Dr. Abdullah Roy, M.A, Kajian Kitab, KKitab Khudz 'Aqidatak Min Al-Kitab Wa As-Sunnah As-Shahihah

Dauroh Kitab Khudz ‘Aqidatak Min Al-Kitab Wa As-Sunnah As-Shahihah – 03

3 views

Doa Pembuka

وَزِدْنَا عِلْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً، وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً.

(Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepada kami. Ya Allah, sungguh kami memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima. Ya Allah, tidak ada yang mudah kecuali apa yang Engkau mudahkan, dan Engkau menjadikan kesedihan (kesulitan) itu mudah jika Engkau kehendaki.)

Penyebutan Jenis-jenis Syirik Akbar (Besar)

Masih dalam pembahasan penyebutan jenis-jenis Syirik yang besar.

Hukum Menyembelih untuk Selain Allah

  • Pertanyaan: Apakah boleh menyembelih untuk selain Allah, misalnya menyembelih untuk jin, baik dinamakan sedekah laut, sedekah gunung, atau sedekah bumi, yang di dalamnya ada ritual menyembelih hewan untuk selain Allah?
  • Jawaban: Beliau (penulis kitab) mengatakan: لاَ يَجُوزُ (La yajuz) – tidak boleh, dan hukumnya adalah haram, termasuk syirik yang besar. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ(Maka, dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (menyembelihlah).)(QS. Al-Kautsar: 2) Firman Allah, “وَانْحَرْ” (wanhar) yang berarti “dan menyembelihlah untuk Rabbmu”, menunjukkan bahwa tidak boleh menyerahkan ibadah menyembelih kepada selain Allah. Ia hanya untuk Allah saja. Maka, barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah, siapapun dia, ia telah melakukan kesyirikan yang besar. Yang dimaksud dengan “انْحَرْ” adalah sembelihlah hanya untuk Allah. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:”لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ””Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.”(HR. Muslim) Laknat berarti dijauhkan dari kasih sayang Allah. Karena orang yang menyembelih untuk selain Allah telah melakukan kesyirikan, dan syirik yang dimaksud di sini adalah syirik yang besar. Syirik ini mengeluarkan seseorang dari agama Islam, membatalkan seluruh amalannya. Jika ia meninggal dunia dalam keadaan tidak bertobat, maka ia berada di dalam neraka kekal selamanya di sana. Hukum ini tidak melihat apakah sembelihannya dari hewan ternak maupun selain hewan ternak, hewan yang besar maupun yang kecil. Jika niatnya adalah untuk mengagungkan selain Allah, maka ini termasuk kesyirikan yang besar. Bahkan, seandainya ia menyembelih lalat sekalipun, jika niatnya untuk mengagungkan selain Allah, maka ini termasuk kesyirikan yang besar. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Hukum Tawaf Mengelilingi Kuburan

  • Pertanyaan: Apakah boleh kita tawaf mengelilingi kuburan dengan tujuan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) di kuburan tersebut? Karena di sana ada ritual tawaf mengelilingi kuburan, seperti yang kadang kita jumpai di beberapa tempat, baik di luar maupun di dalam negeri. Kadang ada orang yang datang dari berbagai pelosok, kemudian mereka antre untuk bisa mengelilingi sebuah kuburan. Apakah ini boleh atau tidak?
  • Jawaban: Beliau mengatakan: لاَ نَطُوفُ إِلاَّ بِالْكَعْبَةِ (La natufu illa bil Ka’bah) – tidak boleh kita tawaf kecuali di Ka’bah saja. Ini adalah ibadah yang hanya dilakukan di satu tempat saja. Jika salat bisa dilakukan di mana saja, puasa bisa dilakukan di mana saja, dan menyembelih kurban bisa dilakukan di mana saja, namun untuk tawaf, ia tidak dikatakan dilakukan di berbagai tempat. Tawaf ini hanya di Ka’bah Baitullah saja, tidak dilakukan di tempat yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ(Dan hendaklah mereka melakukan tawaf di rumah (Baitullah) yang lama (Ka’bah).)(QS. Al-Hajj: 29) Yang dimaksud adalah Ka’bah (Al-Baitul Atiq). Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:”مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ كَمَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً””Barangsiapa yang tawaf di Baitullah tujuh kali putaran, kemudian salat dua rakaat, maka ia seperti orang yang membebaskan seorang budak.”(HR. Ibnu Majah, disahihkan Al-Albani) Pahala yang besar ini Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan bagi orang yang tawaf di Baitullah. Dalam hadis ini, Nabi صلى الله عليه وسلم menyebutkan “طَافَ بِالْبَيْتِ” (tawafa bil bait), Al-Bait di sini adalah rumah Allah, yaitu Ka’bah. Di ayat disebutkan Al-Baitul Atiq, kemudian dalam hadis Al-Bait, menunjukkan bahwa tawaf ini khusus dilakukan di Ka’bah, tidak dilakukan di tempat yang lain. Apabila tawaf di pasar, apakah boleh? Boleh, karena niatnya bukan ibadah, hanya sekadar keliling mencari jajanan, ini tidak masalah. Tetapi, jika yang dimaksud adalah tawaf dengan makna ibadah, seperti seseorang tawaf di Baitullah, maka ini tidak boleh dilakukan di selain Ka’bah.

Hukum Sihir

  • Pertanyaan: Apa hukum sihir?
  • Jawaban: Sihir itu termasuk kekufuran dengan segala jenisnya. Karena sihir ada yang tujuannya untuk memisahkan antara suami dan istri, ada yang tujuannya untuk pelet (menjadikan orang tergila-gila), ada yang tujuannya untuk memudaratkan atau menghilangkan akal. Seluruh jenis sihir yang di dalamnya ada permintaan pertolongan kepada jin atau setan, ini adalah sebuah kekufuran. Jika ia adalah kekufuran, berarti ia membatalkan keislaman seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ(Tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia.)(QS. Al-Baqarah: 102) Ayat ini menunjukkan bahwa mengajarkan sihir adalah termasuk kekufuran. Mempelajari sihir juga termasuk kekufuran. Karena dalam ayat yang sama, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang diturunkannya dua malaikat, Harut dan Marut, sebagai ujian bagi manusia. Allah mengajarkan kepada dua malaikat ini sihir, kemudian menjadi ujian bagi manusia. Setiap kali datang seseorang yang ingin belajar sihir, maka keduanya mengingatkan: وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ(Dan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang1 pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), karena itu janganlah kamu kafir.”)(QS. Al-Baqarah:2 102) Ini menunjukkan bahwa belajar sihir adalah kekufuran, mengajarkan sihir adalah kekufuran, apalagi mengamalkannya. Karena sihir tidak terjadi kecuali dengan bantuan dari setan, dan setan tidak akan membantu kecuali apabila kita meninggalkan agama kita dengan berbagai cara. Entah itu disuruh untuk mencela Al-Qur’an, disuruh untuk menulis Al-Qur’an dengan darah haid, atau disuruh untuk menyembelih untuk selain Allah, atau apa saja yang penting seseorang rela untuk meninggalkan agama Islam. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:”اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ” (Di antaranya) “الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ””Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan: (di antaranya) Syirik kepada Allah dan sihir.”(HR. Muslim) Beliau صلى الله عليه وسلم menyebutkan tujuh perkara yang membinasakan, dan sihir adalah nomor dua setelah syirik, karena ia termasuk kekufuran. Ia membinasakan. Jika seseorang sampai melakukan sihir, agamanya hancur, ia telah membatalkan keimanannya, dan keluar dari agama Islam. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Hukum Membenarkan Tukang Ramal dan Dukun dalam Ilmu Gaib

