadis ini menunjukkan larangan untuk menggunakan tangan kanan dalam buang air kecil, buang air besar, kemudian juga larangan untuk bernafas ketika minum. Dan menyebutkan larangan ini bersifat haram atau makruh karena secara lafaz teksnya menunjukkan itu larangan berarti larangan adalah hal yang haram. Akan tetapi جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ (jumhurul ulama) mengatakan larangan itu bersifat makruh karena pembahasannya berhubungan dengan adab. Karena hubungannya berkaitan dengan adab maka tidak sampai kepada haram. Kaitannya apa? Ketika seseorang menganggap larangan itu bersifat haram karena berkaitan dengan ibadah bersuci sehingga جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ menyebutkannya disebut oleh bahwa larangan itu berkaitan dengan makruh kata An-Nawawi sekalipun ada pendapat yang menegaskan haram seorang bersuci dengan menggunakan tangan kanan. Kok dia bersuci dengan tangan kanan maka menurut mayoritas ulama bersucinya sah tapi berdosa dia karena menggunakan tangan kanan sebagai sarana untuk bersuci menyelisihi hadis Nabi صلى الله عليه وسلم. Sedangkan pendapat pertama yang mengatakan bahwa haram hukumnya seseorang bersuci dengan tangan kanan kalau dia menggunakan tangan kanan sekalipun bersih tapi bersucinya sebagai sebuah ibadah tidak sah. Ini yang menjadi inti atau menjadi ثَمَرَة (samarah) kenapa para ulama memperdebatkan itu. Tapi yang jelas ini menunjukkan adab juga.
Bagaimana seorang muslim membagi? Dan ini sudah kita bahas pada pertemuan-pertemuan sebelumnya bahwa Al-Imam Nawawi juga mengatakan semua yang sifatnya kehormatan, kemuliaan digunakanlah tangan kanan. Apabila yang digunakan adalah yang sebaliknya maka yang dipakai adalah tangan kiri. 45 46 sekarang berapa 40 44 baik masih ada 2 menit. Baik di sini disebutkan jangan bersuci menggunakan tangan kanan ini berkaitan dengan اِسْتِنْجَاء. اِسْتِنْجَاء yang digunakan untuk membersihkan dari buang air besar. Kalau yang sebelumnya ada larangan untuk memegang kemaluan menggunakan tangan kanan lafaznya berkaitan dengan apa namanya بَوْل (baul) berarti kalau tidak بَوْل kalau memang ada حَاجَة (hajah) maka tidak mengapa tapi kalau sudah حَاجَة untuk apa hukum asalnya tidak boleh seperti itu karena memang apa namanya adalah larangan secara umum. Sebagian ulama memahami itu umum bahkan sebagian ulama mengatakan kalau ada orang yang ingin bersuci menggunakan batu maka otomatis dia akan menggunakan tangan kiri akan tetapi kadang dia membutuhkan tangan kanannya untuk memegang atau bahkan memegang kemaluannya dalam kondisi seperti itu makanya urusan lain sekalipun sebenarnya ada orang bersuci tanpa memegang dengan tangan kanan pun bisa. Dan ini dilarang dalam hadis ini.
Yang terakhir adalah larangan untuk Bernafas Dalam bejana. Para ulama menyebutkan bahwa larangan itu apabila kita sedang minum dari tempat itu bukan secara mutlak ada orang iseng diambil air kemudian dia bernafasan itu tidak berkaitan dengan hukum yang disebutkan akan tetapi hukum berkaitan dengan larangan bernafas ketika minum itu apabila dia memang sedang akan minum dari tempat itu. Ada riwayat yang menyebutkan secara tegas disebut oleh Hafiz Ibnu Hajar رَحِمَهُ اللَّهُ yang disebut oleh Hakim dalam مُسْتَدْرَكُnya, “إِذَا كَانَ يَشْرَبُ مِنْهُ” (jangan sekali-kali sebagian kalian Bernafas Dalam bejana itu kalau dia minum dari bejana tersebut). Kenapa demikian? Allah menyebutkan ini مَعْقُولُ الْمَعْنَى (ma’qulul ma’na) artinya hikmah yang terkandung dari larangan ini bisa dicerna gampang sekali.
