Dr. Emha Hasan Ayatullah M.A, Kajian Kitab, Kitab Umdatul Ahkam

Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 02, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

7 views

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ.
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.

Malam ini, dengan bersyukur kepada Allah, kita akan memulai kajian tentang hadis. Kita akan berusaha meneladani para ulama dalam mempelajari hadis-hadis Nabi صلى الله عليه وسلم.

Ciri Khas Majelis Ulama

Sebagaimana sering kita dengar, jika tidak salah dari riwayat Imam Malik رَحِمَهُ ٱللَّهُ atau dari yang lain, sebagian ulama mengatakan bahwa majelis para ulama diiringi ketenangan dan kekhusyukan. Ini bukan karena hakikat orang yang mengajar, melainkan karena pelajaran yang sedang dipelajari.

Ahlul Hadis menjadi teladan terdepan dalam menerapkan disiplin belajar. Di majelis Abdurrahman Bin Mahdi رَحِمَهُ ٱللَّهُ, tidak ada murid yang berani berbicara atau mempersiapkan pena jika mereka belum siap. Jika ada yang berani mempersiapkan penanya di majelis itu, beliau akan marah dan meninggalkan majelis apabila mendengar ada suara, orang tersenyum, atau berbicara.

Imam Malik رَحِمَهُ ٱللَّهُ juga termasuk ulama yang sangat menjaga adab. Ketika beliau menyampaikan hadis, beliau menyisir rambutnya, menyisir jenggotnya, menggunakan pakaian terbaik, duduk di atas kursi, dan juga di atas kasurnya. Beliau tenang menyampaikan hadis. Ketika beliau ditanya, beliau mengatakan, “أُرِيدُ أَعْظَمَ” (Aku ingin mengagungkan) hadis-hadis Nabi صلى الله عليه وسلم.

Maka, diriwayatkan dari Abdullah bin Mubarak رَحِمَهُ ٱللَّهُ bahwa beliau tidak mau ketika ada orang bertanya tentang hadis sambil berjalan, karena beliau menilai hal itu tidak menghormati hadis Nabi صلى الله عليه وسلم. Hal seperti ini barangkali patut kita perbaiki agar ilmu yang kita pelajari semakin berkah.

Saya ulangi sekali lagi, bukan karena siapa yang mengajarkan, siapa yang belajar, atau di mana kita belajar. Akan tetapi, kita harus memahami dan menyadari bahwa majelis ini adalah majelis terhormat. Yang kita pelajari adalah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم, dan para malaikat hadir, sehingga kita mengharapkan pahala dan berkah dari ilmu yang akan kita dapatkan.

Hadis Pertama: Pentingnya Niat

Kita akan mempelajari hadis pertama, dan mungkin malam ini kita hanya akan mempelajari satu hadis saja karena hadis ini merupakan pokok dan pondasi terpenting dalam Islam. Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi menyebutkan hadis ini sebagai hadis pertama dalam rangkaian hadis, dan Imam Nawawi juga sama menjadikan hadis ini sebagai hadis pertama. Banyak ulama yang menjadikan hadis ini sebagai hadis pertama pada buku-buku mereka. Bahkan ada pernyataan dari Abdurrahman Bin Mahdi رَحِمَهُ ٱللَّهُ: “Seandainya aku akan mengarang buku kumpulan hadis yang terdiri dari berbagai bab, aku akan jadikan masing-masing bab ada hadis ini karena kaitannya dengan keikhlasan niat seseorang.”

Ini menunjukkan bahwa para ulama tidak main-main dalam hal meluruskan niat. Seandainya para ulama mengatakan, seperti Abdurrahman Bin Mahdi رَحِمَهُ ٱللَّهُ, bahwa meluruskan niat adalah aktivitas yang paling sulit, itu benar. Namun, kita menganggapnya sesuatu yang biasa saja. Kita belajar begitu saja, dari awal hingga akhir tahun, seolah-olah niat bukanlah hal yang besar yang harus diperhatikan. Barangkali perhatian kita pada nilai, pada aktivitas, dan disiplin peraturan, itu semua penting. Akan tetapi, yang sering dinasihatkan oleh para ulama adalah perlu memperhatikan dari sisi batin, karena seringkali ketika niat seseorang rusak, ilmu yang dipelajarinya tidak berkah, dan bisa jadi kita mendapatkan kegagalan karena niat kita yang sulit untuk diperhatikan.

Beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, ‘إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ‘ (Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya).”

Dalam sebagian naskah manuskrip disebutkan dengan إِفْرَادٌ بِالنِّيَّةِ (tunggal niat), sebagian lafaz lain dan riwayat yang lain menggunakan جَمْعٌ بِالنِّيَّاتِ (jamak niat). Dan masing-masing orang akan mendapatkan pahalanya sesuai yang diniatkan.

“Siapa yang hijrahnya didasarkan karena niat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia mendapatkan pahala hijrah orang yang ikhlas karena Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena dia ingin menikahi seorang wanita, hijrahnya akan dinilai sesuai dengan niat yang dia maksudkan.”

Hadis ini, seperti kita ketahui, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ, mertua Rasul صلى الله عليه وسلم, calon penghuni surga صلى الله عليه وسلم.

Ini yang disampaikan oleh Ali Bin Abi Thalib رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ketika beliau berada di mimbar Kufah. Beliau mengatakan, “Orang terbaik umat ini setelah nabinya صلى الله عليه وسلم adalah Abu Bakar, kemudian setelah itu Umar, kemudian setelah itu Utsman.” Maka sebagian orang mengatakan, “ثُمَّ أَنْتَ” (Kemudian Anda)? Beliau mengatakan, “Aku hanyalah salah seorang dari kaum Muslimin.”