  • Pertanyaan: Apakah boleh kita membenarkan tukang ramal (Al-Arraf) dan dukun (Al-Kahin) dalam masalah ilmu gaib?Tukang ramal adalah yang meramal sesuatu yang terjadi di masa yang akan datang, seperti “tahun depan akan terjadi demikian,” “yang menang adalah demikian,” atau “akan terjadi bencana ini.” Ini dinamakan Al-Arraf dan juga Al-Kahin (dukun). Karena dukun di antara amalannya adalah mengabarkan sesuatu tentang perkara yang terjadi di masa yang akan datang. Bolehkah kita membenarkan dia?
  • Jawaban: Beliau mengatakan: لاَ نُصَدِّقُهُمَا (La nusaddiquhuma) – tidak boleh kita membenarkan keduanya. Mengapa demikian? Karena tidak ada yang mengetahui ilmu gaib yang terjadi di masa yang akan datang kecuali Allah saja. Dan kita wajib mempercayai apa yang Allah katakan, serta tidak mempercayai sesuatu yang bertentangan dengan itu. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ(Katakanlah (wahai Muhammad), “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah.”)3(QS. An-Naml: 65) Ayat ini menegaskan: “Tidak ada yang mengetahui ilmu gaib di langit maupun di bumi kecuali Allah saja.” Jika ada tukang ramal atau dukun yang mengaku akan terjadi demikian dan demikian, maka sejak awal kita katakan itu tidak benar. Maksudnya, tidak benar bahwa dia mengetahui ilmu gaib. Seandainya dia berucap itu hanya mengira-ngira, dia tidak tahu ilmu gaib. Jika seandainya apa yang dia ucapkan terjadi (bertepatan dengan takdir Allah), itu bukan berarti dia mengetahui ilmu gaib. Memang Allah mentakdirkan demikian, bukan karena orang tersebut mengetahui ilmu gaib. Jadi, tidak boleh kita membenarkan atau mendengarkan tukang ramal tersebut. Perdukunan di sini bukan hanya mencakup dukun dalam bentuk orang, bisa juga berupa tulisan ramalan bintang yang ada di online, ataupun di koran atau majalah (pojokan koran). Ini juga termasuk bagian dari perdukunan, tidak boleh kita membacanya. Mau bintang Gemini, Taurus, Sagitarius, dan lain-lain. Dulu mungkin kita seperti itu, sekarang kita sudah tahu itu adalah bagian dari perdukunan. Barangsiapa yang mendatanginya (dukun) dan membenarkan perkataannya, maka dikhawatirkan ia masuk dalam hadis berikut. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:”مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ””Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu ia membenarkan apa yang dikatakannya, maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah) Membenarkan apa yang diucapkan berupa ramalan. Jika perkara lain (bukan gaib) yang memang benar, silakan dibenarkan, tidak masalah (misalnya ia mengatakan, “Saya punya anak,” lalu memang benar ia punya anak, ini bukan perkara gaib). Tetapi jika ia mengabarkan akan terjadi demikian dan demikian (perkara gaib), maka tidak boleh kita benarkan dan jangan kita yakini bahwa ia mengetahui ilmu gaib. Maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad. Karena yang diturunkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah firman Allah tadi: “قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ” (Tidak ada yang mengetahui ilmu gaib kecuali Allah). Jika kita membenarkan dukun, berarti kita secara otomatis dianggap mengkufuri atau tidak percaya dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan. Kufur di sini bisa diartikan sebagai kufur yang besar yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Jika seseorang mengingkari satu ayat di antara ayat-ayat Allah, atau bahkan satu huruf yang ada di dalam Al-Qur’an, ini bisa mengeluarkan dari agama Islam. Jika ia terang-terangan mengatakan bahwa firman Allah itu tidak benar, atau bahwa tidak ada yang mengetahui ilmu gaib kecuali Allah itu tidak benar, berarti ia mengingkari firman Allah, maka ini bisa mengeluarkan dari agama Islam. Atau, bisa juga kekufuran di sini adalah kekufuran yang kecil, yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Misalnya, ia datang kepada dukun tapi tidak sampai kufur terhadap ayat Allah, ia hanya bertanya namun tidak sampai mengingkari ayat Allah yang berisi tidak ada yang mengetahui ilmu gaib kecuali Allah. Ia hanya lemah hatinya, akhirnya ia pun mendatangi dukun tersebut. Maka ini tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Hadis ini sahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa barangsiapa yang mendatangi dukun kemudian dia bertanya, maka tidak diterima darinya salat selama 40 hari. Salat tetap diwajibkan, namun tidak diterima dari orang tersebut sebagai bentuk hukuman Allah kepadanya. Padahal satu salat pahalanya besar sekali. Jika selama 40 hari (40 x 5 = 200 kali salat) tidak diterima oleh Allah, dan ia tetap diwajibkan salat; jika ia tinggalkan, maka ia berdosa lagi. Ini menunjukkan bahwa ada keadaan di mana seseorang mendatangi dukun tapi tidak sampai kepada kekufuran, namun salatnya tidak diterima selama 40 hari.

Apakah Ada Manusia yang Mengetahui Ilmu Gaib?

  • Pertanyaan: Apakah ada seseorang yang mengetahui ilmu gaib? Maksudnya, adakah di antara manusia yang mengetahui ilmu gaib?
  • Jawaban: Beliau mengatakan: Tidak ada yang mengetahui ilmu gaib seorang pun kecuali orang yang Allah beritahu di antara para rasul. Memang ada di antara manusia yang Allah beritahukan kepadanya sebagian dari ilmu gaib, tetapi itu pun hanya para rasul saja, utusan Allah saja. Manusia biasa tidak ada yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan sebagian dari ilmu gaib. Sehingga Nabi صلى الله عليه وسلم terkadang mengabarkan kepada kita apa yang terjadi di alam kubur, apa yang terjadi nanti di Padang Mahsyar. Dari mana beliau mengetahui yang demikian? Allah yang memberitahu kepada beliau. Jadi, memang ada manusia yang Allah beritahukan sedikit dari ilmu gaib, dan itu pun Allah khususkan untuk para rasul. Dalilnya adalah firman Allah:عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًاإِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ(Dia adalah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu,kecuali kepada Rasul yang diridai-Nya.)(QS. Al-Jinn:4 26-27) Ayat ini berarti memang ada manusia yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beritahu sebagian dari ilmu gaib, dan mereka adalah para rasul. Nabi صلى الله عليه وسلم juga bersabda:”إِنَّمَا الْغَيْبُ عِنْدَ اللَّهِ””Sesungguhnya ilmu gaib itu hanya di sisi Allah.”(HR. Thabrani, hasan)

Hukum Memakai Jimat (Kain, Benang, Gelang, Kalung) untuk Pengobatan atau Penolak Bala