Karena akan membuat apa orang yang setelahnya jijik terlebih ini disebutkan bisa jadi ketika dia minum kemudian bernafas tanpa disengaja keluar sesuatu entah itu atau رِيق (riq) yang tipis yang warnanya putih atau yang warnanya kuning. Nah kita mungkin bisa hati-hati coba Anda lihat anak kecil itu kalau minum dari botol itu warna air kok bisa berubah gitu kadang-kadang dia minumnya masih ada isinya di sini karena apa tersedak ya tersedak minum dia itu. سُبْحَانَ اللَّهِ air dalam berubah itu yang menjadi orang yang lain akhirnya malas untuk menggunakan itu atau jijik termasuk dirinya sendiri untuk melanjutkan menggunakan air itu apalagi sampai menularkan penyakit sampai menularkan penyakit ini disebutkan oleh para ulama jauh-jauh hari اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ meninggal tahun 852 beliau menukil dari ulama-ulama sebelumnya artinya kebiasaan untuk berjaga itu jangan jadi satu kelasnya atau piringnya agar tidak menular akan tidak apa namanya tersebar begitu kebiasaan mereka tapi bukan berarti ini tidak boleh karena justru ini menunjukkan bolehnya seseorang menggunakan tempat yang sama karena khawatir kalau dia sembarangan menggunakan orang setelahnya akan menggunakan malas dan menunjukkan mereka juga terbiasa untuk menggunakan hal bersama-sama akan tetapi pada saat ada penyakit maka mereka terbiasa untuk disiplin juga jangan sampai menjadi sebab tersebarnya sebuah penyakit. Ini adzan dulu saja. [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik]
Hadis Terakhir: Siksa Kubur dan Namimah
Hadis terakhir dari Abdullah bin Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا. Rasulullah صلى الله عليه وسلم melewati dua kuburan tiba-tiba mengatakan bahwa penduduk 2 kuburan ini sedang disiksa bukan dengan perkara besar. Dia tidak menjaga atau tidak mencari penghalang dari air kencingnya sedangkan orang satunya lagi pakai نَمِيمَة (namimah) dia sering mengadu domba. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian mengambil pelepah kurma beliau tancapkan satu potong di kuburan ini satu potong lainnya di kuburan lainnya. “قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا.” (Mereka berkata, “Ya Rasulullah, kenapa engkau lakukan ini?” Bahasa: semoga dua penghuni kubur ini diringankan hukumannya selama pelepah kurma ini masih basah). صحيح البخاري dan Muslim seperti hadis-hadis lainnya dalam مُعَلَّقَاتِ الْبُخَارِي diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا. Abdullah bin Abbas adalah sepupu Nabi صلى الله عليه وسلم. Nasab beliau mulia sebagaimana nasab Nabi صلى الله عليه وسلم. Beliau adalah anak pamannya, Al-Abbas adalah paman Nabi صلى الله عليه وسلم. Maka nasabnya sama Abdullah bin Abbas Ibnu Abdul Muthalib Ibnu Hasyim Ibnu Qasim sampai Bani Hasyim Quraisy dan seterusnya nasab beliau merupakan nasab yang seperti حَبِيب. Kemudian beliau merupakan sahabat yang masih junior karena beliau cerita sendiri, “Ketika Nabi صلى الله عليه وسلم meninggal, aku baru saja dikhitan.” Ini menunjukkan beliau memang masih muda sekali. Beliau bahkan pernah nginep di rumah bibinya yaitu Maimunah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Kemudian beliau meriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم salat malam.
Akhirnya Ibnu Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا bangun ikutan salat malam kemudian dipindah kepalanya diambil oleh Nabi صلى الله عليه وسلم diputar karena beliau berdiri di sebelah kiri Rasulullah صلى الله عليه وسلم diputar sampai ke sebelah kanannya. Beliau didoakan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dan maknanya dalam riwayat disebutkan, “وَفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ” (pahamkan terhadap agamanya, kemudian beliau ini sampai diberi julukan oleh musuh Islam pada saat itu namanya orang-orang Romawi dan sekitarnya). Diberi julukan حَبْرُ الْأُمَّةِ (habrul ummah) tintanya umat ini dan juga dijadikan gelar تُرْجُمَانُ الْقُرْآنِ (turjumanul Quran) Ahli Tafsir Al-Qur’an pada saat itu. Beliau adalah salah seorang sahabat yang mudah sekali. Sebenarnya beliau termasuk adalah orang yang masih muda sekali. Ketika Nabi صلى الله عليه وسلم meninggal beliau katakan kepada salah seorang sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم beliau mengajak untuk apa namanya belajar kepada para sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم. Beliau mengatakan, “هَلُمَّ يَا صَاحِبِي إِلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.” “Aku mengatakan kepada seorang هَلُمَّ.” صلى الله عليه وسلم.
“Mereka mumpung masih banyak.” Maka orang tadi mengatakan, “Kamu apakah kira-kira atau aturan Apakah mereka akan butuh kepada ilmumu? Para sahabat banyak ngapain kamu belajar?” Artinya dari zaman dulu itu ada orang itu artinya menggembosi ketika ada orang mau belajar, “Ngapain belajar ini? Buang-buang waktu enggak dapat duit aja.” Begitu ini enggak usah digembosi. Sebagian orang juga sudah tertarik begitu. “Iya kita belajar jadi miskin.” “Kalau mau kaya jangan jadi guru, menjadi pedagang.” Ya semua hadis mengatakan belajar hadis dia siap untuk bangkrut. Yang jelas ini sempat disampaikan kepada Ibnu Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا. Maka pokoknya tetap belajar dan dia tidak mau sampai akhirnya orang itu juga semakin tua seperti aku juga semakin tua akhirnya dia melihat apa namanya aku sudah duduk dan digital oleh para maka dia mengatakan tentang Ibnu ini anak muda ini betul-betul lebih berakal daripada saya. Tapi ini sudah tua setelah melihat Ibnu Abbas akhirnya berhasil dengan belajarnya memang membutuhkan waktu. Di saat itu Ibnu Abbas menjadi orang yang tidak menjadi rujukan akan tetapi terkadang Umar Bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ karena melihat kecerdasan anak ini akhirnya selalu dipanggil di majelis-majelis para sahabat. Tapi yang jelas Ibnu Abbas ini karena kecerdasan beliau akhirnya beliau sempat mengajak diskusi berdebat dengan orang-orang Khawarij sehingga mereka tobat. Mereka tidak jadi memberontak kepada Ali رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Jumlah mereka sekitar 2000 orang asalnya jumlah mereka 4000 atau 6000 ketika berdiskusi dengan Ibnu Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا datang.
