Blog
Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 01, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

Sungguh, mempelajari ilmu hadis merupakan sebuah kemuliaan bagi seorang Muslim. Ketika ia bisa berada dalam barisan orang-orang yang melanjutkan penyampaian hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada umat, ia menjadi penerus beliau. Tugas mulia ini sejatinya bukan hanya tanggung jawab segelintir kalangan, melainkan seluruh kaum Muslimin. Namun, karena kemampuan setiap individu berbeda, اللهُ عَزَّ وَجَلَّ akan memilih orang-orang tertentu yang siap memperjuangkan hadis-hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Ilmu sanad, yang membawa hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dari zaman beliau hingga kini, adalah sebuah syaraf (kemuliaan) istimewa yang tidak Allah berikan kepada umat selain umat Islam. Umat-umat terdahulu, meskipun memiliki nabi dan kitab suci, tidak mendapatkan kemuliaan sanad ini. Sebagaimana ditegaskan oleh Abu Hatim Ar-Razi, yang dinukil oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, “Tidak pernah ada satu umat pun sebelum ini, sejak Allah ciptakan Nabi Adam, yang memiliki orang-orang terpercaya untuk menjaga perkataan nabi mereka, kecuali umat ini.” Merekalah Ahlul Hadis, yang disiapkan untuk membawa, menjaga, dan memelihara hadis hingga dapat kita nikmati dan amalkan saat ini.
Menanggapi pernyataan bahwa Ahlul Hadis terkadang menyampaikan hadis yang tidak sahih, Abu Hatim menjelaskan bahwa tujuannya adalah agar umat secara umum mengetahui mana hadis yang sahih dan mana yang lemah. Mereka meriwayatkan keduanya untuk menjelaskan dan memberi pengetahuan, sehingga orang tahu bahwa Ahlul Hadis menghafal semua riwayat tersebut dan mampu membedakannya. Banyak ulama sengaja menyebutkan hadis tidak sahih untuk menegaskan statusnya, baik sebagai hadis palsu maupun hadis yang tidak benar, terkadang melalui penyebutan sanadnya. Ini adalah bagian dari perhatian para ulama ahli hadis.
Tugas menjaga hadis adalah tanggung jawab bersama. Setiap individu berkontribusi sesuai kemampuannya. Ada yang dengan kekuatan hafalan menyampaikan kepada yang lebih paham. Kita ingat hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar hadis-hadisku, memahaminya, menghafalnya, lalu menyampaikannya sebagaimana ia dengar. Betapa banyak orang yang mendengar (dari penyampai) lebih paham daripada penyampai itu sendiri.” Seseorang bisa saja membawa pemahaman dan menyampaikannya kepada yang lebih faqih darinya, meski ia sendiri belum sepenuhnya paham. Cukuplah ia berjasa karena telah menyampaikan hadis apa adanya, tanpa perubahan.
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberitakan akan adanya sekelompok umat yang senantiasa terjaga dan ditolong oleh اللهُ عَزَّ وَجَلَّ hingga menjelang hari kiamat. Meskipun dicela atau diserang oleh pihak yang tidak menyukai mereka, kelompok ini akan tetap teguh mempertahankan sunah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Para imam seperti Ali ibnul Madini, Imam Al-Bukhari, dan Imam Ahmad menyatakan, “Apabila mereka bukan Ahlul Hadis, aku tidak tahu siapa lagi mereka.” Bahkan, ada ulama yang berkata, “Jika bukan Ahlul Qur’an dan Ahlul Hadis para wali Allah, bisa jadi Allah tidak memiliki wali.” Merekalah yang pantas menyandang gelar wali اللهُ عَزَّ وَجَلَّ, karena siap memperjuangkan Islam dengan mengajarkan Al-Qur’an dan hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Islam pasti akan terjaga atas kehendak Allah, namun tidak ada jaminan individu kita yang akan menjadi penjaganya. Maka, ketika Allah memberi kesempatan untuk menguasai dan mempelajari ilmu hadis lalu menyampaikannya, ini adalah keistimewaan dari اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Kita berharap Allah menghendaki kebaikan bagi kita. Ahlul Hadis adalah mereka yang siap mempelajari, mengamalkan, dan menyampaikan hadis. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رَحِمَهُ اللَّهُ menjelaskan bahwa Ahlul Hadis sejati bukanlah sekadar mereka yang mendengar, menulis, dan meriwayatkan, melainkan “setiap orang yang menghafal, memahami, mengetahui, kemudian mengikutinya (secara lahir dan batin).”
