Blog
Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 03, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah malam hari ini. Dengan nama Allah, kita akan memulai kajian kita dalam membahas hadis, dan kita berusaha untuk meneladani para ulama dalam mempelajari hadis-hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Adab dalam Majelis Ilmu, Khususnya Majelis Hadis
Sebelum memulai, penting untuk kita ingat bahwa majelis para ulama memiliki ciri khas. Sebagaimana sering kita dengar, mungkin dari riwayat Imam Malik رَحِمَهُ اللَّهُ atau ulama lainnya, disebutkan bahwa majelis ulama senantiasa diiringi dengan ketenangan dan kekhusyukan. Ini bukanlah semata karena figur pengajarnya, melainkan karena materi yang dipelajari, yaitu warisan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ahlul Hadits adalah teladan terdepan dalam menerapkan disiplin belajar.
Sebagai contoh, di majelis Abdurrahman bin Mahdi رَحِمَهُ اللَّهُ, tidak ada murid yang berani mempersiapkan pena sebelum benar-benar siap mencatat. Jika ada yang berbicara, tersenyum, atau membuat suara, beliau akan marah dan bahkan meninggalkan majelis. Demikian pula Imam Malik رَحِمَهُ اللَّهُ, ketika hendak menyampaikan hadis, beliau akan bersisir rapi, mengenakan pakaian terbaik, dan duduk dengan tenang di atas kursi atau kasurnya. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “أُرِيدُ أَنْ أُعَظِّمَ أَحَادِيثَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” (Aku ingin mengagungkan hadis-hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). Abdullah bin Mubarak رَحِمَهُ اللَّهُ juga menolak menjawab pertanyaan hadis sambil berjalan, karena menganggapnya kurang menghormati hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Sikap-sikap mulia ini patut kita contoh dan perbaiki dalam diri kita agar ilmu yang dipelajari semakin barokah. Perlu kita sadari bahwa majelis ini adalah majelis terhormat; yang kita kaji adalah sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan para malaikat pun turut hadir. Semoga kita mendapatkan pahala dan keberkahan dari ilmu ini.
Pentingnya Niat: Pembahasan Hadis Pertama dari Umdatul Ahkam
Malam ini, kita akan mempelajari hadis pertama, dan mungkin hanya satu hadis ini saja. Hadis ini merupakan pokok dan fondasi terpenting dalam Islam. Oleh karena itu, Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi رَحِمَهُ اللَّهُ menjadikannya hadis pertama dalam kitab Umdatul Ahkam. Imam An-Nawawi رَحِمَهُ اللَّهُ juga menempatkannya sebagai hadis pertama dalam Arba’in-nya, dan banyak ulama lain melakukan hal serupa dalam karya-karya mereka.
Abdurrahman bin Mahdi رَحِمَهُ اللَّهُ pernah berkata, “Seandainya aku mengarang sebuah kitab kumpulan hadis yang terdiri dari berbagai bab, niscaya akan kujadikan hadis ini (hadis niat) pada permulaan setiap bab.” Ini menunjukkan betapa para ulama sangat menekankan pentingnya meluruskan niat. Sufyan Ats-Tsauri رَحِمَهُ اللَّهُ juga mengungkapkan, “Tidak ada suatu amalan pun yang lebih sulit bagiku selain meluruskan niatku.”
Sayangnya, kita seringkali menganggap niat sebagai hal biasa. Kita belajar dari awal hingga akhir tahun seolah tanpa beban untuk memperhatikan niat. Padahal, perhatian pada nilai, aktivitas, dan peraturan itu penting, namun yang sering dinasihatkan para ulama adalah memperhatikan sisi batiniah. Seringkali, rusaknya niat membuat ilmu tidak barokah dan usaha kita berakhir dengan kegagalan.
Matan Hadis Niat dan Penjelasannya
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.1
‘Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya.’ (Dalam sebagian naskah, lafaznya بِالنِّيَّةِ dengan bentuk tunggal, namun riwayat lain menggunakan bentuk jamak بِالنِّيَّاتِ). ‘Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka, barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena2 dunia yang ingin diraihnya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ia niatkan tersebut.'”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sang Perawi Hadis: Umar bin Al-Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Hadis ini diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, Amirul Mukminin, mertua Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga. Keutamaan beliau diakui, salah satunya oleh Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ yang berkata di mimbar Kufah, “Orang terbaik umat ini setelah Nabinya صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman.” Ketika ditanya, “Kemudian engkau?”, Ali menjawab, “Aku hanyalah salah seorang dari kaum Muslimin.”
Mencintai Abu Bakar dan Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا serta mengetahui kedudukan keduanya adalah bagian dari sunah. Keduanya adalah orang yang paling dicintai Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, banyak meriwayatkan hadis, dan berjasa besar dalam kejayaan Islam. Para ulama Salaf, sebagaimana disampaikan Imam Malik رَحِمَهُ اللَّهُ, mengajarkan kecintaan kepada Abu Bakar dan Umar kepada anak-anak mereka seperti mengajarkan Al-Qur’an. Keduanya adalah simbol keimanan Ahlussunnah, sehingga sering menjadi sasaran utama serangan dari pihak-pihak yang membenci sunah, baik dari kalangan Syi’ah Rafidhah maupun Khawarij.
Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ adalah sosok yang disegani kawan maupun lawan, bahkan jin pun takut kepadanya. Suatu ketika, istri-istri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang berbicara dengan suara agak keras kepada beliau. Ketika Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ meminta izin masuk, mereka semua segera diam dan bersembunyi. Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pun tersenyum. Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ berkata, “أَضْحَكَ اللَّهُ سِنَّكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ” (Semoga Allah membuat gigi Anda terlihat karena tertawa, ya Rasulullah – ungkapan doa kebahagiaan). Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjelaskan keheranannya melihat reaksi para istrinya. Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ kemudian menegur mereka, “Wahai musuh-musuh diri sendiri, kalian segan kepadaku tetapi tidak segan kepada Rasulullah?” Mereka menjawab bahwa Umar lebih keras dan tegas. Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah setan berpapasan denganmu di suatu jalan, melainkan ia akan mengambil jalan lain.”
Beliau رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ juga dianugerahi ilmu yang luas. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bermimpi meminum susu (yang ditakwilkan sebagai ilmu atau agama) hingga terasa bekasnya di kuku, lalu sisanya diberikan kepada Umar. Ini menandakan kedalaman ilmu dan kekuatan agama Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Beliau juga dikenal memiliki ilham (inspirasi ilahi), di mana beberapa pendapatnya selaras dengan wahyu Al-Qur’an yang turun kemudian, seperti dalam kasus perintah hijab, penetapan Maqam Ibrahim sebagai tempat salat, dan perlakuan terhadap tawanan Perang Badar.
Saat wafatnya, setelah ditikam oleh seorang Majusi, Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ menunjukkan keteguhan dan perhatiannya pada syariat. Ketika seorang pemuda memujinya, beliau hanya berharap amalnya seimbang, tidak lebih tidak kurang. Namun, ketika melihat sarung pemuda itu menjuntai di bawah mata kaki (isbal), dalam keadaan sakaratul maut pun beliau masih sempat menasihatinya, “Angkat pakaianmu, karena itu lebih bertakwa kepada Allah dan lebih bersih bagi pakaianmu.” Ini menunjukkan betapa beliau tidak meremehkan masalah tersebut, berbeda dengan sikap sebagian orang kini.
Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ juga telah melihat istananya di surga dalam mimpi Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sebuah jaminan yang luar biasa. Kisah-kisah ini hendaknya membuat kita merenung dan tidak sombong, serta senantiasa memperhatikan niat. Abdullah ibnul Mubarak رَحِمَهُ اللَّهُ berkata, “Betapa banyak amal besar menjadi kecil karena niatnya, dan betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niatnya.”
Status Hadis Niat sebagai Hadis Ahad dan Kehujahannya
Secara sanad, hadis ini tergolong Hadis Ahad (hadis yang diriwayatkan oleh perorangan pada salah satu atau beberapa tingkatan sanadnya, tidak mencapai derajat mutawatir). Ini penting ditegaskan karena ada sebagian kelompok yang menolak kehujahan Hadis Ahad, terutama dalam masalah akidah, dengan alasan hanya menghasilkan zhann (dugaan).
Jalur periwayatan hadis ini dari Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ bersifat tunggal pada tiga generasi awal: dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, dari ‘Alqamah hanya oleh Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dan dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi hanya oleh Yahya bin Sa’id Al-Anshari. Baru setelah Yahya bin Sa’id, hadis ini diriwayatkan oleh banyak perawi.
Meskipun demikian, mayoritas ulama Ahlussunnah menerima Hadis Ahad sebagai hujah, baik dalam akidah maupun fikih. Dalilnya banyak, di antaranya:
- Al-Qur’an: Perintah bagi sebagian kelompok (thaifah) untuk mendalami agama lalu mengajarkannya (QS. At-Taubah: 122), di mana thaifah bisa berarti satu orang atau lebih. Juga perintah untuk memverifikasi berita dari orang fasik (QS. Al-Hujurat: 6), yang secara mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) berarti berita dari orang adil diterima.
- Sunah: Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sering mengutus satu orang sahabat sebagai duta atau pengajar, seperti Mu’adz bin Jabal ke Yaman.
- Praktik Sahabat: Kisah perubahan arah kiblat di Masjid Quba yang dilakukan berdasarkan informasi dari satu orang sahabat. Menurut Ibnu Abdil Barr رَحِمَهُ اللَّهُ, penerimaan khabar wahid (Hadis Ahad) adalah ijma’ (konsensus) para sahabat. Imam Asy-Syafi’i, Al-Ghazali, dan An-Nawawi رَحِمَهُمُ اللَّهُ juga menegaskan kehujahannya.