  • Pertanyaan: Bolehkah kita memakai kain, benang, atau halqah (semacam gelang/kalung) untuk berobat, yaitu sebagai jimat atau untuk mengangkat penyakit?
  • Jawaban: Beliau mengatakan: لاَ يَجُوزُ (La yajuz) – tidak boleh kita memakai keduanya (benang ataupun sesuatu yang melingkar berupa logam, baik di tangan, di leher, atau di pinggang sebagai sabuk). Ini juga dinamakan halqah (sesuatu yang melingkar). Tujuannya untuk apa? Tujuannya untuk mengobati, entah itu seseorang sakit panas misalnya, atau sakit apa saja, tujuannya ingin mengangkat penyakit tersebut. Penyebutan benang dan juga sesuatu yang melingkar di sini bukan pembatasan. Seandainya di sana ada barang-barang yang lain yang dipakai meskipun bukan dari benang, bukan dari logam, dari plastik misalnya, dengan tujuan yang sama, maka hukumnya sama. Ungkapan “untuk pengobatan” di sini juga bukan pembatasan. Seandainya tujuannya adalah untuk menolak bala (supaya selamat dari musibah), maka ini juga sama hukumnya: tidak boleh kita melakukan yang demikian. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ(Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang5 dapat menghilangkannya kecuali Dia sendiri.)(QS. Yunus: 107) Ayat ini menunjukkan bahwa jika engkau ditimpa kemudaratan atau penyakit, maka tidak ada yang dapat menyingkapnya kecuali Allah. Bukan benang, bukan kalung, bukan gelang. Tidak ada yang bisa menyingkapnya kecuali Allah saja. Lalu mengapa seseorang kemudian mengenakan barang-barang tersebut dengan tujuan untuk menyingkap penyakit tadi? Dan juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم. Beliau pernah bertemu dengan seorang sahabat yang memakai gelang atau semacam gelang, kemudian beliau صلى الله عليه وسلم bertanya, “Apa ini?” Dia mengatakan, “Ini adalah untuk mengangkat penyakit.” Maka beliau صلى الله عليه وسلم mengatakan:”إِنَّهَا لَا تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا، انْبِذْهَا عَنْكَ، فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا””Sesungguhnya ia (gelang ini) tidak akan menambahmu kecuali kelemahan. Buanglah itu darimu! Karena sungguh jika engkau mati sedangkan ia (gelang itu) masih ada padamu, niscaya engkau tidak akan beruntung selama-lamanya.”(HR. Ahmad) Innahā lā tazīduka illā wahnan – “Ketahuilah bahwa barang ini tidak menambahmu kecuali kelemahan.” Jadi, bukan menghilangkan penyakit, justru malah menjadikan kita lemah, karena kita menjadi bertawakal kepada selain Allah. Inbidh-hā ‘anka – “Buang barang tersebut darimu!” Lepas barang tersebut dan buanglah. Mengapa demikian? Fa’innaka lau mitta wa hiya ‘alaika mā aflaḥta abadan – “Seandainya engkau meninggal dunia sementara engkau masih berkeyakinan dengan benda tersebut, maka engkau tidak akan beruntung selama-lamanya.” Jika seseorang meyakini benda tersebut yang memberikan manfaat dengan sendirinya atau menolak mudarat dengan sendirinya, maka ini menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam. Jika ia meninggal dalam keadaan seperti itu, ia kekal selamanya di dalam neraka. Hadis ini sahih diriwayatkan oleh Al-Hakim dan disahihkan oleh beliau, serta disetujui oleh Al-Imam Az-Zahabi.

Hukum Menggantungkan Jimat (Al-Kurazah, Al-Wada’ah, dll.) untuk Menolak Mata Jahat

  • Pertanyaan: Bolehkah kita menggantungkan Al-Kurazah (kurang lebih maknanya adalah kain), Al-Wada’ah (batu), atau yang semisalnya, dengan tujuan untuk menolak dari mata jahat (ain)?
  • Jawaban: Beliau mengatakan: لاَ يَجُوزُ (La yajuz) – tidak boleh kita menggantungkannya karena sebab terkena ain atau ingin menolak mata jahat. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ(Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang6 dapat menghilangkannya kecuali Dia sendiri.)(QS. Yunus: 107) Hukumnya sama, baik dengan kain, dengan batu, dengan benang, atau dengan barang-barang yang lain, tidak boleh kita menggantungkannya. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:”مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ””Barangsiapa yang menggantungkan sebuah tamimah (jimat), maka sungguh dia telah melakukan kesyirikan.”(HR. Ahmad) At-Tamimah (jimat) itu adalah Al-Kurazah (kain) dan Al-Wada’ah (batu) yang digantungkan supaya terjaga dari mata jahat. Ini menunjukkan bahwa perkara-perkara ini adalah termasuk kesyirikan. Kesyirikan ini bisa berupa syirik yang besar atau syirik yang kecil:
    • Syirik yang besar: Jika ia meyakini bahwa barang-barang tersebutlah yang bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudarat dengan sendirinya. Ia menggantungkan batu misalnya, ada batu-batu yang indah kemudian dibuat gelang misalnya, meyakini bahwasanya itu yang mendatangkan manfaat atau menolak mudarat, maka ini syirik yang besar.
    • Syirik yang kecil: Jika ia melakukannya dengan keyakinan bahwa itu sebagai sebab saja. Ia meyakini Allah yang memberikan manfaat dan menolak mudarat, cuma ia yakin ini sebagai sebab saja. “Kalau saya pakai ini, maka ini sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaga saya.” “Ini sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kepada saya keuntungan dalam perdagangan,” dan seterusnya. Jika ia meyakini itu sebagai sebab saja, maka ini adalah syirik yang kecil.
    Namun, syirik yang kecil ini lebih besar daripada dosa-dosa besar. Syirik yang kecil bisa menjadi pintu yang pada akhirnya mengantarkan seseorang melakukan syirik besar. Sehingga, jangan sampai seseorang meremehkan masalah ini. Jika memiliki yang demikian, atau melihat keluarga atau saudara yang masih memiliki jimat (dan ini Subhanallah tersebar di mana-mana, terkadang keluarga dekat atau yang sudah sering ikut kajian pun masih ada sisa-sisa demikian pada diri mereka), maka jangan kita bermudah-mudahan. Ini di antara barang-barang yang bisa mendatangkan setan ke rumah kita. Sebagian mungkin terkena kesurupan atau diganggu oleh setan, sebabnya adalah karena ia menyimpan barang-barang seperti ini. Sehingga, di antara cara untuk menyembuhkannya adalah dengan membuang barang-barang tersebut dari rumahnya. Mungkin bukan kita yang memasang, tetapi orang tua atau kakek, terkadang mereka menyimpan atau menggantungkan barang-barang tersebut, mungkin di atas pintu atau di kamar tertentu. Jika memang itu masih ada dan berada di bawah kekuasaan kita, maka kita hancurkan dan kita keluarkan dari rumah kita.

Hukum Mengamalkan Aturan yang Menyelisihi Islam

  • Pertanyaan: Apa hukum mengamalkan aturan-aturan yang menyelisihi Islam?
  • Jawaban: Beliau mengatakan: Mengamalkan aturan-aturan (undang-undang) yang menyelisihi agama Islam adalah sebuah kekufuran jika ia menghalalkan (membolehkan) untuk melakukan atau mengamalkan aturan-aturan yang menyelisihi Islam. Ia tahu bahwasanya itu bertentangan dengan hukum Allah, kemudian mengatakan, “Halal kok,” “Halal untuk menyelisihi Allah,” “Menyelisihi Islam,” maka ini berbahaya. Yang demikian bisa sampai kepada kekufuran. Ini berbeda dengan orang yang melakukan (mengamalkan aturan tersebut) tetapi ia meyakini itu adalah sesuatu yang haram. Ia tahu ia salah, ia tahu ia menyelisihi hukum Allah, dan ia merasa bersalah, tetapi ia lakukan karena hawa nafsu atau karena ingin dunia. Ini hukumnya berbeda, itu adalah maksiat. Atau, ia meyakini tentang kebagusan aturan tersebut, bahkan lebih bagus daripada hukum Allah. Ini juga termasuk kekufuran. Berbeda dengan orang yang mengamalkannya tetapi ia masih meyakini hukum Allah itu yang lebih baik. Ia melakukan kemaksiatan tetapi tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Kita harus bedakan dua keadaan ini. Makanya beliau mengatakan: Jika ia menghalalkan apa yang Allah haramkan, atau mengharamkan apa yang Allah halalkan, dan mengatakan itu boleh, atau ia meyakini hukum tersebut lebih baik atau sama dengan hukum Allah, maka ini keluar dari agama Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ(Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka merekalah orang-orang yang kafir.)(QS. Al-Ma’idah: 44) Siapa orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan dan meyakini bahwasanya hukum tersebut sama atau lebih baik daripada hukum Allah, maka kekufuran yang dimaksud di sini adalah kekufuran yang besar. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:”مَا مِنْ قَوْمٍ وَلُّوا أَمْرَهُمْ قَوْمًا قَطُّ، فَخَارُوا مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا إِلَّا أَخَذَ اللَّهُ مَنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ حَتَّى يَخْتَلِفُوا بَيْنَهُمْ”(Ini sepertinya adalah penggalan atau ringkasan dari hadis yang lebih panjang. Hadis yang mirip disebutkan dalam Sunan Ibnu Majah: “Tidaklah suatu kaum menjadikan imam-imam mereka tidak berhukum dengan Kitabullah dan mereka memilih dari apa yang Allah turunkan apa yang sesuai dengan hawa nafsunya, melainkan Allah akan menjadikan peperangan di antara mereka.”) Barangsiapa yang imam-imam mereka tidak berhukum dengan kitab Allah dan mereka memilih dari apa yang Allah turunkan apa yang sesuai dengan hawa nafsunya, mereka lakukan yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya mereka tinggalkan, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan peperangan di antara mereka. Hadis ini hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan juga yang lain.