Alasan Siksa Kubur dan Hukum Penancapan Pelepah Kurma
“Apa yang kalian perkarakan dengan Ali رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ sampai kalian memberontak?” “Kami memiliki gini gini pokoknya dalilnya ada 3 itu dalam.” Maka Beliau mengatakan, “Kalau seandainya aku jelaskan kepada kalian kalian mau pulang apa enggak? Kalian mau tobat?” Iya. Akhirnya dibantah oleh Ali satu persatu sampai akhirnya 2000 orang مُسْلِم (muslim) kemudian mereka tidak jadi memerangi Ali رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Merupakan orang yang ahli dalam berbicara padahal beliau adalah orang yang حَبِيب istilahnya keturunan Nabi صلى الله عليه وسلم. Berkaitan pula dengan masalah اِسْتِنْجَاء bahwa seseorang ketika tidak perhatian dengan urusan bersuci dia bisa terjerumus ke dalam dosa besar karena Nabi صلى الله عليه وسلم ternyata menyebutkan bahwa orang tidak perhatian dengan najis kencing itu menyebabkan adab kubur. Dalam sebuah hadis yang disahihkan sebagian ulama, penyebab kebanyakan adab kubur karena air kencing. Baik di sini disebutkan, “مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرَيْنِ” (Marwan Nabi صلى الله عليه وسلم dalam riwayat Bukhari disebutkan beliau melewati dua kuburan). Ada hadis lain dari Jabir bin Abdillah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم juga pernah melewati kasus kuburan yang sama dua juga tapi di Mekkah sehingga bisa jadi kisah seperti ini terulang. Akan tetapi kata Al-Qurtubi dan An-Nawawi dan juga Al-Khabir رَحِمَهُ اللَّهُ mereka katakan, “Kayaknya kisahnya tidak terulang akan tetapi kisahnya diriwayatkan oleh lebih dari satu orang.” Tapi Hafiz beliau مُرَجَّح (murajjah) ini bisa jadi terjadi lebih dari satu kali. Kemudian beliau menyebutkan perbedaan-perbedaan dalam hadis itu. Ini contohnya yang dipotong berapa? Kalau dalam hadis yang kita bahas ini yang diambil pelepah kurma dibagi dua. Kalau dalam hadis Jabir dalam صحيح مسلم yang diambil itu dua pelepah kurma, “Ambil tuh satu kemudian dua.” Kalau ini satu aja yang diambil kemudian dibagi dua.
Kemudian kenapa yang diambil adalah pelepah kurma? Kata Hafiz Ibnu Hajar, “Bisa jadi karena memang pohon ini paling lama keringnya.” Baik. Kemudian disebutkan, “إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ” (dua orang ini disiksa dan disiksa bukan karena urusan yang berat sekali). Dalam riwayat yang banyak disebutkan, “وَإِنَّهُ لَكَبِيرٌ” (dan sungguh itu adalah dosa yang besar). Dokter ulama mengatakan maksudnya, “Kenapa Rasulullah mengatakan tidak besar tapi besar?” Para ulama mengatakan, “Bisa jadi Rasul صلى الله عليه وسلم mengatakan di saat awalnya itu adalah hal sepele tiba-tiba beliau mendapatkan wahyu bahwa itu bukan urusan sepele.” Akhirnya Rasul sampaikan lagi begitu mendapat wahyu beliau sampaikan bahwa ini ternyata besar. Ini sebagian ulama menafsiri seperti itu. Atau ada yang menafsiri maksudnya itu tidak besar dalam penilaian orang padahal di sisi Allah itu besar. Sehingga ini sama dengan firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ. Ada sebagian ulama menafsiri beda lagi mereka mengatakan, “Itu adalah tidak besar فِي صُورَةٍ (fisurah) dalam penampilannya tidak besar tapi dosanya besar.” Kerjaannya tidak besar akan tetapi ternyata akibatnya besar. Sehingga sebagian ulama lain hampir sama dengan ini mengatakan, “Sebenarnya menjaga kesucian dari najisnya kencing itu tidak susah tapi ternyata ketika banyak orang tidak perhatian akhirnya menjadi siksa kubur dan ini bahaya sekali.” Anda perhatikan coba. Banyak kaum muslimin tidak perhatikan dengan najis. Anda bayangkan dan ini sebenarnya tidak merupakan hal yang wajib karena perhatian dalam salat saja tidak. Bagaimana dengan bersuci? Coba lihat Anda jawab perjalanan pulang ke rumah Anda perhatikan ketika bus itu berjalan di waktu azan apakah berhenti? Ya bisa Rasulullah mungkin saudara. Tapi itu lalu berprasangka berlebihan karena realitasnya tidak seperti itu. Bisa jadi melewati 5 waktu dan tidak berhenti semuanya.