Makna Niat dalam Perspektif Fikih
Dalam konteks fikih (fiqh), hadis “Innamal a’malu binniyat” memiliki beberapa implikasi:
- Sahnya Ibadah Mahdhah (Ibadah Ritual Murni): Suatu ibadah mahdhah dianggap sah hanya jika disertai niat. Tanpa niat, ibadah tersebut tidak sah.
- Membedakan Ibadah dari Adat (Kebiasaan): Niat membedakan suatu perbuatan yang bisa bernilai ibadah dari sekadar kebiasaan. Contoh: mandi. Mandi biasa untuk kebersihan berbeda dengan mandi junub yang bernilai ibadah dan memerlukan niat khusus.
- Membedakan Jenis-Jenis Ibadah: Niat membedakan satu jenis ibadah dari yang lain. Contoh: salat fardhu (Zuhur, Asar, dll.) dibedakan dari salat sunah dengan niat. Begitu pula berbagai jenis puasa (qadha, sunah Senin-Kamis, puasa nazar, dll.).
Niat adalah amalan hati dan pada dasarnya mudah. Ibnu Rajab Al-Hambali رَحِمَهُ اللَّهُ menukil pernyataan ulama bahwa jika Allah membebani kita melakukan suatu aktivitas tanpa niat, itu adalah pembebanan yang tidak mungkin dilakukan, karena setiap tindakan pasti didasari niat. Jika ada kesalahan antara ucapan lisan dan niat di hati, yang dianggap adalah niat di hati.
Makna Niat dalam Perspektif Keikhlasan
Selain dalam konteks fikih, para ulama Salaf, sebagaimana dinukil Ibnu Rajab رَحِمَهُ اللَّهُ, seringkali mengaitkan niat dengan keikhlasan (ikhlas). Ini adalah aspek yang sangat penting, karena amal bisa tertolak jika tidak ikhlas. Bagian kedua hadis, “Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang ia niatkan,” menekankan pentingnya keikhlasan dalam meraih pahala.
Imam Ahmad رَحِمَهُ اللَّهُ menjelaskan bahwa ikhlas adalah ketika seseorang beramal tanpa menginginkan pujian manusia. Hadis lain menyebutkan bahwa seorang mujahid yang berperang hanya untuk mendapatkan seutas tali pengikat unta, maka ia hanya akan mendapatkan itu. Ini menunjukkan betapa rendahnya nilai amal jika tujuannya duniawi. Dalam hadis niat ini, balasan bagi yang hijrahnya karena dunia atau wanita hanya disebutkan secara umum, “maka hijrahnya itu kepada apa yang ia niatkan,” yang menurut Ibnu Rajab menunjukkan kehinaan karena balasan spesifiknya tidak layak disebut. (Kisah Muhajir Ummi Qais bukanlah sebab langsung turunnya hadis ini).
Tiga Kategori Amal yang Dilakukan untuk Selain Allah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رَحِمَهُ اللَّهُ menjelaskan tiga kategori amal yang dilakukan untuk selain Allah:
- Amal yang sejak awal seluruhnya ditujukan untuk selain Allah: Seperti amal orang munafik yang riya’ dalam salatnya, atau orang kafir yang berperang karena kesombongan. Amal seperti ini batal dan tidak diterima sama sekali.
- Amal yang asalnya untuk Allah, namun tercampur riya’:
- Jika riya’ menyertai niat pokok sejak awal, amal tersebut bisa batal. Allah berfirman dalam hadis qudsi, “Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.”
- Jika amal tersebut bisa dipisah-pisah (seperti sedekah harian), maka bagian yang terkena riya’ saja yang batal, tidak mempengaruhi bagian lain yang ikhlas.
- Jika amal tersebut merupakan satu kesatuan (seperti salat), riya’ di tengah-tengah bisa merusak seluruh amal tersebut jika tidak dilawan.
- Namun, jika seseorang berusaha melawan bisikan riya’, insya Allah amalnya tidak batal, meskipun ia tetap harus waspada. Seorang ahli hadis pernah berkata, “Terkadang aku menyampaikan hadis dengan niat ikhlas, namun di tengah-tengahnya niatku berubah.” Ini menunjukkan sulitnya menjaga niat.
- Amal yang telah selesai dilakukan dengan ikhlas, kemudian mendapat pujian dari orang lain dan ia merasa senang: Selama rasa senang itu tidak merusak keikhlasan yang telah lalu dan tidak menimbulkan ujub (bangga diri), maka tidak mengapa. Ini seperti hadis dari Abu Dzarr رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, ketika Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ditanya tentang seseorang yang beramal baik lalu dipuji manusia, beliau menjawab, “تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ” (Itu adalah kabar gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan). Keikhlasan harus dijaga sebelum, selama, dan sesudah beramal.
Semoga اللهُ عَزَّ وَجَلَّ membimbing kita semua untuk dapat melakukan amal saleh dengan ikhlas, karena tidak ada yang lebih istimewa di sisi-Nya selain amal yang murni dipersembahkan untuk-Nya. Semoga kita semua mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.
Barangkali ini yang dapat kita sampaikan, semoga bermanfaat. Kurang lebihnya mohon maaf.
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.