Cara Menolak Bisikan Setan (Waswas)

Ini masih berbicara tentang syirik akbar. Bagaimana kita menolak pertanyaan setan atau bisikan setan? Misalnya, jika ada pertanyaan seperti “Siapa yang menciptakan Allah?”, maka ini adalah dari setan dan harus kita tolak.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

“إِذَا وَسْوَسَ أَحَدَكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ”

“Apabila setan memberikan waswas (membisiki) salah seorang di antara kalian dengan pertanyaan seperti ini, maka hendaklah yang dia lakukan adalah memohon perlindungan kepada Allah dan hendaklah dia berhenti.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, hendaklah ia mengatakan: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (A’udzu billahi minasy-syaitānir-rajīm) – Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Karena itu adalah bisikan dari setan. Memang setan bisanya hanya membisik-bisiki saja, kemampuannya di situ. Dia hanya bisa membisiki, mengajak, “Ayo lakukan!” Tapi dia tidak bisa memaksa. Tidak ada di antara kita yang diajak paksa lalu tiba-tiba bergerak sendiri datang ke tempat perjudian misalnya, atau digerakkan tangannya untuk melakukan sesuatu. Tidak, dia cuma membisikkan saja. Jika kita tolak dan kita berlindung kepada Allah, maka dia tidak akan bisa berbuat apa pun.

Oleh karena itu, petunjuk Allah:

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

(Dan jika setan menggodamu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.)

(QS. Fushshilat: 36)7

Allah adalah As-Sami’ (Maha Mendengar) di mana pun kita berada, kita berlindung kepada-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendengar dan melindungi kita. Allah adalah Al-‘Alim (Maha Mengetahui).

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara menolak tipu daya setan, yaitu dengan berkata:

“آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ”

“Aku beriman kepada Allah dan juga Rasul-Nya.”

Dan membaca Surah Al-Ikhlas:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، اللَّهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu.8 Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan9 Dia.”

Jika kita membaca bacaan ini, insyaAllah itu di antara sebab seseorang terjaga dari waswas setan. Kemudian hendaklah dia meludah ke sebelah kirinya tiga kali, dan kemudian dia berlindung dari setan, serta hendaklah dia berhenti dari memikirkan bisikan-bisikan tersebut. Dia sibukkan dirinya dengan membaca Al-Qur’an, menuntut ilmu, atau kegiatan-kegiatan yang lain. Berhenti dari bisikan-bisikan tadi, karena sesungguhnya demikian itu akan menghilangkannya.

Ini adalah ringkasan dari hadis-hadis sahih yang terdapat dalam Sahih Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud. Secara singkat, apabila terjadi bisikan tadi, maka segera kita melakukan apa yang ditunjukkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم: membaca “آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ”, membaca Surah Al-Ikhlas, kemudian meludah tiga kali ke kiri, dan membaca “أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ”.

Mudarat Syirik Akbar (Besar)

Masih berkaitan dengan syirik yang besar. Apa sebenarnya mudarat (bahaya) dari syirik yang besar?

As-Syirkul Akbar (Syirik yang besar) ini menjadi sebab kekalnya seseorang di dalam neraka. Ini adalah mudarat yang sangat besar bagi seseorang, karena neraka adalah negeri azab. Semuanya yang ada di sana adalah azab: tempatnya azab, minumannya azab, makanan yang dihidangkan juga azab, udara yang sampai kepada seseorang juga azab. Tidak ada enaknya di sana.

Al-Khulud (kekal) selamanya. Jika seseorang hanya sementara di sana, masih ada harapan, tetapi jika sampai al-khulud selamanya, berarti tidak ada titik akhirnya sampai kapan ia dalam keadaan disiksa tersebut. Terus-menerus, tidak ada akhirnya, tidak ada harapan untuk keluar dari neraka tersebut. Tentunya, ini adalah musibah yang besar bagi seseorang. Tidak ada yang bisa mengeluarkan dia, sesembahan-sesembahan selain Allah, semuanya tidak ada yang bisa menolong dia dari neraka tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kekekalan bagi orang yang mati dalam keadaan syirik.

Ini adalah bencana yang besar. Sebentar di dunia, 50 tahun, 60 tahun, tidak dimanfaatkan untuk beribadah dan bertauhid, justru malah melakukan kesyirikan hanya untuk kesenangan yang sedikit dan sementara. Kemudian akhirnya di akhirat ia masuk ke dalam neraka selamanya. Ini sudah cukup sebenarnya menjadikan seseorang takut untuk melakukan kesyirikan yang besar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ10 وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya barangsiapa11 menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh Allah mengharamkan surga atasnya, dan tempat kembalinya adalah neraka; dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim itu.”

(QS. Al-Ma’idah: 72)

Allah mengharamkan surga atasnya, dia tidak akan bisa masuk ke dalam surga tersebut, karena surga hanya dimasuki oleh orang-orang yang mengesakan Allah dalam ibadah ketika di dunia. Dan “مَأْوَاهُ النَّارُ” (ma’wāhun-nār) – tempat kembalinya adalah neraka. Dan “وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ” – tidak ada penolong bagi orang-orang yang zalim. Tidak ada yang bisa menolong mereka, kekal selamanya di dalam neraka.

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

“مَنْ لَقِيَ اللَّهَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ”

“Barangsiapa yang bertemu Allah dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia masuk ke dalam neraka.”

(HR. Muslim)

Maksudnya adalah masuk ke dalam neraka kekal selamanya di dalamnya.

Manfaat Amal Saleh Bersama Kesyirikan

  • Pertanyaan: Apakah amalan itu bermanfaat bersama dengan kesyirikan? Jika seseorang beramal, tetapi di waktu yang lain ia juga melakukan kesyirikan, apakah amalan yang ia kerjakan tadi bermanfaat?
  • Jawaban: Beliau mengatakan: لاَ (La) – tidak ada manfaatnya. Amalan yang dilakukan bersama kesyirikan tidak ada manfaatnya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang para nabi:وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ”Seandainya mereka (yaitu para nabi tersebut) melakukan kesyirikan, niscaya akan batal seluruh apa yang mereka kerjakan.”(QS. Al-An’am: 88) Nabi loh, orang yang paling mulia di bumi! Seandainya salah seorang di antara mereka melakukan kesyirikan, tidak akan bermanfaat amalannya. Apalagi kita. Kemudian dalam sebuah Hadis Qudsi, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:”أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ””Aku adalah12 zat yang paling tidak butuh dengan sekutu. Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan, lalu ia menyekutukan bersamaku di dalamnya selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya.”(HR. Muslim) Artinya, Allah tidak menerima amalan tersebut. Jika syirik besar, maka membatalkan seluruh amalan. Jika syirik kecil, maka membatalkan amalan yang di dalamnya ada syirik kecilnya. Contohnya, ia salat sunah karena riya’ (ingin dilihat orang), tetapi ketika salat wajib ia ikhlas. Maka salat wajibnya diterima, sedangkan salat sunah yang ada riya’-nya tidak diterima. Itu bedanya antara syirik kecil dengan syirik besar. Tetapi yang jelas di sini, amalan yang disertai dengan kesyirikan, maka ini tidak bermanfaat bagi seseorang.