Ini menjadi keyakinan أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ bahwa mencintai umat adalah tanda keimanan. Ini seperti yang disampaikan oleh Amrika, mengetahui keistimewaan mencintai Abu Bakar dan Umar serta mengetahui kedudukan keduanya merupakan bagian dari sunah. Karena dua orang ini merupakan orang yang paling dicintai oleh Nabi صلى الله عليه وسلم. Banyak hadis yang diriwayatkan oleh kedua orang ini, bahkan kejayaan Islam tidak lepas dari jasa kedua orang ini. Maka, kebiasaan para ulama salaf, mereka mengajarkan kepada anaknya untuk mencintai Abu Bakar dan Umar. Imam Malik رَحِمَهُ ٱللَّهُ mengatakan, “Karena mereka mengatakan bahwa para ulama salaf mengajarkan kepada anak-anak mereka kecintaan kepada Abu Bakar dan Umar seperti mereka mentalkin pelajaran surat dalam Al-Qur’an atau mengajarkan hadis Nabi صلى الله عليه وسلم.” Disebutkan, “Maka Abu Bakar dan Umar, sebelum Bukhari dan Muslim, belum ada mereka.” Ini menunjukkan bahwa dua orang ini menjadi salah satu simbol yang paling terang terhadap keimanan أَهْلُ السُّنَّةِ.

Maka, orang-orang yang tidak suka dengan sunah, pertama yang mereka serang adalah Abu Bakar dan Umar. Entah mereka sekte yang tidak menyukai sahabat (mengkafirkan semua sahabat kecuali beberapa orang saja) atau orang Khawarij yang mereka juga mengkafirkan kebanyakan para sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم.

Keutamaan Umar bin Khattab

Umar bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ merupakan orang yang ditakuti kawan maupun lawan. Bukan jin saja takut sama dia. Kalau seandainya ada orang ditakuti jin, tidak kebayang akan kesambet kerasukan jin. Jin masuk ke sini, dia takut. Ada orang kerasukan perlu dirukiah? Dalam صحيح البخاري dan Muslim disebutkan, “Suatu saat Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ menemui Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Ternyata di situ ada beberapa istri-istrinya yang sedang meminta tambahan nafkah atau sedang mendebat Nabi صلى الله عليه وسلم dengan suara yang keras.” Ketika mereka mendengar Umar masuk dan meminta izin untuk masuk menemui Nabi صلى الله عليه وسلم, mereka semua lari dan sembunyi di balik tabir.

Saat Rasulullah صلى الله عليه وسلم tertawa melihat Umar, maka Umar mengatakan, “Maksudnya bukan ‘semoga Anda tertawa terus’ karena kata-kata ‘Semoga Allah membuat engkau tertawa sampai kelihatan giginya’ jika tidak tahu arti aslinya. Akan tetapi, maksudnya adalah ‘semoga Allah membuat Anda selalu bahagia dan jauh dari kesedihan’.” Kemudian Rasul صلى الله عليه وسلم mengatakan, “عَجِبْتُ مِنْهُنَّ!” (Aku heran sama perempuan-perempuan itu!) yang tadi ada di sekitar saya. Ketika mereka mendengar suaramu, langsung lari kabur semua.” Apa kata beliau? Beliau mengatakan, “وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ!” (Demi Allah, wahai Rasulullah!) Engkau lebih berhak untuk mereka takuti, berhak mereka hormati. Kok bisa mereka takut sama saya, tidak takut sama Anda?” Akhirnya Umar tidak sabar, beliau katakan, “Hai kalian musuh-musuh diri sendiri, kalian takut kepada aku tidak takut kepada Nabi صلى الله عليه وسلم?”

Dari belakangnya, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Kamu lewat satu tempat, ada setan di situ melihat kamu, dia cari jalan lain.” مَا شَاءَ اللَّهُ, ini orang kalau sudah kayak begini bagaimana? Kalau ada orang dirukiah, kirim sandalnya Imam Ahmad رَحِمَهُ ٱللَّهُ ketika minta dibantu agar orang dirukiah, kirim sandalnya, dia takut. Sekarang ada orang mau kirim sandalnya, kirim duitnya, kirim mobilnya, setannya malah suka, “teman saya datang ya.”

Maka, ini merupakan di antara keistimewaan Umar, dan kita katakan bahwa Umar menjadi salah satu simbol أَهْلُ السُّنَّةِ karena beliau paling dibenci oleh orang-orang yang benci dengan sunah. Beliau merupakan orang yang banyak ilmunya. Ketika Nabi صلى الله عليه وسلم dalam صحيح البخاري dan Muslim mengatakan, “Ketika aku tidur, aku melihat—dan tidur para nabi adalah wahyu—aku melihat aku membawa satu tempat dan ada susunya. Aku minum susu itu sampai aku betul-betul kenyang dan aku melihat bekas kenyangnya itu sampai di kuku-kuku. Kemudian aku berikan sisanya kepada Umar.” Maka para sahabat bertanya dari mimpi itu, mereka mengatakan, “Maksudnya ilmu Umar banyak sekali.” Bahkan bukannya ilmu agama, juga dalam صحيح البخاري dan Muslim dikatakan, “بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ أَنَّاسًا يُؤْتَوْنَ بِأَكْوَابٍ فِيهِ اللَّبَنُ، فَمِنْهُمُ مَنْ يَشْرَبُ اللَّبَنَ حَتَّى ارْتَوَى، وَمِنْهُمُ مَنْ لَمْ يَشْرَبْ إِلاَّ قَلِيلاً، وَرَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَشْرَبُ اللَّبَنَ حَتَّى رَأَيْتُ الْأَثَرَ فِي أَظْفَارِهِ” (Ketika aku tidur, aku melihat orang-orang diberi gelas-gelas berisi susu. Sebagian dari mereka minum susu sampai kenyang. Sebagian lagi tidak minum kecuali sedikit. Dan aku melihat Umar bin Khattab minum susu sampai aku melihat bekasnya di kuku-kukunya).” Maksud saya adalah agama, ini berarti agama Umar berlebih-lebih karena banyak sekali. Dan kekuatan agama Umar tidak diragukan lagi.