Anda lihat yang salat berapa orang? Baik. Kalau mereka tidak perhatian dengan masalah salat maka yang lebih ringan dari itu lebih perhatian mungkin sekali. Termasuk diantaranya bersuci di toilet, toilet umum. Anda perhatikan وَاللَّهُ أَعْلَمُ sudah mereka baik. Pakai gaya apa saja sudah masuk belakangan keluar duluan. Loh ini ceboknya bagaimana? Belum lagi kalau tempat yang dipakai untuk ber apa buang air itu keramik dan kelihatan kalau seandainya kena air kecil nyiprat itu. Maka di sini dikatakan kebanyakan orang meremehkan itu padahal ternyata konsekuensinya berat sekali. Ada yang mengatakan di antara tafsirannya adalah, “Sebenarnya ini urusan tidak terlalu besar akan tetapi ketika dilakukan terus-menerus maka menjadi besar.” مَا قَلَّ دَلَّ (Ma qallun dalla) mengatakan dosa kecil itu kalau ditumpuk-tumpuk tumpuk terus dia menjadi dosa besar dan ini bahaya sekali. طَيِّبٌ.
Kemudian Rasul صلى الله عليه وسلم mengatakan salah satu dari keduanya tidak bersuci. Dalam riwayat lain dikatakan لَمْ يَسْتَتِرْ (lam yastatir) tidak berhati-hati dan tidak menjaga kesuciannya. Dalam riwayat yang dikatakan وَلَا يَتَنَجَّسُ dalam Muslim dikatakan لَا يَتَنَزَّه (layatanza) tidak bersuci. Dan ini disebut oleh para ulama bisa jadi ketika dia memilih tempat tidak perhatian sehingga air kencing itu nyiprat. Dan di sini disebutkan oleh Hafiz Ibnu Hajar dan beliau ada kewajiban untuk segera mencuci pakaian yang najis kena air kencing. Sebagian ulama mengatakan tidak wajib segera untuk mencuci itu selama kita tidak mau salat karena kalau seandainya pernah kena kencing menjadi najis tapi kalau dia tidak banyak apalagi kering maka dia tidak akan menularkan kenajisannya kepada yang lain. Akan tetapi pada saat dia salat dia tapi itu najis tidak boleh dia pakai pakaian itu. Ini sebagian ulama mengatakan demikian itu enggak benar karena orang enggak ngerti sekarang dia tunda-tunda nanti gimana akhirnya dia enggak bisa mensucikan bajunya. Dan ini juga menjadi larangan dalam hadis ini hati-hati ketika orang tidak perhatian dengan pakaian yang kecampur atau kecipratan air kencing. Kemudian disebutkan akhirnya ada sebagian ulama mengatakan يَسْتَتِرُ (yastatir) itu tidak menutup aurat. Sekalipun وَاللَّهُ أَعْلَمُ makna ini akhirnya disebut sebelumnya bahwa makna ini tidak kuat sekalipun orang berdosa ketika tidak menjaga auratnya akan tetapi kaitan dengan kenajisan air kencing itu tidak identik dengan menutup auratnya akan tetapi lebih kepada menjaga agar air kencing itu tidak nyiprat.
Adapun اَلنَّمِيمَةُ (namimah) artinya mengadu domba, نَقْلُ الْكَلَامِ بَيْنَ النَّاسِ بِقَصْدِ الْإِفْسَادِ (menukil perkataan orang lain tujuannya untuk ngadu), ini namanya نَمِيمَة. Kalau menukil perkataan orang lain tujuannya untuk mendamaikan tidak apa-apa padahal enggak. Tapi tujuannya agar dua orang ini berdamai itu dibolehkan. Saya pernah dengar katanya وَاللَّهُ أَعْلَمُ pernah beliau ada satu bantah-bantahan secara ilmiah dengan salah seorang ulama di Saudi akhirnya ada seorang penuntut ilmu datang Syekh Syekh ini menyemburkan salam kepada Anda. Kata Syekh Albani itu dari Anda kan tahu beliau. Tapi yang jelas memang boleh seperti itu orang menyampaikan kata-kata dari orang lain tujuannya untuk mendamaikan. Baik dan ini dosa besar disebut oleh Nabi رَحِمَهُ اللَّهُ dalam الْكَبَائِر (al-Kaba’ir) termasuk bagian dari dosa besar.
Hukum Menancapkan Pelepah Kurma di Kuburan
Kemudian Rasulullah صلى الله عليه وسلم mencontohkan di sini bukan mencontohkan tapi beliau akhirnya mengambil pelepah kurma dan dipotong menjadi. Di sini ada pembahasan yang masyhur yaitu Ketika Nabi صلى الله عليه وسلم akhirnya mengatakan, “وَمَا يُعَذَّبَانِ إِلَّا بِسَبَبِ مَا قَامَا بِهِ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ” (melainkan azab orang yang di dalam kuburan ini selama pelepah ini masih basah).