As-Syirkul Ashghar (Syirik Kecil)

Setelah beliau membahas macam-macam syirik yang besar, maka setelahnya beliau akan mengajarkan kepada kita tentang Syirik yang kecil.

Syirik yang kecil tidak sampai membatalkan keislaman seseorang, tetapi mengurangi iman. Tidak sampai membatalkan, tetapi mengurangi iman. Syirik yang kecil tidak sampai menggugurkan seluruh amalan, tetapi ia bisa menjadikan sebuah amalan tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertobat dari syirik yang kecil, maka ia terancam dengan neraka, tetapi tidak sampai kekal di dalam neraka.

Nah, di sini beliau menyebutkan di antara contoh-contohnya. Meskipun ia adalah syirik yang kecil, wahai saudaraku (Ayuhal Ikhwah), jangan kita remehkan. Karena syirik yang kecil, sebagian ulama menyebutkan, itu lebih besar daripada dosa besar. Jika kita mengetahui tentang dosa zina atau dosa riba yang bertingkat-tingkat, dan tingkatan riba yang paling rendah adalah dosa seorang laki-laki yang menzinai ibunya, itu adalah dosa yang besar. Berzina itu sendiri dosa, berzina dengan mahram lebih dosa lagi. Itu adalah tingkatan yang paling rendah dari riba. Lalu, bagaimana dengan dosa riba yang paling tinggi? Dan dosa syirik kecil itu lebih besar daripada itu.

Sehingga jangan kita remehkan riya’ yang ada di dalam hati seseorang, karena itu adalah dosa syirik kecil. Seseorang mungkin merasa, “Ustaz, saya dapat musibah terus, padahal saya tidak melakukan dosa, saya tidak berzina, saya tidak minum khamar, dan lain-lain.” Mungkin sebabnya adalah apa yang ada di dalam hati kita berupa riya’, karena itu adalah dosa juga.

Apa yang dimaksud dengan Syirik yang kecil?

As-Syirkul Ashghar (Syirik yang kecil) adalah riya’. Maksudnya adalah contohnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa yang mengharap13 pertemuan dengan Rabbnya, hendaklah dia beramal saleh dan janganlah dia menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.”

(QS. Al-Kahf: 110)

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah (maksudnya adalah bertemu dalam keadaan baik, karena masing-masing dari kita akan bertemu, tetapi bertemu dengan Allah dalam keadaan baik, dalam keadaan Allah rida, dalam keadaan Allah mencintai dia), maka sekarang kita beramal saleh. Jangan kita bermalas-malasan mengikuti hawa nafsu. Amalannya, hendaklah kita beramal saleh sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Kemudian, dalam amal saleh tersebut, “وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا” – dan janganlah dia menyekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya seorang pun. Artinya, beramal saleh dan mengikhlaskan niat ketika beramal saleh, jangan riya’. Jika memang ingin bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan baik.

Manusia dan makhluk, apa yang bisa mereka berikan kepada kita? Pujian-pujian mereka hanya melihat sesuatu yang tampak saja, tidak mengetahui apa yang sebenarnya. Pujian yang bermanfaat adalah pujian dari Allah. Adapun pujian dari manusia, maka ini tidak bermanfaat, bahkan terkadang atau seringkali bahkan memudaratkan. Sehingga, seseorang dalam beribadah, fokus hanya mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Baik dakwahnya, atau salatnya, menuntut ilmunya, niatnya adalah lillah saja (hanya karena Allah). Ia tidak mengharapkan pujian dari manusia. Seandainya pujian itu datang, maka kita lawan, karena pujian itu bisa menjadi sebab batalnya amalan kita.

Dan diajarkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم ketika seorang dipuji untuk mengatakan:

“اللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُولُونَ، وَاغْفِرْ لِي مَا لاَ يَعْلَمُونَ، وَاجْعَلْنِي خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّونَ”

“Ya Allah, janganlah Engkau siksa aku disebabkan ucapan mereka. Ampunilah aku dalam perkara yang mereka tidak tahu. Dan jadikanlah aku lebih baik daripada persangkaan mereka.”

(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, disahihkan oleh Al-Albani)

“Ya Allah, janganlah Engkau siksa aku disebabkan ucapan mereka,” karena ucapan tersebut bisa menjadi penyebab seseorang terjerumus ke dalam riya’ sehingga disiksa oleh Allah. “Dan ampunilah aku dalam perkara yang mereka tidak tahu,” mereka memuji karena tahu zahirnya, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya, apa yang ada di dalam hati saya, apa yang saya lakukan ketika saya tidak di depan mereka. “Ampunilah aku ya Allah dalam perkara yang mereka tidak tahu.” “Dan jadikanlah aku lebih baik daripada persangkaan mereka.” Sekarang mereka menyangka baik kepada saya, “Jadikan ya Allah aku lebih baik daripada persangkaan mereka.” Ini doa yang jika dibaca oleh seseorang, insyaAllah menjadi sebab selamatnya dia dari penyakit riya’ ketika dipuji oleh orang lain. Jangan kita diam saja ketika dipuji, baca doa ini.

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

“إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ الرِّيَاءُ”

“Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik yang kecil, yaitu riya’.”

(HR. Ahmad, sahih)

Beliau صلى الله عليه وسلم berbicara dengan para sahabat yang mereka adalah orang-orang saleh. Orang-orang seperti mereka, insyaAllah untuk syirik yang besar mereka sudah paham. Bahkan sebagian besar dari mereka dahulu di zaman jahiliah, sekarang sudah masuk Islam. Untuk syirik yang besar, insyaAllah mereka terjaga. Tetapi untuk syirik yang kecil, orang-orang saleh pun banyak yang tertimpa penyakit ini. Makanya beliau mengatakan kepada para sahabatnya, “Yang aku khawatirkan pada diri kalian adalah syirik yang kecil,” dan ini adalah penyakit yang menimpa orang-orang saleh, yaitu riya’. Adapun orang-orang yang tidak saleh, maka apa yang mau mereka *riya’*kan kepada manusia?

Ar-Riya’ (riya’) adalah syirik.

Hadis ini sahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dan disebutkan dalam sebuah hadis:

“الشِّرْكُ فِيكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ عَلَى صَفَاةٍ سَوْدَاءَ فِي لَيْلَةٍ لَيْلَاءَ”

“Syirik dalam diri kalian itu lebih samar daripada semut hitam yang berjalan di atas batu yang hitam di malam yang gelap gulita.”

Jika Anda dekatkan atau mata Anda Anda buka selebar-lebarnya kemudian Anda dekatkan sedekat-dekatnya dalam keadaan seperti itu, apakah kelihatan? Tidak kelihatan. Maka riya’ yang ada dalam diri kita itu lebih samar daripada semut tersebut. Lalu bagaimana solusinya? Kembali kepada Allah Rabbul ‘Alamin, meminta kepada Allah perlindungan. Seandainya ada (riya’), minta kepada Allah supaya dilepaskan dari penyakit riya’ tersebut, membaca doa Nabi صلى الله عليه وسلم:

“اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ”

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari berbuat14 syirik kepada-Mu dalam keadaan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui.”