Bukan hanya itu, beliau sampai pernah cerita dalam صحيح مسلم, “Aku pernah berkata, perkataanku bisa sama dengan perkataan Allah dalam Al-Qur’an.” Kalau mengikuti Al-Qur’an banyak dan semua sahabat begitu, dan setiap Mukmin harus begitu. Orang tahu Al-Qur’an begitu begini, kemudian dia mengikuti Al-Qur’an, ini adalah orang mukmin. Akan tetapi, ini tidak. Umar bin Khattab ngomong dulu, kemudian Al-Qur’an turun mirip seperti yang diomongkan Umar. Ini yang dikatakan sebagai ilham. Dalam hadis yang sahih dikatakan, “Sesungguhnya orang-orang dulu ada beberapa orang yang memiliki kebiasaan مُحَدَّثٌ (diberi ilham). Kalau seandainya di umat ini ada, Umar bin Khattab termasuk orang yang dapat ilham.”

Dan Umar bin Khattab mengatakan, “Aku memiliki beberapa kasus yang aku katakan seperti ini, Allah turunkan firman Allah mirip seperti yang aku inginkan.” Beliau katakan pertama tentang hijab, “Aku mengatakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, karena yang datang untuk berbicara dengan mereka campur-campur, ada orang baik, ada orang jelek. Akhirnya turunlah firman Allah tentang hijab.”

Kemudian Umar bin Khattab pernah mengatakan, “Seandainya Makam Ibrahim dijadikan tempat salat.” Nabi صلى الله عليه وسلم tempat berdirinya ketika bikin Ka’bah, bukan makam orang-orang. Makam itu dalam bahasa Arab artinya tempat berdiri, bukan tempat kuburan.

Kemudian beliau katakan ketika kita berselisih pendapat tentang diapakan ini tawanan perang Badar. Umar bin Khattab berkata, “Abu Bakar ini saudara-saudara kita, kebanyakan mereka kasih maaf saja mereka dikasih denda atau disuruh untuk mengajari mereka. Potong semua harta semua orang tahu kalau kita betul-betul عِزَّة (memiliki kemuliaan) punya عِزَّة (kekuatan).” Kita betul-betul merasa termuliakan setelah Umar bin Khattab masuk Islam. Ternyata turun firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ tentang seorang Nabi, “Apa namanya, pengen merawat atau mendapatkan itu para tawanan. Akan tetapi yang benar, sikat semua ya sampai mereka tahu bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم kuat. Kalian pengen dunia, Allah ingin akhirat.” Sampai dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم menangis ketika bertemu Abu Bakar, menangis ketika orang menangis. “Ada apa ini? Saya ingin menangis juga. Beri tahu apa sebabnya?” Kata Rasulullah صلى الله عليه وسلم, “Seandainya semua diazab oleh Allah kecuali satu orang, kamu aja yang selamat.” Berbicara tentang masalah itu.

Terakhir, ketika Umar bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ akan meninggal, beliau dibunuh oleh seorang Majusi, dan dia adalah salah satu budak dari Mughirah. Termasuk sebagian sahabat waktu itu mereka memang ingin agar orang-orang kafir itu dijadikan budak dan banyakin saja dikeluarkan. Kan kalau tidak dijual-jual begitu. Akan tetapi kalian ngomong sama Abdullah bin Abbas, “Kamu dan bapakmu ingin mereka banyak di Madinah, dan kalian paling banyak punya budak dari orang-orang kafir. Padahal aku takut mereka.” Dan benar, ternyata ada makar dari dia, salah seorang budak, dan dia yang bunuh Umar bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Ketika Umar bin Khattab sudah dibelah perutnya, akhirnya dikasih minum air keluar air dan bercampur darah. Dikasih minum susu keluar susu. Maka mereka mengatakan, “Ini sudah akan meninggal, tidak akan bisa selamat lagi.” Akhirnya para sahabat berbondong-bondong. Sebagian mereka memuji. Ada seorang pemuda datang—dan ini menjadi pelajaran penting—seorang pemuda datang, “Engkau telah menjadi orang yang memiliki jasa dalam awal-awal masuk Islam dan dalam mensahabati Rasul صلى الله عليه وسلم.” Seperti yang beliau doakan, “Minta sendiri aku pengen syahid di Madinah Rasul صلى الله عليه وسلم.” Mendapatkan itu. Akhirnya kata Umar bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, “Iya, benar yang aku inginkan, aku hanya ingin imbang antara kebaikan dan keburukan. Enggak pengen aku menjadi orang yang paling baik, banyak amalnya, tapi setelah itu tuntutannya banyak. Aku hanya ingin agar aku timbang saja, tidak banyak kebaikannya tapi tidak ada banyak orang yang menuntut aku setelah itu.”

Maka anak muda itu keluar, tapi dilihatnya ternyata sarungnya menyentuh tanah. Maka jawab dalam kondisi sakit parah, akan mati seperti itu, beliau mengatakan, “Karena itu akan lebih bertakwa di sisi Allah dan akan lebih bersih untuk bajumu.” Ini diperhatikan oleh Umar bin Khattab dalam صحيح البخاري di kisahnya. Dan ini menunjukkan bahwa urusan seperti ini tidak dianggap remeh oleh Umar bin Khattab. Sampai akan meninggal pun beliau sempat-sempatnya menyebutkan itu. Tidak seperti orang-orang zaman sekarang, “Ah, cuma makruh aja kok.” Dilihat pendapat para ulama, “Oh ternyata yang راجح (kuat) makruh, selama tidak sombong tidak apa-apa.” Atau sebagian mengatakan, “Oh itu maksudnya hanya إِظْهَار (menampakkan) saja. Kalau bantal atau sarung juga enggak apa-apa.” Ini pemahaman dari mana? Para ulama tidak seperti itu memahaminya. Akan tetapi kita lihat Umar bin Khattab, beliau tidak beda-bedakan itu, “Oh Anda sombong apa tidak?” Seperti orang kan bilang begitu, “Yang penting tidak sombong tidak apa-apa ya kan.” Nah, ini berbeda memang pemahamannya dengan calon penghuni surga.