طَيِّبٌ. Disebutkan di antara pembahasannya Apakah penghuni kuburan ini adalah orang kafir? Ada riwayat yang mengatakan demikian bahwa dua orang ini termasuk dari bangsa Anshar tapi bukan Anshar. Cuman mereka dari bangsa Bani apa gitu keluarganya kabilahnya dan mereka mati di zaman Jahiliyah yang lemah karena dalam beberapa riwayat yang صحيح dikatakan disebutkan dalam riwayat yang صحيح lafaznya melewati dua kuburan yang baru. Kalau baru berarti bukan zaman Jahiliyah tapi zaman Nabi صلى الله عليه وسلم sudah di situ.
Kemudian dalam riwayat yang lain dikatakan adalah kuburan untuk kaum muslimin maka ini penghuninya bukan orang kafir. Kemudian permasalahan melakukan aktivitas penancapan gitu Apakah menjadi kebiasaan yang bisa ditiru oleh seluruh kaum muslimin? Beliau termasuk berpendapat ini boleh ditiru sampai beliau mengatakan ini karena ada keberkahannya. Nah ini yang dikoreksi وَاللَّهُ أَعْلَمُ dikoreksi ya karena kebanyakan para ulama lain mengatakan tidak, tidak boleh ditiru. Kenapa? Karena ini yang paling tegas dan paling kuat حُجَّة-nya yang dinukil dari Al-Qadhi mengatakan karena Nabi صلى الله عليه وسلم menyebutkan alasannya, “إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ” (Innahuma layu’adzdzaban wa ma yu’adzdzaban fi kabirin) ndak mungkin Nabi صلى الله عليه وسلم menyebutkan itu kecuali dengan standar wahyu. Dan tidak mungkin karena hanya sekadar alasan pingin رَحِيم (rahim) kasihan akhirnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم memberikan tancapan itu. Karena sebagian ulama mengatakan memang harus belajar menukil. “Kenapa kok dipilih pelepah kurma?” Karena pelepah kurma itu apa namanya yang lama keringnya. طَيِّبٌ, kalau begitu Apakah berlaku untuk semua tumbuhan? Tidak. Dan ini juga Nabi صلى الله عليه وسلم tidak lakukan. Kemudian ambil semua di Madinah, tancapkan ke semua kuburan. Tidak pernah seperti itu. Kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم juga mengatakan ini dua penghuni kubur sedang disiksa. Kalau ada orang nancep nancep begitu Apakah dia juga tahu kalau Nabi صلى الله عليه وسلم tancapkan dia akan menancapkan itu karena tahu ini orangnya di dalam sedang disiksa? Ini jadi سُوءُ الظَّنِّ (su’u az-zann) sama orang yang di dalamnya ya. Maka sebagian ulama mengatakan ini tidak bisa dicontoh dan Nabi صلى الله عليه وسلم juga tidak memberikan itu kepada semua sahabatnya. Akan tetapi beliau menyebutkan alasan karena itu ada hal gaib yang beliau mendapatkan wahyu. Tidak bisa dijadikan alasan.
Kemudian penjelasan para ulama juga berikutnya yang dijadikan hebat dalam kasus ini adalah doanya nabi bukan karena pelepahnya, bukan juga karena perbuatan itu. Tapi doanya nabi mengatakan sebuah kata-kata pengharapan, “Mudah-mudahan ampuni dua penghuni kubur ini selama ini masih basah.”
Buktinya apa? Para sahabat tidak ada yang ikut-ikutan begitu sampai pun para sahabat yang dikenal مُجَابُ الدَّعْوَةِ (mujabud da’wah) seperti Saad bin Abi Waqqas, terkenal مُجَابُ الدَّعْوَةِ, dikenal dikabulkan doanya. Kemudian Hafiz lagi itu Abdullah bin Abbas, Al-Abbas beliau dikenal Umar Bin Khattab ketika di zaman khilafahnya minta kepada Al-Abbas agar didoakan biar turun hujan. Tapi beliau tidak datang ke kuburan kemudian nancep-nancepkan begitu. Ini menunjukkan bahwa yang diandalkan itu doanya Nabi صلى الله عليه وسلم bukan karena penancapan maupun dari yang ditancapkan.
Sebagian ulama mengatasnamakan alasan itu karena pelepah yang basah itu bertasbih. Akan tetapi jawabannya yang bertasbih itu tidak hanya pelepah saja. Kalau dinamakan karena itu basah maka banyak juga pohon-pohon yang bertasbih tidak hanya sekadar pelepah kurma. Tapi kenapa seperti itu? Para ulama mengatakan maksudnya Rasul صلى الله عليه وسلم berdoa semoga diringankan selama masih basah bukan karena basahnya tapi selama masih basah menunjukkan waktu saja. Menunjukkan waktu kalau seandainya karena basahnya mungkin sekali para sahabat. Kemudian datang bawa pelepah baru atau disirami. Maka وَاللَّهُ أَعْلَمُ pendapat yang رَاجِح adalah tidak ada sunahnya seperti itu. Yang paling jelas adalah para sahabat tidak mengikuti itu. Hanya ada satu mukilan dari Buraidah Ibnu beliau ketika memberikan wasiat, “Nanti kalau aku meninggal tolong ditancapkan di kuburan saya.” Tapi tidak ada sahabat lain yang menyebutkan itu. Sehingga وَاللَّهُ أَعْلَمُ pendapat yang رَاجِح tidak ada anjurannya seperti itu. وَاللَّهُ أَعْلَمُ. Ini sedikit yang kita bisa pelajari mudah-mudahan bermanfaat. Harusnya banyak sekali dan memang اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ dengan riwayatnya. Akan tetapi mudah-mudahan yang sedikit bermanfaat kurang lebihnya mohon maaf. صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Tanya Jawab: Hukum Fikih Kontemporer dan Motivasi Belajar
Pertanyaan: Bagaimana cara مُرَاجَعَة (muraja’ah) suatu pendapat dengan benar dan apakah boleh ketika sudah memilih pendapat A kemudian di satu waktu mengamalkan pendapat B seperti contoh bersedekap ketika اِعْتِدَال?