(HR. Ahmad, sahih)

Contoh Syirik Kecil Lainnya: Ucapan “Kalau Bukan Karena Allah dan Fulan”

Termasuk di antara syirik yang kecil adalah ucapan seseorang: “لَوْلَا اللَّهُ وَفُلاَنٌ” (Laulallah wa fulan) – kalau bukan karena Allah dan kamu (atau Fulan), atau “مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ” (Masya Allah wa syaa’a fulan) – dengan kehendak Allah dan kehendak Fulan.

Contoh dalam bahasa kita: Seseorang selamat dari kecelakaan, ia diseret oleh si Fulan sehingga tidak tertabrak mobil atau kereta. Kemudian ada seseorang mengatakan, “Kalau bukan karena Allah dan Fulan, niscaya ia akan meninggal.” Ucapan ini termasuk syirik kecil. Mengapa demikian? Karena dalam lafaznya, seakan-akan ia menyamakan antara Allah dan makhluk. “Kalau bukan karena Allah dan Fulan,” Allah punya kehendak, Fulan punya kehendak. Seakan-akan dengan lafaz ini ia menyamakan antara Allah dan makhluk. Padahal ia tidak ada keyakinan seperti itu (menyamakan), cuma ia salah dalam melafazkan. Maka, salah dalam mengucapkan ini dihitung dalam agama Islam termasuk syirik yang kecil.

Seharusnya apa? Seharusnya ia mengatakan, “لَوْلَا اللَّهُ وَحْدَهُ” (Laulallah wahdahu) – kalau bukan karena Allah saja, niscaya Fulan akan tewas. Atau, seandainya ia ingin menyebutkan si Fulan yang menyelamatkan, boleh, tetapi dengan menggunakan kata “kemudian”: “لَوْلَا اللَّهُ ثُمَّ فُلاَنٌ” (Laulallah tsumma fulan) – kalau bukan karena Allah, kemudian Si Fulan, niscaya ia akan tewas. Karena ketika kita mengatakan “kemudian” (ثُمَّ), ini menunjukkan bahwa si Fulan yang menolong itu menolong karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan taufik. Allah yang menjadikannya melihat dan sadar bahwa si Fulan akan tertabrak, sehingga ia pun Allah gerakkan dan berikan kekuatan untuk menyelamatkan. Berarti ia bukan dengan sendirinya (menolong), Allah yang telah menggerakkan orang tersebut. Sehingga, jika mau menyebutkan Fulan, tidak masalah dengan mengatakan “kemudian”. Ini harus kita pahami dan teliti dalam penggunaan kata-kata.

Atau, “مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ” (masya Allah wa syaa’a fulan) – dengan kehendak Allah dan kehendak Fulan. Sama, ini juga tidak boleh. Katakanlah “مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ” (masya Allahu wahdahu) – dengan kehendak Allah saja, atau dengan mengatakan “مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ” (masya Allahu tsumma syaa’a Fulan) – dengan kehendak Allah, kemudian dengan kehendak Fulan. Itu tidak ada masalah.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

“لاَ تَقُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ وَلَكِنْ قُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ”

“Janganlah kalian mengatakan: ‘Apa yang dikehendaki Allah dan dikehendaki si Fulan’, tetapi katakanlah: ‘Apa yang dikehendaki Allah,15 kemudian apa yang dikehendaki si Fulan’.”

(HR. Abu Dawud)

Karena kehendak kita, kita bisa menghendaki ini dan itu, tetapi Allah yang menjadikan kita berkehendak:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.”

(QS. At-Takwir: 29)

Hadis ini sahih diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.

Berarti, termasuk syirik yang kecil adalah riya’, kemudian ada juga mengatakan “لَوْلَا اللَّهُ وَفُلاَنٌ” atau “مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ”. Jika misalnya dengan kehendak Allah dan kehendak Nabi, apakah boleh? Tidak boleh, baik itu Nabi maupun selain Nabi, hukumnya sama. Kita katakan “مَا شَاءَ اللَّهُ” saja, atau mengatakan “ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ”.

Hukum Bersumpah dengan Selain Nama Allah

  • Pertanyaan: Bolehkah seseorang bersumpah dengan selain nama Allah, seperti mengatakan “demi Ka’bah” atau “demi Allah dan demi Rasul”, karena ingin sumpahnya mantap?
  • Jawaban: Beliau mengatakan: لاَ يَجُوزُ الْحَلِفُ بِغَيْرِ اللَّهِ (La yajuzul halifu bi ghairillah) – tidak boleh bersumpah dengan selain nama Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ”Katakanlah (wahai Muhammad), “Ya, demi Tuhanku, sungguh kamu akan dibangkitkan.”(QS. At-Taghabun: 7) Nabi صلى الله عليه وسلم disuruh untuk mengucapkan ucapan ini, dan di dalamnya ada sumpah dengan Allah. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:”مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ””Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, sungguh ia telah melakukan kesyirikan.”(HR. Abu Dawud, sahih) Bersumpah dengan selain nama Allah telah melakukan kesyirikan. Dan “selain nama Allah” di sini umum, baik dengan Ka’bah atau Rasulullah. “فَقَدْ أَشْرَكَ” (faqad asyraka) – sungguh ia telah melakukan kesyirikan. Kesyirikan di sini bisa syirik yang kecil atau syirik yang besar.
    • Kapan menjadi syirik yang kecil? Jika ia bersumpah dengan selain nama Allah dan tidak ada di dalamnya pengagungan seperti pengagungan terhadap Allah, tidak menundukkan dirinya sebagaimana ia menundukkan dirinya kepada Allah. Misalnya, ia mengatakan “Demi langit, saya demikian dan demikian,” tidak ada pengagungan atau penyembahan terhadap langit. Ia cuma bersumpah dengan lisannya dengan nama langit, maka ini syirik yang kecil.
    • Kapan menjadi syirik yang besar? Jika di dalam sumpahnya diiringi dengan pengagungan di dalam hatinya, tunduk terhadap sesuatu selain Allah tadi, sampai pada tingkat pengagungan ibadah, maka ia sampai pada syirik yang besar.
    Jadi ada perincian untuk masalah bersumpah dengan selain nama Allah di sini, tidak bisa kita sama ratakan antara satu dengan yang lain. Dalam riwayat Imam Ahmad:”مَنْ حَلَفَ فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ””Barangsiapa yang bersumpah, maka hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau ia diam.”(HR. Bukhari dan Muslim) Tidak ada yang ketiga. Tidak ada bersumpah dengan selain nama Allah. Bersumpah dengan nama Allah atau ia diam. Hadis ini sahih (Muttafaq ‘alaih), diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan juga Muslim. Ini penjelasan tentang syirik-syirik yang kecil. Jika Anda ditanya, “Sebutkan tiga jenis syirik kecil,” insyaAllah Anda bisa.Bersumpah dengan selain nama Allah, apakah syirik besar atau syirik kecil? Ada yang mengatakan syirik besar, ada yang mengatakan syirik kecil. Betul tidak? Nah, ada perinciannya. Syirik kecil dalam sebuah keadaan, dan bisa menjadi syirik besar dalam keadaan yang lain. Syirik kecil kapan? Tanpa pengagungan terhadap sesuatu tersebut sebagaimana ia mengagungkan Allah. Kapan menjadi syirik yang besar? Jika disertai dengan pengagungan terhadap sesuatu tersebut sebagaimana ia mengagungkan Allah Rabbul ‘Alamin. Jika ucapan seseorang, “Saya bekerja demi anakku,” apakah boleh? Boleh, karena “demi” di sini bukan sumpah. Dalam bahasa kita, “demi” ada beberapa penggunaan: ada yang digunakan untuk sumpah, ada yang artinya adalah “untuk”. Misalnya, “Saya bekerja untuk anakku,” jadi ini bukan sumpahnya.