Seperti dalam hadis yang sahih dikatakan, “Tidur. Kemudian beliau melihat surga. Tiba-tiba ada seorang wanita sedang wudu di sebelah istana. Maka aku tanya kepada para malaikat, ‘لِمَاذَا؟’ (Punya siapa ini?) maksudnya ini قَصْر (istana) punya siapa?” “Istananya Umar bin Khattab.” Kata Rasulullah, “Aku ingat bahwa Umar adalah orang pencemburu. Ini berarti perempuan punya dia, bisa jadi budaknya, bisa jadi istrinya, bisa jadi siapa.” Maka aku ingat kecemburuan Umar, maka aku palingkan wajahku dan aku pergi. Maka kata Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis ini, “Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan kami melihat bagaimana Umar menangis ketika diberitahu seperti itu, dan kami sedang bersama Nabi صلى الله عليه وسلم di majelisnya.” Maka Umar mengatakan, “Ya Rasulullah, semoga orang tuaku menjadi tebusanmu, apakah saya akan cemburu di depan Anda?” Dan ini menunjukkan Umar bin Khattab masih hidup saja diberikan jaminan masuk surga, ada booking-annya itu enak sekali masih hidup seperti itu. Sementara kita yang tadi bilang tidak sombong tidak sombong itu, ya kita masih menyangka kalau kita menjadi أَفْضَلُ النَّاسِ (orang-orang terbaik).

Maka yang seperti ini perlu kita pelajari hadis pertama ini biar kita tidak sombong, karena kebanyakan kita masuk ke dalam urusan niat ini tanpa memperhatikan. Maka kata Abdullah رَحِمَهُ ٱللَّهُ: “Betapa banyak amal besar menjadi kecil karena niatnya yang jelek. Betapa banyak amal kecil bisa menjadi besar karena niatnya bagus.”

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ” (Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya).

Ini kita sebutkan sebelumnya, ini ada pelajaran penting juga bahwa hadis ini merupakan hadis yang disebutkan secara sanad sebagai hadis أَحَد. Kenapa kita tegaskan seperti ini? Karena banyak sekte dalam Islam, mereka menolak hadis أَحَد. Mereka katakan hadis أَحَد tidak bisa memberikan tambahan ilmiah, akan tetapi hanya menjadikan persangkaan saja. Ini pendapat sebagian ulama, bahkan sebagian ulama mereka berbeda pendapat, dan sekalipun itu pembahasan dalam usul fikih, itu urusan-urusan kita.

Kita perlu tegaskan ini merupakan hadis أَحَد dan banyak hadis-hadis serupa yang disebutkan dalam صحيح البخاري dan Muslim ternyata hadis أَحَد yang tidak مُتَوَاتِر. Hadis ini diriwayatkan Umar bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Ada riwayat dari sahabat lain tapi lemah, ada dari Abu Hurairah tapi lemah. Kemudian yang meriwayatkan cuman ada satu orang namanya عَلْقَمَة. Kalau ada riwayat lain dari Umar bin Khattab, lemah. Yang meriwayatkan dari عَلْقَمَة satu orang saja namanya Muhammad bin Ibrahim. Satu orang ini saja. Kalau ada riwayat lain, kemudian yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim satu orang lagi namanya Ibnu Said. Setelah itu baru di bawah banyak yang meriwayatkan adalah hadis dan riwayat jalan-jalan yang lain, tapi jalan itu salah semua, tidak bisa dijadikan penguat. Maka hadis ini hanya sahih dari satu jalur, jalur Umar bin Khattab dan dari murid-murid tadi bawahnya ada عَلْقَمَة bawahnya ada Muhammad, setelah itu baru banyak yang meriwayatkan.

Ini menunjukkan bahwa hadis أَحَد dijadikan sebagai pijakan dalam Islam, dan banyak hadis dalam dalil dari Al-Qur’an yang menunjukkan itu. Para ulama tidak, sebagian sekelompok orang dari mereka atau sebagian mereka mengutus utusan yang mempelajari agama ketika mereka pulang. Mereka bisa ajarkan orang-orang setelah Anda atau setelah mereka dijadikan sebagai penebar kebaikan. Nah, para ulama mengatakan طَائِفَة (kelompok kecil) itu sedikit dari bilangan 1 sampai setelahnya. Itu ayat ini mengandung perintah untuk menerima beritanya orang-orang yang meskipun mereka sedikit.

Kemudian ada lagi firman Allah, “Orang beriman kalau datang kepada kalian satu orang fasik, maka kalau dia membawa sebuah berita satu orang fasik, maka perlu kalian cek dulu jangan-jangan dia membawa berita yang tidak benar.” Para ulama mengatakan, berarti secara مَفْهُوم (pemahaman) kalau yang datang bukan orang fasik tapi orang adil, orang yang baik agamanya, diterima. Ini dari مَفْهُوم مُخَالَفَة (pemahaman kebalikan) saja, tapi dari hadis banyak sekali. Termasuk di antaranya adalah ketika Nabi صلى الله عليه وسلم mengutus berbagai sahabat dalam berbagai kasus. Mu’adz bin Jabal dikirim ke Yaman mendakwahi mereka. Kalau seandainya tidak diterima, maka dakwahnya tidak jalan, harus gerombolan semuanya. Termasuk mengatakan kepada kalian, “Satu orang mengajari kalian, dia orang terpercaya banget.” Kemudian diutuslah Abu Rawa satu orang saja. Kemudian kisah dalam صحيح البخاري dan Muslim juga pada saat Rasulullah صلى الله عليه وسلم datang perintah untuk merubah kiblat. Ya bayi namanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم didatangi satu orang lagi salat subuh. Satu orang datang teriak-teriak dia bilang turun Al-Qur’an diperintahkan untuk mengarahkan kiblat berbalik mereka menuju ke daerah Syam, Baitul Maqdis. Maka mereka balik arah, satu orang mereka percaya.