Jawab: Bagaimana caranya mempelajari dalilnya? Kalau kita tidak bisa memahami dalil sendiri maka kita تَقْلِيد (taqlid) kepada para ulama. Tapi تَقْلِيد-nya sambil mengetahui dalilnya, dalilnya apa kita ikuti. Selesai. Kemudian Apakah boleh kita terkadang menggunakan pendapat yang lain? Boleh. Akan tetapi catatannya tidak boleh mencari yang gampang tapi kita memandang misalkan pendapat ini sama-sama kuat ada dalilnya dan selama مَجَال (majal) atau ranahnya adalah ranah اِجْتِهَاد (ijtihad) kita katakan dua-duanya bisa diamalkan tidak apa-apa. وَاللَّهُ أَعْلَمُ seperti itu. Tapi kalau mencari yang ringan, mencari yang gampang kita khawatir masuk dalam perkataan ulama mencatat baru orang yang mencari-cari keringanan dia bisa menjadi زِنْدِيق (zindiq).
Pertanyaan: Apakah kotoran binatang yang haram dimakan membatalkan wudu?
Jawab: Tidak, tidak membatalkan tapi najis.
Pertanyaan: Bagaimana dengan hukum kencing berdiri?
Jawab: Boleh kencing berdiri boleh. Dalam hadis yang صحيح disebutkan dari hadis حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم pernah suatu saat mendatangi tempat sampah beberapa kaum lalu Beliau kencing berdiri. Pada Allah mengatakan kencing berdiri dibolehkan selama bisa menjaga agar najisnya tidak nyiprat. Akan tetapi kalau seandainya khawatir akan nyiprat maka dia tinggalkan sikap itu.
Pertanyaan: Saya pernah membaca bahwa Rasul صلى الله عليه وسلم tidak meletakkan سُتْرَة tepat di depan beliau. Apa derajat hadis ini dan bagaimana sebaiknya kita meletakkan سُتْرَة kita?
Jawab: Ada sebuah riwayat وَاللَّهُ أَعْلَمُ adanya صحيح menyebutkan bahwa beliau menggunakan سُتْرَة agak ke depan jarak antara beliau dengan tempat sujudnya sekitar 3 ذِرَاع (dzira’) sehingga tidak pas tempat sujud akan tetapi ada dilebihkan sekitar ada kambing lewat sehingga سُتْرَة-nya tidak mesti langsung dekat. Akan tetapi seandainya dekat pun tidak mengapa. Ada sebuah riwayat yang mengatakan agar tidak diputus oleh setan seperti itu. Kalau seandainya tidak menggunakan سُتْرَة sama sekali وَاللَّهُ أَعْلَمُ. Ini yang dinukil dari apa namanya riwayat kayaknya kita akan pelajari dalam hadis bin Abbas. Rasulullah tidak menghadap ke tembok dipahami oleh sebagian ulama tidak menggunakan سُتْرَة tapi ini dibantah oleh para ulama ini tidak pasti menunjukkan beliau tidak pakai سُتْرَة karena ketika beliau keluar ke tanah lapang biasa beliau membawa اَلْحَرْبَةَ tadi itu sehingga tidak menghadap tembok bukan berarti tidak menghadap ke سُتْرَة seperti itu.
Pertanyaan: Bahwa ketika seorang apa ini seorang berdakwah mengisi kajian atau khotbah ia harus mendapat تَزْكِيَة (tazkiyah) rekomendasi dari pusat-pusat lain atau dari ulama?
Jawab: Ini tidak ada kewajiban untuk mendapatkan rekomendasi itu. Akan tetapi kalau mendapatkan rekomendasi agar seorang lebih dikenal dan diketahui kapasitasnya. Dulu para ulama mereka membaca buku menulis buku kemudian menyampaikan mereka mendapat rekomendasi dulu seperti Imam Malik رَحِمَهُ اللَّهُ sampai dilihat sama para ulama sampai akhirnya mereka semua sepakat bagus ini baru disebarkan sebagainya.
Pertanyaan: Sebesar apa kita harus berjuang menjauhi syubhat?
Jawab: Enggak usah diukur besar atau kecil karena bisa sudah mengatakan, “مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ” (Barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, maka dia telah menjaga agamanya). Enggak usah dilihat besar kecilnya. Kita penasaran dan merasa percaya diri tidak akan terpengaruh itu percaya diri yang tidak pada tempatnya ya. Allah percaya diri. Anda tanya di kelas kemudian Anda tampil untuk hal-hal yang bermanfaat ya jangan percaya diri pada sembarangan tempat.