Tawassul dan Mencari Syafaat

At-Tawassul (bertawasul) dan Thalabus Syafa’ah (mencari syafaat) dikhususkan oleh beliau (penulis kitab) karena permasalahan ini cukup rumit, tidak semua orang memahami, dan ada di antara jenisnya yang masuk ke dalam kesyirikan yang besar. Makanya beliau sendirikan. Sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam bab As-Syirkul Akbar, tetapi karena ia perlu penjabaran, perlu beberapa poin yang dijelaskan, sehingga beliau menjadikan ini sebagai bab yang tersendiri.

At-Tawassul maksudnya adalah mencari sebab atau mencari perantara supaya doanya dikabulkan. Itu namanya tawasul. Mencari sebab atau perantara supaya doanya dikabulkan.

Wa Thalabus Syafa’ah dan meminta syafaat, maksudnya adalah di akhirat, meminta syafaat (pertolongan/perantaraan) di akhirat.

  • Pertanyaan: Dengan apa kita bertawasul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?
  • Jawaban: Beliau mengatakan: At-Tawassul ada di antaranya yang boleh dan ada di antaranya yang tidak diperbolehkan. Beliau di sini ingin menjelaskan bahwasanya tawasul ada di antaranya yang boleh karena berdasarkan dalil, dan di sana ada tawasul yang tidak diperbolehkan. Tentunya, beliau ingin menggiring kita untuk mengamalkan tawasul yang boleh, tetapi kita harus waspada bahwa di sana ada tawasul yang tidak diperbolehkan. Sebagian orang menggunakan tawasul yang tidak diperbolehkan dan menyangka bahwasanya itu adalah tawasul yang diperbolehkan. Tentunya kita jangan sampai terjebak, jangan sampai kita salah di sini. Tujuan tawasul adalah agar doa kita mustajab (dikabulkan), jangan sampai melakukan sesuatu yang justru menjadikan doa kita tertolak. Ingin dikabulkan doanya, justru malah melakukan sesuatu yang menjadikan doa kita tertolak, bahkan bisa menjadi batal seluruh amalan kita. At-Tawassulul Jāiz wal Matlūb (Tawasul yang diperbolehkan dan yang dituntut) adalah bertawasul dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, serta amal saleh. 1. Bertawasul dengan nama-nama Allah:Ketika Anda berdoa ingin dikabulkan doanya, sebutkan nama Allah. Karena nama di antara nama-nama Allah isinya adalah pujian. Itu bukan hanya sekadar nama belaka, bukan hanya sekadar nama semata, di situ ada makna, di situ ada pujian kepada Allah. Makanya kita artikan dalam bahasa kita “Yang Maha…” seperti “Yang Maha Penyayang,” “Yang Maha Memberikan Rezeki.” Itu adalah pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika ingin dikabulkan doanya, puji Allah dengan menyebutkan nama-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا”Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.”(QS. Al-A’raf:16 180) Sebutkan nama Allah azza wa jalla ketika kita berdoa kepada-Nya. Mengatakan “اللهم” (Allahumma) itu termasuk menyebut nama Allah. Mengatakan “ربي” (Rabbi) atau “ربنا” (Rabbana), Anda sedang menyebutkan nama Allah. Atau disesuaikan dengan kehendak kita atau permintaan kita. Jika kita ingin diberikan rezeki, kita menyebutkan nama Allah Ar-Razzaq (الرزاق): “يا رزاق” (Ya Razzaq) – wahai Zat yang memberikan rezeki, “ارزقني” (urzuqni) – berikan saya rezeki ya Allah. Seandainya kita ingin ilmu, “يا عليم” (Ya ‘Alim) – wahai Zat yang Maha Mengetahui segala sesuatu, “عَلِّمْنِي” (‘allimni) – berikan saya ilmu. Seseorang yang merasa lemah, maka ia mengatakan “يا قوي” (Ya Qawiy) – wahai Zat yang Maha Kuat, “قَوِّنِي” (qawwini) – berikan aku kekuatan. Berarti ia menyebutkan nama sesuai dengan hajatnya. Jika ingin anak, kira-kira disebutkan nama apa? “يا رزاق” bisa, atau “يا وهاب” (Ya Wahhab) – wahai Zat yang Maha Memberi. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dialah yang memberikan. Anda sesuaikan. Ini di antara sebab dikabulkannya doa seseorang. 2. Bertawasul dengan menyebutkan sifat Allah:Misalnya, menyebutkan rahmat Allah. “يا الله برحمتك استغيث” (Ya Allah, dengan rahmat-Mu aku beristikamah/memohon pertolongan). Boleh seseorang bertawasul dengan menyebutkan sifat Allah, karena ini juga termasuk pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memuji Allah dengan menyebutkan sifat-Nya. 3. Bertawasul dengan amal saleh:Seperti misalnya, seseorang meminta kepada Allah dan mengatakan, “Ya Allah, saya tadi baru ikut kajian dan mempelajari masalah tauhid, masalah akidah. Jika memang duduknya saya di majelis tersebut adalah ikhlas karena-Mu, maka sembuhkanlah penyakit ibu saya.” Berarti dia di sini bertawasul dengan menyebutkan amal saleh. Boleh yang demikian. Seseorang bertawasul kepada Allah dengan menyebutkan amalannya. Kemudian beliau (penulis kitab) mendatangkan dalil:Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا”Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.”(QS. Al-A’raf:17 180) Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah18 kepada Allah al-wasilah.”(QS. Al-Ma’idah: 35) Al-Wasilah dalam bahasa Arab maknanya adalah الْقُرْبَةُ (al-qurbah) – kedekatan. Jika kita kembali ke kamus-kamus, akan kita dapatkan makna ini. Al-Wasilah maknanya adalah al-qurbah. “Carilah kepada-Nya (ilaihi)” yaitu kepada Allah, al-wasilah, maksudnya adalah carilah kedekatan. Kita berusaha untuk mendekat kepada Allah. Jangan mendekat kepada pimpinan saja. Setiap hari kita berusaha bagaimana kita lebih dekat kepada Allah daripada kemarin, lebih dekat, lebih bagus. Dan orang-orang saleh, perlombaan mereka adalah di situ, berlomba siapa di antara mereka yang lebih dekat kepada Allah daripada yang lain. Bagaimana caranya? Allah Subhanahu wa Ta’ala didekati dengan amal saleh. Jika kita beramal saleh, maka kita akan semakin dekat dengan Allah. Dan amal saleh bertingkat-tingkat. Amal saleh yang paling mendekatkan kita kepada Allah adalah amalan yang wajib. Makanya, amalan yang wajib jangan ditinggalkan, karena inilah amalan yang paling mendekatkan diri kita kepada Allah: salat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, haji ke Baitullah. Baru setelah itu amal-amal yang sunah. Beliau (Ibnu Katsir) menyebutkan tafsiran ini menukil dari Qatadah رحمه الله:”تَقَرَّبُوا إِلَيْهِ بِطَاعَتِهِ وَالْعَمَلِ بِمَا يُرْضِيهِ””Hendaklah kalian bertaqarrub (mendekat) kepada Allah dengan ketaatan kepada-Nya dan beramal dengan perkara yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala rida.” Tafsiran ini menunjukkan bahwa “Carilah kedekatan” maksudnya kita disuruh untuk beramal saleh. Karena sebagian orang berdalil dengan ayat ini (“Carilah wasilah”) maksudnya kita disuruh untuk datang ke kuburan wali, mencari wasilah, mencari perantara antara kita dengan Allah. Jadi, mereka menafsirkan wasilah adalah perantara, maksudnya carilah seseorang lalu kita berdoa kepadanya, nanti dia yang menyampaikan doa kita kepada Allah. Ini adalah tafsiran yang menyelisihi tafsiran para salaf. Para salaf mereka menafsirkan al-wasilah adalah “carilah kedekatan”, dan kedekatan di sini adalah dengan amal saleh. Jadi, jika memang kita, “Ustaz, saya ingin dekat kepada Allah, kan orang saleh tersebut dekat dengan Allah, saya juga ingin dekat dengan Allah,” caranya adalah dia berdoa kepada orang saleh tersebut, maka ini cara setan. Adapun cara yang disyariatkan adalah kita mendekatkan diri dengan cara yang digunakan oleh orang saleh tersebut. Sekarang, jika kita meyakini orang saleh tersebut adalah orang-orang yang dekat kepada Allah, kita tanyakan, “Sebabnya apa mereka bisa dekat dengan Allah?” Oh, ternyata mereka berinfak. Oh, ternyata mereka menjaga salat malam. Oh, ternyata mereka menjaga kewajiban. Nah, dengan cara seperti itu kita mendekatkan diri kepada Allah, bukan dengan cara berdoa kepada mereka. Justru ketika berdoa kepada mereka, kita semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda kepada seorang sahabat yang pernah meminta kepada beliau untuk menemani beliau di dalam surga:”يَا رَبِّ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ””Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama yang itu adalah milik-Mu.”(HR. Ahmad, sahih) Berarti di sini tawasul dengan nama Allah. “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama yang itu adalah milik-Mu,” baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Maka ini berarti telah bertawasul dengan seluruh nama Allah, memuji Allah dengan seluruh nama-Nya. Beliau صلى الله عليه وسلم berkata kepada seorang sahabat yang pernah meminta kepada beliau untuk menemani beliau di dalam surga. Sahabat itu datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian oleh Nabi صلى الله عليه وسلم ditawarkan, “Kamu mau minta apa?” Tidak ada pikiran yang lain karena di dalam dirinya ada kecintaan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan ada keinginan untuk masuk ke dalam surga. Dia pun mengatakan, “Ya Rasulullah, saya ingin menemani dirimu di dalam surga, di dalam negeri yang penuh dengan kenikmatan, selamanya di sana, bersama dengan orang yang dia cintai, dan orang yang paling dia cintai yaitu Rasulullah صلى الله عليه وسلم.” Berarti di sini dia sebenarnya meminta dua perkara: ingin masuk ke dalam surga dan ingin terus bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم mengatakan:”فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ””Kalau demikian, tolonglah aku atas dirimu (bantulah aku) dengan memperbanyak sujud.”(HR. Muslim) Beliau akan berdoa, tapi kamu juga harus membantuku dengan cara memperbanyak sujud, yaitu memperbanyak salat. Ay, as-salat wahya min al-amal as-salih – maksudnya adalah memperbanyak salat dan itu termasuk amalan yang saleh. Berarti harus punya sebab, jangan kita hanya berdoa saja tapi kita hendaknya mengambil sebab-sebab zahir, yaitu kita beramal. Demikian pula ketika seorang didoakan oleh orang lain, ia pun juga hendaknya mengambil sebab, misalnya meminta doa orang tua, “Bu, Pak, tolong mudahkan ujian saya, lancar besok,” tetapi malamnya dia begadang, tidak belajar, mengobrol, tidak buka buku, kira-kira bisa tidak? Tidak bisa yang demikian. Jika memang minta doa dari orang lain, kita pun juga harus berusaha, ada usaha yang kita lakukan. Nabi صلى الله عليه وسلم di sini menyuruh dia untuk memperbanyak sujud. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dan dibolehkan bertawasul dengan cinta kita kepada Allah dan cinta kita kepada Rasulullah dan para wali. Ini masih berbicara tentang tawasul yang diperbolehkan. Berarti tawasul dengan nama-nama Allah, dengan sifat-sifat-Nya, ada tawasul dengan menyebutkan amal saleh, menyebutkan iman. Dan ini pernah dilakukan dahulu sebagaimana disebutkan dalam hadis, ada tiga orang yang saleh melakukan perjalanan. Hujan. Mereka masuk ke dalam gua. Qadarullah, ada batu besar yang bergerak, mungkin karena hujan dan lain-lain, dia bergerak akhirnya menutupi gua mereka. Tidak ada orang di sekitarnya. Teriak pun mereka tidak akan bisa memperdengarkan suaranya pada orang lain. Terus bagaimana? Jika terus di situ tidak makan, tidak minum, berapa hari mereka bisa bertahan? Akhirnya mereka sadar bahwasanya tidak ada yang menggerakkan batu yang besar ini kecuali Allah Rabbul ‘Alamin. Mereka bertiga mendorong pun tidak bisa, teriak juga tidak ada orang. Akhirnya masing-masing satu orang di antara mereka mengatakan, “Kita masing-masing harus berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang menjadi andalan dia, amal saleh yang dia kerjakan ikhlas karena Allah.” Akhirnya masing-masing, karena mereka adalah orang-orang yang saleh, satu di antara mereka berdoa, “Ya Allah, dulu saya punya orang tua yang senantiasa saya berbakti kepadanya. Dan dia punya hewan ternak, dia peras susunya, diberikan susu yang terbaik untuk orang tuanya.” Siapa itu di antara baktinya kepada orang tuanya? Sampai suatu saat dia ada satu musibah, sebagian hewan ternaknya lepas. Akhirnya dia pun sibuk mencarinya, terlambat pulang ke rumah. Orang tuanya sudah dalam keadaan tidur, padahal biasanya sebelum tidur dikasih minum susu. Akhirnya dia bawa susunya, dia tunggu, dan dia di samping orang tuanya. Niatnya kalau orang tuanya bangun, langsung dia berikan susu tersebut. Ternyata sampai pagi orang tuanya baru bangun, sementara selama ini dia tidak memberikan minum susu tersebut kepada anak-anaknya sebelum dia memberikan minum kepada kedua orang tuanya. Anak-anaknya dalam keadaan menangis, kelaparan sampai mereka pun tertidur karena baktinya kepada kedua orang tuanya. Dia rela untuk begadang tidak tidur demi untuk menjaga, siapa tahu orang tuanya bangun di waktu malam. “Ya Allah, seandainya ini aku lakukan ikhlas karena-Mu, maka bukakanlah batu ini.” Akhirnya terbuka sedikit, belum bisa mereka keluar.