Maka ini menjadi ijmak, disebutkan oleh Ibnu Abdilbar bahwa menerima kabar وَاحِد atau خَبَرُ الْأَحَدِ merupakan ijmak para sahabat. Merupakan ijmak para sahabat yang dijadikan alasan untuk berpijak. Mereka tidak beda-bedakan antara akidah, fikih, dan lain sebagainya, karena hadis مُتَوَاتِر sedikit sekali.

Maka dinukil dari Imam Syafi’i رَحِمَهُ ٱللَّهُ, beliau mengatakan, “Kaum muslimin, maksudnya para ulamanya, mereka berselisih pendapat tentang menjadikan khabar satu orang sebagai حُجَّة (argumen) atau tidak.” Ini pernyataan dari Al-Imam Syafi’i disebutkan dalam kitab Ar-Risalah. Kemudian juga disebutkan oleh Al-Ghazali رَحِمَهُ ٱللَّهُ, beliau katakan bahwa beramalnya para sahabat dengan hadis وَاحِد menjadi sebuah kesepakatan dalam berbagai kejadian yang tidak terhitung disampaikan oleh Al-Ghazali رَحِمَهُ ٱللَّهُ dalam kitab usul fikih beliau, Al-Mustashfa. Dan juga disebutkan oleh An-Nawawi رَحِمَهُ ٱللَّهُ dalam صحيح مسلم bahwa para ulama mereka tidak membedakan خَبَرُ الْأَحَدِ ini menjadi argumen. Dan ini menjadi kesepakatan para ulama أَهْلُ السُّنَّةِ.

Intinya, kita perlu tegaskan bahwa hadis أَحَد menjadi perhatian para ulama semuanya tanpa terkecuali, apakah ini dalam urusan akidah atau tidak. Kemudian ini disebutkan untuk ibadah yang مَحْضَة, tetapi bisa diartikan juga pada semua aktivitas, entah ibadah مَحْضَة atau semua aktivitas lainnya.

Pengaruh Niat dalam Amal

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ” (Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya).

Kalau kaitannya dengan ibadah مَحْضَة, maka maksud artinya adalah setiap amal ibadah akan dinilai sah kalau menggunakan niat. Kalau tidak diniatkan maka tidak sah. Dan para fuqaha mereka menjadikan niat sebagai pembeda antara ibadah atau bukan, atau ibadah pun niatnya untuk ibadah apa. Disebutkan oleh para ulama contohnya adalah mandi. Mandi ada yang kebiasaan, ada yang mandi ibadah. Kalau seandainya ingin menghilangkan junub. Siswa rajin setiap hari sebelum Subuh sudah mandi. Dia musim dingin, musim panas, semua pokoknya sebelum Subuh mandi. Bangun tidur langsung mandi, kemudian baca Quran, salat tahajud, berangkat ke masjid, habis itu sarapan. Mau berangkat ke kuliah, masih lama, masih satu jam. “Aku mau cuci-cuci dulu bekas junub.” Ternyata kerajinan dia dari tadi itu ternyata dilakukan dalam kondisi belum mandi. Tapi niat mandinya dia adalah mandi keseharian, dan ini tidak cukup untuk menghilangkan janabah.

Karena para ulama mengatakan kalau seandainya orang tidak melakukan sunah-sunahnya mandi janabah, tapi tidak ada niat. Dia sudah niat, “Aku akan mandi junub.” Sunahnya kan wudu dulu, dicuci dulu, kemudian di awalnya dari bagian kanan kepalanya dulu baru setelah itu guyur semuanya. Tapi dia tidak lakukan itu. “Pokoknya aku niat akan mandi janabah.” Kemudian nyemplung langsung ke kolam renang, airnya rata, selesai. Tapi dia sudah niat, maka itu sah. Orang yang rajin tadi mandi tapi dia tidak niat, maka amal ibadahnya tidak sah. Ini maksudnya dari pemahaman إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

Amal ibadah yang مَحْضَة itu akan sah kalau kita niatkan. Kalau tidak niat maka tidak. Dan ini juga bisa dipakai untuk aktivitas keseharian. Maksudnya bagaimana? Maksudnya orang ketika akan beraktivitas apapun pasti akan terjadi kalau pakai niat. Kalau tidak niat, bagaimana? Anda belajar ke studi jauh-jauh dari kampung, enggak niat, bagaimana? Sampai sini tiba-tiba dia takdir saja sampai sini begitu. Pasti pakai niat ya.

Maka takdir atau arti dalam hadis ini إِنَّمَا الْأَعْمَالُ (sesungguhnya setiap amal), setiap aktivitas pasti akan terjadi dengan niat. Maka yang seperti ini Ibnu Rajab Al-Hambali menyebutkan dalam pernyataan sebagian ulama, “Seandainya Allah memberikan tugas kepada kita dengan melakukan sebuah aktivitas tanpa niat, maka aktivitas itu menjadi aktivitas yang tidak dimampu, tidak akan bisa kita kerjakan. Kenapa kita disuruh untuk melakukan sebuah tindakan tanpa niat?” Anda bangun tidur mau ke kamar mandi saja niat ya kan. Bangun tidur tengah malam jam setengah dua mau kamar mandi, “Kenapa bangun?” “Pengen buang air.” Itu niat Anda. Bangun sudah niat itu. Tidak mungkin orang mengerjakan satu tindakan apapun tanpa niat. Maka sebenarnya niat itu gampang sekali.