Pertanyaan: Tadi di mukadimah disebutkan bahwa أَهْلُ السُّنَّةِ tidak akan bersatu lalu bagaimanakah definisinya زِنْدِيق (zindiq) yang sebenarnya? Apakah mereka yang berakidah selain akidah Salaf disebut أَهْلُ الْبِدْعَةِ?
Jawab: بِدْعَة disebutkan oleh sesuatu yang dilakukan sesuai seperti syariat bahkan menyayangi syariat untuk mendekatkan diri kepada Allah tapi dia tidak termasuk dari bagian syariat. Dan tidak semua orang ketika melakukan بِدْعَة dikatakan أَهْلُ الْبِدْعَةِ bisa jadi karena dia tidak tahu atau dia ikut-ikutan atau dia dipaksa dan sebagainya. Maka tidak bisa semua orang dikatakan أَهْلُ الْبِدْعَةِ dan apa semua penilaian itu dinilai dari perbuatannya bukan dari label yang disematkan oleh masyarakat. Maka terkadang seorang belajar hadis akan tetapi ternyata dia tidak suka dengan hadis itu.
Seperti orang belajar Al-Qur’an حَافِظ (hafiz) tapi dia membaca Al-Qur’an tidak mendapat ketenangan sampai ketika dia harus menghadapi sebuah urusan pribadi dia datang ke psikolog dan dia di apa namanya dinasihati untuk minum-minuman keras buka jilbab dia bisa jadi seperti itu. Maka tidak semua orang yang hafal Quran misalkan dia أَهْلُ الْقُرْآنِ sebagaimana tidak semua orang belajar hadis dia adalah ahli hadis.
Pertanyaan: Bagaimana dengan asetil yang tinggal di kampung-kampung? Apakah mereka juga termasuk أَهْلُ الْبِدْعَةِ?
Jawab: Anda ngapain pusingkan orang. Anda pelajari hadis nanti Anda bisa mengikuti tidak usah ngurusin orang lain. Kita lihat sebagai orang menggunakan sebagian orang mengatakan kiri setiap kegiatannya seperti nulis makan karena memang tangan kiri lebih kuat. Kidal ya bagi dia daripada tangan kanan.
Pertanyaan: Bagaimana hukumnya?
Jawab: Kalau memang dia mampunya seperti itu tidak mengapa. Akan tetapi dalam urusan yang berkaitan dengan syariat seperti makan tidak boleh menggunakan tangan kiri kecuali kalau lumpuh bener. Kalau lumpuh maka ini urusan lain. Tapi kalau bisa dia gunakan biasanya orang kidal itu dia kerjanya pakai tangan kiri tapi tangan kanan tetap bisa tetap bisa dipakai untuk makan tetap bisa dipakai untuk membawa apa. Maka ketika makan dia harus sesuai dengan syariat.
Tanya Jawab: Metode Pengajaran Hadis dan Perbedaan Pendapat
Pertanyaan: Ketika menjelaskan hadis ke masyarakat apa kita mulai dengan mengajarkan istilah dalam ilmu مُصْطَلَح atau langsung menghukumi hadis yang tersebut karena kebanyakan hadis yang tersebar dan masyhur adalah ضَعِيف bahkan palsu?
Jawab: Ya ini makanya Anda biasakan agar kaum muslimin mendengarkan hadis karena kebanyakan mereka ketika tidak tahu hadis-hadis yang صحيح akhirnya mereka senang dengan hadis saja yang heroik yang gampang. Nah bagaimana caranya? Anda kalau jelaskan secara مُصْطَلَح hadis ini diriwayatkan melalui jalur ini tidur semua orang. Maka Anda jelaskan saja hadis ini صحيح selesai. Sudah mereka cukup terbiasa mendengarkan hadis dan صحيح selesai. Sampai lama kelamaan mereka lama mereka akan bertanya mau bertanya.
Pertanyaan: Apakah suatu hadis bisa melemahkan hadis lain? Keduanya sama-sama صحيح tapi di situ ada تَعَارُض (ta’arud) dan keduanya terjadi perbedaan di apa ini تَأْوِيل (ta’wil). Apa yang jelas kalau saya dua-duanya صحيح maka bukan menjadi ضَعِيف karena hadis yang lain akan tetapi mana yang lebih dipakai, mana yang lebih dipakai?
Jawab: Bisa jadi salah satunya مَنْسُوخ (mansukh) bisa jadi salah satunya lebih صحيح dan sebagainya.
Pertanyaan: Menurutnya Apakah ikhtilaf itu terjadi sekali pada seorang laki-laki atau bisa terulang berkali-kali?
Jawab: Ya tergantung ada orang yang mungkin sekali kalau Setelah dia mimpi kemudian meninggal dan ini menjadi ciri khasnya orang-orang yang dewasa dia bisa bermimpi. Artinya ini kebiasaan dan semua orang tahu bahwa dalam itu merupakan tanda kedewasaan dan bisa berulang.