Yang kedua berdoa, menyebutkan tentang bagaimana dahulu dia meninggalkan zina karena Allah, padahal wanita sudah berada di depannya dan dia sudah siap, tapi dia tinggalkan itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Ya Allah, seandainya aku melakukan itu saat itu adalah karena takut kepada-Mu, maka gerakkanlah batu ini.” Akhirnya bergerak juga tapi tidak sampai mereka bisa keluar.

Yang ketiga berdoa kepada Allah, menyebutkan tentang amanahnya dalam menjaga harta orang. Dia seorang majikan punya pekerja. Sebelum dikasihkan gajinya ternyata dia pergi. Dia tahu bahwa ini adalah uang hak dia. Akhirnya dia simpan, ditunggu tidak datang-datang. Akhirnya digunakan uang tadi, dimanfaatkan, dikembangkan, dengan niat nanti kalau si Fulan datang akan dia berikan. Ternyata dikembangkan sampai hewan ternaknya sebanyak satu lembah atau satu bukit. Baru datang orang tadi, kemudian ketika dia menagih, dia katakan, “Itu semua milikmu.” Kemudian dia mengatakan, “Ya Allah, seandainya apa yang aku lakukan adalah ikhlas karena-Mu, maka gerakkanlah batu ini.” Akhirnya terbukalah batu tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menggerakkan, Allah yang mengabulkan. Dan ini menunjukkan bolehnya kita bertawasul dengan amal saleh.