Maka sangat tidak masuk akal ketika ada orang disuruh untuk salat, kalau dia bilang “Saya enggak bisa niatnya, enggak bisa niat.” Kalau Anda bilang “Saya enggak bisa tata caranya,” wajar. Tapi kalau enggak bisa niatnya, ini yang tidak masuk akal. Kecuali kalau dia meyakini bahwa kalau saya salah niat, maka dia baru salah, itu urusan lain. Tapi para ulama yang mengatakan seandainya dia salah mengucapkan, “Saya niat mau salat Asar,” ngomong begitu tapi dalam mulutnya dia ngomong zuhur, “Aku pengen salat Asar” itu dalam hatinya. Tapi dalam mulutnya dia sembarang saja mengatakan. Yang dinilai hatinya bukan mulutnya. Kalau seandainya begitu, kalau yang akhirnya diniatkan adalah yang dilihat adalah hatinya. Ini penting, niat ini akan membedakan.

Niat itu akan berpengaruh pada setiap aktivitas. Kalau amal atau ibadah مَحْضَة, maka akan terlihat bedanya apakah amal ibadah itu sah atau tidak. Kemudian suara bahwa niat menurut para fuqaha lebih kepada pembahasan fikih mereka membedakan dengan niat. Akan terbedakan antara sebuah ibadah dari sebuah aktivitas yang menjadi aktivitas dengan sebuah ibadah yang مَحْضَة, seperti kita sebutkan tadi, mandi antara kebiasaan dengan mandi yang berupa ibadah. Termasuk dalam ibadah itu sendiri akan bisa membedakan antara salat fardu dan salat sunah.

Salat fardu saja kalau seandainya seseorang tidak membedakan niatnya, tetapi disebutkan kalau seandainya seorang salah mengucapkan tapi yang akan dilihat adalah hatinya. Enggak ngerti juga bagaimana kok bisa. Nah, sebagian fuqaha mengatakan bahwa tidak perlu menyebutkan atau تَعْيِين (menentukan)nya salat apa yang kamu mau kerjakan, yang penting waktunya apa itu sudah menentukan. Tapi terkadang seorang ذُهُول (lupa) atau dia tidak sadar salat apa, dan itu barangkali tidak bisa kebayang sampai memang kejadian.

Anda pernah mengalami sakit, kemudian Anda lama enggak keluar rumah. Anda berapa hari yang keluar rumah. Akhirnya karena merasa agak enakan waktu itu dalam kondisi di Madinah. Madinah jarang sekali kita melihat ada hawa yang agak mendung begitu, jarang panas terus. Orang sakit mungkin keluar enggak kuat. Akhirnya dalam kondisi waktu itu agak mendung Anda bilang, “Saya segar, saya keluar. Saya pengen salat di masjid ini.” Saya salat. Hampir sampai jumpa sudah selesai empat rakaat. Karena niat itu salat Asar. Karena saya bangun tidur biasanya bangun tidur kan siang. Ternyata saya tidur dari pagi sampai Zuhur. Saya sadarnya setelah selesai salat. Saya salat, kebetulan masbuk. Saya masbuk. Saya salat di saf ketiga. Habis itu orang selesai salat, saya tambah karena saya masbuk. Selesai. Orang-orang pada salat sunah. Kata saya, “Ini orang salat sunah habis Asar ngapain?” Ternyata saya lihat, سُبْحَانَ اللَّهِ! Zuhur! Kalau begini harus mengulang karena salah niatnya. Maksud saya, niat itu akan berpengaruh pada تَعْيِين salat juga. Kalau ada orang salah niat karena hanya sekadar waktu saja misalkan, ternyata ini salah, maka salah juga salatnya, tidak sah.

Maka fuqaha mengatakan bahwa niat itu akan membedakan antara salat fardu itu dengan salat yang tidak fardu. Salat fardu saja antara salat Zuhur, salat Asar, salat Isya beda-beda, dan itu akan terpengaruh pada niat. Dan اَلْحَمْدُ لِلَّهِ, niat itu gampang karena semua adalah amalan hati. Puasa juga sama. Puasa seseorang sama-sama puasa hari Kamis. Besok nih mau puasa. Ada orang puasa pengen قَضَاء dua tahun yang lalu, sekarang sudah hijrah nih Ramadan belum bayar. Besok mau puasa Ramadan, ini menjadi wajib. Tapi ada orang pengen puasa sunah hari Kamis. Ada orang enggak kuat bayar mahar, “Jadi saya harus banyak-banyak puasa. Aku melakukan puasa Daud besok jatuhnya Hari Kamis.” Niat seperti itu beda-beda dengan puasa lainnya. Maka niat akan memisahkan atau membedakan amal ibadah yang kita kerjakan.

Tapi Ibnu Rajab menukil dari pernyataan salaf, ketika mereka berbicara niat, maka seringkali identik untuk membedakan ikhlas atau tidak. Dan ini lebih penting, sama pentingnya memang dengan yang tadi. Akan tetapi ini penting sekali karena amal bisa tertolak kalau seorang tidak ikhlas. Allah katakan, “Sebagian kalian ingin dunia, sebagian kalian menginginkan akhirat.” Dan dalam hadis ini dikatakan, “Masing-masing akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” Dan ini menjadi penekan dari jumlah pertama إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ, dan ditekankan dengan berkaitan dengan pahalanya. Kalau tadi masalah amal dan aktivitasnya, sekarang pahalanya. Orang hanya akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya, dan kemudian ini juga akan berpengaruh pada keikhlasannya.