Pertanyaan: Saya sering mendengar dari Ustaz kita jika salat Subuh dan Imam Qunut maka kita mengikuti imam untuk Qunut namun saya melihat Ustaz kami juga ada yang tidak ikut Qunut. Mohon penjelasan Ustaz Apakah ada dalil atau pendapat untuk tidak ikut qunut dan pendapat mana yang lebih رَاجِح?
Jawab: Iya ini adalah اِجْتِهَاد (ijtihad) Anda. Saya katakan ini adalah pendapat yang masuk dalam ranah اِجْتِهَاد. Bahkan jangankan mengikuti qunutnya, qunutnya sendiri itu juga perbedaan pendapat. Akan tetapi dalam Mazhab Syafi’i mereka مُرَجِّح itu. Maka يَتَفَرَّعُ (yatafarra’) atau dari di antara pembahasan itu pembahasan mengikuti Qunut atau tidak. Sebagian ulama mengatakan seperti Imam Ahmad beliau qunut di belakang orang yang qunut. Maka kita ikuti juga tidak apa-apa. Kalau seandainya tidak ingin qunut maka tidak perlu disalahkan tidak masalah seperti itu.
Pertanyaan: Apa hukum menonton Naruto film kartun untuk refreshing Ustaz?
Jawab: Anda cari refreshing yang lain. Anda cari refreshing yang lain. Sebenarnya ini tidak membuat Anda terhibur bisa jadi Anda tambah malas ya, tambah malas karena nonton itu capek.
Pertanyaan: Jika ada lalat yang masuk ke minuman benda cair kita dianjurkan untuk mencelupkannya. Bagaimana jika lalat tersebut berada di benda padat Ustaz? Berarti dia tidak nyemplung. Pertanyaannya, Biarkan aja diusir.
Jawab: Nah Ustaz, Bolehkah kita katakan bahwa الآثَارُ الْمُتَنَاسِرَةُ dan الْآثَارُ lebih صحيح dari صحيح البخاري karena derajat مُتَوَاتِر adalah paling tinggi? Adapun صحيح kan adalah خَبَرُ الْأَحَدِ dan sanadnya bersambung. Maksudnya gimana ini? Adapun صحيح kan adalah خَبَرُ الْأَحَدِ dan sanadnya bersambung ini menjadi kebiasaan para ulama yang dikenal oleh para ulama yang lebih kuat adalah hadis صحيح. Kemudian buku-buku yang mengumpulkan tentang hadis-hadis مُتَوَاتِر justru itu perlu dikritisi Apakah benar مُتَوَاتِر atau tidak. Karena para ulama dulu mereka sepakat dalam hadis yang sedikit yang مُتَوَاتِر contohnya adalah hadis. Kemudian hadis tentang apa namanya Nabi صلى الله عليه وسلم yang dinilai مُتَوَاتِر tapi banyak hadis-hadis yang juga dinukil oleh orang belakangan yang mengatakan itu hadis مُتَوَاتِر padahal bisa jadi tidak. Maka kalau mau dibandingkan buku mana yang lebih صحيح jelas.
Pertanyaan: Bagaimana menyikapi sebuah hadis yang disahihkan oleh seorang dan ضَعَّفَهُ (didha’ifkan) oleh orang lain?
Jawab: Tidak masalah karena memang apa mensahihkan atau mentahankan hadis adalah sebuah اِجْتِهَاد. Selama dia memang ahli dalam mensahih dan mendhaifkan. Kalau hanya saya pengen lah mendhaifkan gitu atau kayak orang kampung bilang, “Itu kan ضَعِيف menurut Anda yang menurut Anda beda.” Ini repot kayak gini.
Pertanyaan: Tolong ceritakan siapa itu Syekh Albani?
Jawab: Ceritanya panjang. Anda bisa baca ada buku tentang سِيرَةُ الْإِمَامِ الْأَلْبَانِي (sirah al-Imam al-Albani). Intinya beliau adalah seorang alim dalam ilmu Hadis.
Pertanyaan: Apa hukum berhutang untuk memiliki kitab Ustaz?
Jawab: Boleh. Anda mau hutang untuk menikah juga boleh, mau hutang untuk belajar juga boleh. Haji berhutang boleh tapi hutang yang benar artinya siap untuk membayar pada saatnya.
Pertanyaan: Apa kita perlukan yang bagus tentang مُصْطَلَحُ الْحَدِيثِ bagi pemula Ustaz? Karena sebagian kitab para ulama banyak perbedaan pendapat dalam تَعْرِيفَات di setiap babnya. Terkadang kita masih pemula bingung masalah hadis.
Jawab: إِنْ شَاءَ اللَّهُ cukup yang punya Syekh Mahmud Tohan. Sudah selesai, cukup untuk mengenal.
Pertanyaan: عَفْوًا (afwan) dalam menyelesaikan syarah عُمْدَةُ الْأَحْكَامِ Anda sering menuntut perkataan Syekhul Islam juga sering sampaikan syarahnya adalah فَتْحُ الْبَارِي dan ini menjelaskan tentang hadis-hadis yang diriwayatkan dalam صحيح البخاري. Maka riwayat beliau ini di syarah dalam.