Ahlul Islam, khususnya yang mengenal sunah secara hakiki, akan menjadi orang-orang yang terasing. Sebagaimana hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Islam diawali dengan keterasingan dan akan kembali asing, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” Seorang ulama رَحِمَهُ اللَّهُ menjelaskan bahwa Islamnya tidak hilang, tetapi orang-orang yang mengenal sunah akan berkurang jumlahnya, hingga mungkin di suatu kota hanya tersisa satu orang yang mengenalnya.
Maka, tugas kita sebagai thullabul ilm (penuntut ilmu), yang diberi kelebihan untuk mempelajari hadis, adalah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengenal dekat para ulama ahli hadis, memahami cara mereka memahami hadis, lalu mengamalkan dan memperjuangkannya. Cara terbaik membumikan hadis adalah dengan mengamalkannya. Imam Ahmad رَحِمَهُ اللَّهُ berkata, “Tidak ada satu hadis pun yang pernah aku pelajari kecuali aku amalkan, sekalipun hanya sekali.” Beliau mencontohkan, setelah membaca hadis tentang hijamah (bekam) dan Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberi upah kepada tukang bekam, beliau pun berbekam dan memberi upah kepada tukang bekamnya.
Kajian kita kali ini, insya Allah, membahas kitab yang panjang, sekitar 430 hadis. Istiqamah dalam mempelajarinya sangat penting. Sudah menjadi hal biasa, kajian di awal dihadiri banyak orang, lalu jumlahnya menyusut. Tidak mengapa, karena kesuksesan dinilai pada akhirnya. Seorang ulama bercerita, saat semangat belajar, teman-temannya berkurang satu per satu hingga tersisa ia seorang diri. Namun, ia kemudian menjadi pewaris ilmu gurunya, Syaikh Nashiruddin Al-Albani رَحِمَهُ اللَّهُ, dan pengajarannya berkembang pesat.
Jauh sebelumnya, Syaikh Bin Baz رَحِمَهُ اللَّهُ, meski pengajiannya di Masjid Nabawi pernah dilaporkan paling sedikit pesertanya, sepeninggal beliau buku-bukunya dicetak, disebarkan, dan dipelajari secara luas. Ini adalah bentuk barakah dari Allah. Atha bin Abi Rabah رَحِمَهُ اللَّهُ, seorang tabiin besar di Mekah, majelisnya mungkin hanya dihadiri sembilan atau sepuluh orang, namun ilmunya sangat berpengaruh. Semoga pengajian kita ini diberkahi dengan istiqamah.
Biografi Penulis: Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi
Kajian pertama kita akan membahas biografi penulis, Al-Imam Abdul Ghani Ibnu Abdul Wahid Ibnu Ali Ibnu Surur Al-Maqdisi رَحِمَهُ اللَّهُ. Beliau berasal dari keluarga ulama, sepupu dari Ibnu Qudamah Al-Muwaffaq رَحِمَهُ اللَّهُ (penulis Al-Mughni). Ayahnya adalah seorang alim yang sangat memperhatikan pendidikan anaknya. Pada usia 16 tahun, Abdul Ghani sudah diajak menghadiri majelis-majelis hadis. Ini menunjukkan kebiasaan Ahlul Hadis yang bangga membawa anak-anak mereka ke majelis ulama kibar, sebagai bentuk perhatian orang tua terhadap pendidikan keluarga.