Imam Ahmad kita ditanya tentang ikhlas, tentang niat bagaimana? Beliau katakan, “Seseorang dia berusaha untuk mengatur dirinya ketika akan melakukan sebuah aktivitas, dia tidak ingin pujian orang.” Maka ini merupakan bentuk niat yang dipandang oleh para ulama hadisnya. Dalam صحيح البخاري dikatakan, “Orang yang berjuang di jalan Allah kemudian ternyata dia hanya meniatkan malam, dia hanya ingin mendapatkan tali ikatan tali ikatan yang dipakai untuk unta itu.” Kalau zaman sekarang mereka pakai untuk pengikat sorban. Kok begitu sejarahnya? Dulu orang-orang kan para penggembala, mereka jadikan ini sebagai tali pengikatnya gembala itu. Nah, setelah itu kalau mereka lagi capek atau apa diikatkan di sini, sampai sekarang menjadi model jadi kebiasaan orang-orang Arab. “Apa ini?” kata orang Arab sendiri mereka katakan, “Dan itu merupakan hal yang tidak ada harganya karena hanya ikat untuk hewan ternak mereka.” Tapi kalau seandainya ada orang jihad yang dia inginkan cuman itu, maka kata Rasul صلى الله عليه وسلم, “Mendapatkan apa yang dia niatkan.” Itu sudah jihad, capek-capek mau mati hanya untuk mendapatkan tali. سُبْحَانَ اللَّهِ! Akan tetapi ini menunjukkan betapa terhinanya ketika seseorang menginginkan amal hanya ingin mendapatkan dunia.

Maka di sini dalam hadis dikatakan yang ikhlas betul-betul pahalanya luar biasa seperti orang yang akan mengharapkan Allah dan Rasul-Nya dapat diatur. “إِلَى دُنْيَا” (untuk dunia), kalau orang hijrah tujuannya untuk dunia dia dapat yang dia inginkan. Dia ingin kawin sama perempuan dia akan mendapatkan itu. Dan di akhir hadis disebutkan di situ dengan sesuatu yang tidak ditekankan bentuknya apa, maka dia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dia. Tidak disebutkan perempuan tadi atau dia pengen dunia jabatan atau keuntungan, tidak disebutkan hanya disebutkan, “Maka dia akan mendapatkan yang dia niatkan.” Kata Ibnu Rajab, ini berarti sebuah bentuk penghinaan ketika pahalanya juga tidak disebutkan. “Ya sudah terserah Anda itu mau ngapain niat apa itu saja.” Dan ini menunjukkan betapa hinanya ketika orang hijrah bukan untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ. Dan sering kita mendengar مُهَاجِرُ مُكَايِسَ (orang yang hijrah karena dia pengen menikahi Mukais). Akan tetapi اَلْحَمْدُ لِلَّهِ bukan penyebab kenapa Nabi صلى الله عليه وسلم menyebutkan hadis ini. Itu kejadian terjadi pada saat zaman Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Maka yang benar, kisah itu bukan menjadi sebab kenapa hadis ini disebutkan.

Jenis-Jenis Amal yang Dilakukan untuk Selain Allah

Terakhir sebagai penutup, amal atau aktivitas, bahkan ibadah yang dilakukan untuk selain Allah, disebutkan oleh Syekh Muhammad [jika ada nama lengkap, lebih baik]. Ini memiliki tiga bentuk:

  1. Bentuk pertama: Orang yang memang dari awal ketika beramal sama sekali tidak ada niatan untuk Allah dan Rasul-Nya. Ini seperti siapa? Namun, dari awal orang munafik memang tujuannya adalah untuk selain Allah, ingin dipuji orang. “إِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ” (Apabila mereka salat, mereka malas-malasan, mereka malas-malasan dan mereka pingin agar orang-orang melihat salat mereka).” “Oh, ini orang beriman.” Padahal mereka munafik. Maka ini dari awal amalnya akan ditolak oleh Allah. Ini juga sama dengan firman Allah yang berbicara tentang orang kafir, “Mereka berperang untuk kesombongan. Jangan kamu seperti orang-orang kafir itu yang mereka keluar berperang tujuan untuk menolak kebenaran dan ingin dipuji oleh orang-orang.” Ini dikisahkan dalam Ibnu Katsir berkaitan dengan pasukan orang Quraisy. Pasukan orang Quraisy yang ingin berhadapan dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم tujuan utamanya untuk menyelamatkan perdagangannya. Ternyata disampaikan ke Abu Jahal bahwa perdagangan kita sudah selamat semua, “Ayo pulang saja!” “Enggak!” kata dia, “Kita akan tunjukkan ke dunia Arab kita akan hadap-hadapan dengan Muhammad, kita akan minum khamar di Badar, kita akan berpesta di situ sampai orang semua tahu dan kita akan pukul-pukul rebana dan segala macam pesta.” Ternyata Allah jungkirbalikkan mereka sampai menjadi orang terhina sehina-hinanya. Nah, ini bentuk orang yang sama sekali tidak ikhlas, sama sekali tidak ikhlas dan didasarnya. Dan ini hukumannya adalah sama sekali tidak diterima oleh Allah.
  2. Bentuk kedua: Amalnya ikhlas tapi kecampuran riya. Amalnya ikhlas tapi kecampuran riya. Kalau seandainya orang itu melakukan amalan ikhlas karena Allah, kemudian riya ini dari dasar dan pokok amalnya bahkan dari awal dia memang campur, “Saya pengen amal ini kupersembahkan kepada Allah, tapi juga dia santai saja dipuji orang. Dia memang juga pengen dapatkan itu.” Bahaya! Ini bisa masuk dalam kategori pertama. Allah berfirman, “Aku paling tidak butuh kepada sekutu dalam amal. مَنْ عَمِلَ عَمَلاً وَأَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ” (Barangsiapa yang beramal dan dia menyekutukan-Ku dalam tujuan amal itu, Aku akan tinggalkan dia dengan kesyirikannya).” Akan tetapi, kalau seandainya amal itu berkaitan dengan ibadah yang terpisah-pisah. Dia sedekah hari ini, besok sedekah lagi, besok sedekah lagi. Hari pertama, hari ketiga, ketika diumumkan, “Sedekah Bapak Fulan, hamba Allah yang tidak diketahui, Rp100.000.” Habis itu tambah lagi, “مَا شَاءَ اللَّهُ! Fulan Rp5 juta.” Akhirnya dia terhimpit penyakit riya. Hari pertama aman, hari kedua aman, hari yang ketiga ada riyanya, maka amal itu kandas tapi tidak sampai efek kepada amal yang kemarin. Tapi kalau amal itu satu dengan yang lain berkaitan, maka bisa jadi amalan yang di belakang bisa merusak yang pertama. Bisa merusak yang pertama. Kemudian kondisinya juga berbeda antara orang yang berusaha untuk menghilangkan pikiran riya. “Ngapain riya? Saya rugi kalau saya riya.” Tapi dia berusaha untuk memerangi itu tapi masih diganggu terus. Dan ini menunjukkan bahwa mengikhlaskan niat itu tidak gampang dan seringkali orang tidak memperhatikan itu. Bahkan “Enggak apa-apa kalau ada orang puji-puji aja itu.” “Kayaknya seolah-olah ya kalau mau nyontoh salat saya silakan.” Dia cari pembenaran, cari apa namanya jalan keluar untuk dirinya sendiri. Nah, ini seperti ini ternyata para ulama memperhatikan sekali. Seorang ahli hadis mengatakan, “رَبَّنَا أُحَدِّثُ نَفْسِي بِحَدِيثٍ وَأَنَا أُحَاوِلُ أَنْ أُحْفِظَ الْإِخْلَاصَ فِيهِ، فَإِذَا سَأَلْتُ بَعْدَهَا تَغَيَّرَتْ نِيَّتِي” (Terkadang saya menyampaikan suatu hadis, dan saya berusaha untuk menjaga keikhlasan niat saya. Tapi ternyata ketika saya sampai di sebagiannya, niat saya mulai berubah).” Ternyata satu hadis saja membutuhkan agar niat ini bisa selalu diperbaharui dan dijaga. Baik, orang yang berusaha untuk memperbaiki seperti ini maka dia aman إِنْ شَاءَ اللَّهُ. Tapi orang yang membiarkan saja, “Sudah enggak apa-apa kayak tadi itu,” maka orang seperti itu juga bisa bahaya. Akan tetapi para ulama mengatakan amalnya tidak sampai tertolak 100% karena dia tetap beriman kepada Allah dan dia dari awal juga sudah ikhlas karena Allah. Kemudian juga dia tidak merusak amal secara total, artinya riya ini hanya mengganggu saja tapi tetap berbahaya. Akan tetapi tidak sampai seperti orang yang dari awal dia memang membiarkan ketika riyanya mengganggu dia.
  3. Bentuk ketiga: Orang yang berusaha untuk menjaga amalnya kemudian selesai. Ternyata setelah dia selesai ada orang memuji, ada orang suka dengan pekerjaan dia. “مَا شَاءَ اللَّهُ, مُمْتَازٌ (sangat baik), nilai A+.” “Wah, biar niat nilai saya C saja enggak apa-apa.” Ini karena sudah disampaikan di banyak orang bahwa tidak ada kaitannya ikhlas dengan nilai. Bisa jadi seorang yang ikhlas kemudian dapat nilai yang bagus, Allah kasih dia manfaat lebih besar dari orang-orang pemalas. Bahkan bisa jadi orang yang rajin-rajin ini bisa melanjutkan ke pendidikan pascasarjana, kemudian Allah kasih dia manfaat lebih besar dari orang-orang yang malas tadi yang pengen ikhlas tadi itu sebagian orang malah bukan hanya pengen ikhlas dia alasannya, “Oh, saya kena عَيْن (penyakit mata).” “Saya enggak bisa dapat nilai A karena عَيْن katanya kena عَيْن.” Jadi ada orang dia sudah selesai dari amalnya, sudah selesai dari pekerjaannya, kemudian ada orang puji lalu dia suka dengan pujian orang itu. Selama pujian itu tidak membuat dia lupa, maka tidak mengapa. Bahkan ini termasuk dalam hadis صحيح مسلم disebutkan dari Abizar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: “Ya Rasulullah, wahai Rasulullah, ada orang مِنَ الْخَيْرِ (dari kebaikan), dia beramal dengan sebuah kebaikan. Sudah selesai dari pekerjaannya, ternyata ada orang yang memuji dia.” Bahkan sebagian riwayat menggunakan, “Orang-orang yang menyukai dia dari amalnya itu.” Maka jawaban Nabi صلى الله عليه وسلم, “تِلْكَ عَاجِلَةُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ” (Itu merupakan kabar gembira dari Allah untuk seorang mukmin yang disegerakan).” Dengan catatan dia tidak sampai merusak niat dan keikhlasannya, karena para ulama mengatakan bahwa keikhlasan itu dilakukan sebelum beramal, ketika beramal, dan setelah beramal. Jangan sampai ketika orang sudah selesai beramal lalu dia bangga-banggakan kemudian merontokkan amal yang sudah dia kerjakan.

Semoga Allah عَزَّ وَجَلَّ membimbing kita semua untuk melakukan amal saleh dalam keadaan ikhlas, karena tidak ada hal yang paling istimewa di sisi Allah kecuali amal yang betul-betul ikhlas dipersembahkan kepada-Nya. Dan semoga Allah membimbing kita semua bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.

Barangkali ini yang dapat kita sampaikan, semoga bermanfaat, dan kurang lebihnya mohon maaf.