Meskipun ada ungkapan bahwa anak seorang alim terkadang tidak belajar dari ayahnya, karena merasa paling tidak butuh, Abdul Ghani tumbuh dalam keluarga berilmu yang menjadi modal awalnya. Beliau diarahkan orang tuanya hingga menyelesaikan hafalan Al-Qur’an sebelum dewasa, sesuai tradisi ulama.
Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi dilahirkan pada tahun 541 H (pendapat yang rajih). Ada yang menyebut 544 H, bahkan beliau sendiri tidak begitu yakin tahun persis kelahirannya, seraya berkata, “Kalau tidak salah tahun 543 atau 544 H.” Para ulama dahulu memang sering tidak terlalu memperhatikan tanggal lahir, karena jasa seseorang bagi umat baru terlihat ketika sudah berilmu dan menyebarkannya. Tidak ada tradisi merayakan ulang tahun bagi mereka, bahkan untuk para sahabat sekalipun. Informasi tahun 541 H justru datang dari bibinya (ibu Ibnu Qudamah), yang dikenal memiliki ingatan kuat terkait kelahiran, seperti kebanyakan wanita. Adiknya, Imaduddin Ibrahim Al-Maqdisi, yang juga ahli hadis dan lahir tahun 543 H, menyatakan bahwa Abdul Ghani lebih tua dua tahun darinya, yang menguatkan tahun 541 H.
Beliau dibesarkan bersama sepupunya, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Keduanya gemar melakukan rihlah (perjalanan menuntut ilmu). Setelah diajak ayahnya berkeliling majelis ilmu sejak kecil, Abdul Ghani melanjutkannya sendiri bersama Ibnu Qudamah. Keduanya memiliki kecenderungan berbeda—Abdul Ghani lebih ke hadis, Ibnu Qudamah lebih ke fikih—namun saling menemani dalam menghadiri pengajian masing-masing, sehingga keduanya menguasai banyak ilmu, menggabungkan hadis dan fikih. Ini adalah kebiasaan ulama terdahulu yang tidak memisahkan kedua disiplin ilmu tersebut.
Perjalanan ilmiah Abdul Ghani sangat luas. Dimulai dari sekitar tempat tinggalnya di Jama’il (Palestina) dan Damaskus, beliau kemudian berkelana ke Mesir, Jazirah Arab (Makkah, Madinah), hingga Irak (belajar 4 tahun bersama Ibnu Qudamah). Dikatakan beliau “tawaf di dunia tujuh kali” untuk mencari hadis. Beliau sangat menjaga waktunya, menghabiskannya untuk membaca dan menyalin kitab hingga penglihatannya kabur lalu buta di akhir hayatnya. Al-Hafizh Abdul Ghani Al-Maqdisi wafat pada tahun 600 H dalam usia 59 tahun.
Di antara guru-guru beliau yang terkenal adalah Ibnul Jawzi رَحِمَهُ اللَّهُ (Abul Faraj Abdurrahman), As-Silafi رَحِمَهُ اللَّهُ (Abu Thahir Ahmad bin Muhammad), dan Al-Mundziri رَحِمَهُ اللَّهُ (Abdul Azhim bin Abdul Qawi) menjadi salah satu muridnya yang masyhur.
Beliau dikenal memiliki hafalan yang sangat kuat. Pernah dalam suatu majelis gurunya, Abu Musa Al-Madini, terjadi perdebatan tentang keberadaan suatu hadis di Shahih Bukhari. Abdul Ghani bersikukuh hadis itu tidak ada di sana. Ketika dikonfirmasi kepada sang guru, ternyata Abdul Ghani benar, menunjukkan kedalaman hafalannya yang diakui gurunya. Bahkan ada kisah seseorang bersumpah menceraikan istrinya jika Abdul Ghani tidak hafal 100.000 hadis. Abdul Ghani menanggapinya, “Kalau dia katakan aku hafal lebih dari 100.000, dia benar.” Para ulama menjelaskan bahwa hitungan sebanyak itu mencakup jalur-jalur sanad yang berbeda serta perkataan sahabat dan tabi’in.
Akidah dan Mazhab Fikih Beliau
Secara akidah, Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi adalah pengikut mazhab Salaf. Beliau menulis kitab Al-Iqtishad fil I’tiqad yang menjelaskan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah. Beliau teguh membela manhaj Salaf hingga mengalami penyiksaan. Ketika pemerintah dan ulama pendukungnya menganut paham ilmu kalam, Abdul Ghani yang lugas dan tegas dalam menyatakan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya (seperti hadis nuzul), dituduh sebagai mujasimah (menyerupakan Allah dengan makhluk). Beliau disidang dan akhirnya diusir ke Mesir, di mana beliau juga menghadapi ujian serupa. Ini menunjukkan perjuangan Ahlul Hadis dalam mempertahankan kebenaran.
Dalam fikih, mazhab beliau adalah Hambali. Ini terlihat dari fatwa-fatwanya dan beberapa arahannya dalam kitab hadisnya. Misalnya, ketika menjelaskan hadis tentang qadha puasa bagi orang yang meninggal, beliau menukil pendapat bahwa itu khusus puasa nazar, seraya menyatakan ini pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
Karya-Karya Beliau
Di antara karya-karya beliau yang tercetak adalah:
- Umdatul Ahkam: Kitab yang akan kita pelajari, berisi sekitar 430 hadis hukum dari Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim).
- Al-Umdatul Kubra: Serupa dengan Umdatul Ahkam namun lebih besar, berisi sekitar 860 hadis hukum dari Kutubus Sittah.
- Al-Kamal fi Asma’ir Rijal: Kitab monumental tentang perawi hadis, yang kemudian menjadi dasar bagi karya-karya besar seperti Tahdzibul Kamal oleh Al-Mizzi, serta Tahdzibut Tahdzib dan Taqribut Tahdzib oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
Umdatul Ahkam adalah ringkasan hadis-hadis hukum dari Al-Bukhari dan Muslim, disusun sesuai bab-bab fikih (Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, dst.). Beliau sengaja menghilangkan sanadnya agar mudah dihafal. Kitab ini termasuk karya awal dalam kompilasi hadis-hadis hukum. Terkadang beliau menambahkan faidah seperti penjelasan nama perawi yang mubham (tidak jelas). Keaslian penisbatan kitab ini kepada beliau terbukti melalui manuskrip kuno (turrah), kesaksian para ulama yang mensyarahnya, dan penyebutan kitab ini dalam biografi beliau.
Kitab ini mendapat perhatian besar dari para ulama berbagai mazhab. Banyak syarah (komentar) telah ditulis untuknya, di antaranya:
- Ihkamul Ahkam Syarah Umdatil Ahkam oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id رَحِمَهُ اللَّهُ.
- Al-‘Uddah fi Syarhil ‘Umdah oleh Al-‘Attar (murid Imam An-Nawawi) رَحِمَهُ اللَّهُ.
- Al-I’lam bi Fawa’id Umdatil Ahkam oleh Ibnul Mulaqqin رَحِمَهُ اللَّهُ (11 jilid).
- Kasyful Litham Syarah Umdatil Ahkam.
- Tanbihul Afham Syarah Umdatil Ahkam oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رَحِمَهُ اللَّهُ.
- Taisirul ‘Allam Syarhu Umdatil Ahkam oleh Syaikh Abdullah Al-Bassam رَحِمَهُ اللَّهُ.
Banyaknya syarah ini menunjukkan pentingnya kitab Umdatul Ahkam. Insya Allah, dalam kajian kita, kita akan merujuk pada beberapa syarah tersebut untuk pemahaman yang lebih komprehensif.
Ini yang dapat kita jadikan sebagai mukadimah. Semoga bermanfaat.
صَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.