Dr. Abdullah Roy, M.A, Kajian Kitab, KKitab Khudz 'Aqidatak Min Al-Kitab Wa As-Sunnah As-Shahihah

Dauroh Kitab Khudz ‘Aqidatak Min Al-Kitab Wa As-Sunnah As-Shahihah – 02

7 views

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.

إِذْنٌ مِنَ اللَّهِ وَإِيَّاكُمْ.

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang mana kita masih diberikan nikmat kesehatan, nikmat iman, dan juga nikmat Islam, sehingga kita dapat berkumpul di salah satu rumah Allah, yakni Masjid Abu Bakar As-Siddiq dalam rangka menuntut ilmu syar’i. Semoga dengan sebab ini, Allah mudahkan kita masuk ke dalam surga-Nya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, sebagaimana sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ.
“Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Setelah selawat serta salam, tak lupa kita sanjungkan kepada Nabi Allah Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, telah hadir di tengah-tengah kita guru kita فَضِيلَةُ الْأُسْتَاذِ الدُّكْتُورِ عَبْدُ اللَّهِ رُوِّيْ حَفِظَهُ اللَّهُ تَعَالَى. Yang insya Allah pada malam hari ini di sesi yang pertama akan membahas kitab خُذْ عَقِيدَتَكَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ.

Sebelum kajian dimulai, kami menghimbau jemaah sekalian yang membawa anaknya, diharapkan agar bisa didampingi untuk memudahkan jalannya kajian kita pada malam hari ini. Dan kami menghimbau kepada ummahat, pada saat kajian langsung diharapkan antunna membuka cadarnya agar bisa saling mengenal satu sama yang lain, agar tidak ada di tengah-tengah antunna akhwat yang berjenggot.

Sebelum kita mulai, kepada teman-teman sekalian diharapkan bisa merapat ke depan, yang di depan pintu untuk bisa maju ke depan agar merapat, agar teman-teman yang baru datang bisa mengisi saf-saf yang lebih dahulu. Kami himbau sekali lagi kepada teman-teman yang masih ada di belakang diharapkan bisa maju ke depan agar teman-teman yang baru datang bisa mengisi tempat yang masih kosong.

Bab untuk mempersingkat waktu, kepada ustazuna Abdullah Ruwwi حَفِظَهُ اللَّهُ تَعَالَى.

(Ma’af ikhwah, teman-teman yang mau salat sunnah dulu bisa salat sunnah, setelah salat sunnah baru kita melanjutkan kajian).

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah, segala puji hanyalah untuk Allahu Rabbal ‘Alamin. Selawat dan salam semoga senantiasa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى limpahkan kepada orang yang telah diutus sebagai nabi dan rasul yang terakhir, nabi kita Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.

Para ikhwah dan juga para akhwat رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللَّهُ. Insya Allah Pada kesempatan kali ini kita akan mempelajari bersama salah satu di antara kitab yang ditulis oleh seorang ulama di antara ulama-ulama Ahlusunah. Kitab yang berjudul خُذْ عَقِيدَتَكَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ (Ambillah Akidahmu dari Al-Qur’an dan juga Sunnah yang Sahihah). Ditulis oleh فَضِيلَةُ الشَّيْخِ مُحَمَّدُ بْنُ جَمِيلٍ زَيْنُو رَحِمَهُ اللَّهُ, yang meninggal dunia pada tahun 2010 di Kota Makkah dan telah meninggalkan banyak karangan di antaranya adalah kitab yang ada di hadapan kita. Kemudian juga kitab الْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ (Al-Firqatu an-Najiyah) dan kitab-kitab yang lain yang telah banyak diterjemahkan dan banyak kaum muslimin yang telah mengambil faedah dari kitab-kitab beliau.

Insya Allah dalam empat sesi kita akan mencoba untuk membaca dari awal sampai akhir. Dan tentunya kita berharap kepada para ikhwah dan juga para akhwat untuk bisa mengikuti kajian ini dari sesi yang pertama sampai sesi yang keempat. Dan masing-masing diharapkan membawa kitab kalau bisa dicetak, ini lebih utama, karena Antum bisa menulis memberikan catatan atau minimal Antum menyimak dari PDF. Minimal Antum menyimak dari PDF. Dan kitab ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dan untuk nuskah (naskah) yang berbahasa Arab yang ada di hadapan saya, baik, akan tetapi masih ada di sana beberapa kesalahan yang perlu kita ingatkan di sela-sela pembacaan kitab ini. بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ.

Kita mulai dengan membaca mukadimah beliau mengatakan رَحِمَهُ اللَّهُ:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

Beliau membuka kitabnya dengan menyebutkan sebagian lafaz yang ada di dalam Khutbatul Hajah. Mendahului Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam membacanya, yang di dalamnya ada pujian kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, memohon pertolongan kepada Allah, memohon ampun, berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa dan kejelekan amalan. Dan disebutkan bahwasanya barang siapa yang Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berikan Hidayah, tidak ada yang bisa menyesatkan, dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang bisa memberikan Hidayah. Kemudian bersyahadat dengan dua kalimat Syahadah.

Dan setelahnya Beliau mengatakan:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ هَذِهِ أَسْئِلَةٌ هَامَّةٌ فِي الْعَقِيدَةِ.

“Adapun setelah itu,” kata beliau, “maka Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang penting di dalam masalah akidah.” Dan akidah adalah perkara yang paling penting di dalam agama ini. Barang siapa yang memiliki akidah yang benar, keyakinan yang sahih, maka ini akan berpengaruh kepada ibadah dan juga akhlaknya. Ibadah dia kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan akhlak dia kepada manusia.

أُجِيبُ عَلَيْهَا بِذِكْرِ دَلِيلِهَا مِنَ الْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ.

“Aku menjawab pertanyaan tersebut,” atau أُجِيبَ عَلَيْهَا (dijawab pertanyaan tersebut) “dengan menyebutkan dalil dari Al-Qur’an dan hadis.” Karena memang ini adalah sumber kita dalam berakidah, meyakini sesuatu yang gaib tentang Allah, tentang hari akhir, tentang malaikat, tentang para rasul. Tidak ada jalan bagi kita untuk mengetahui keyakinan yang sahih di dalam perkara-perkara tersebut, kecuali ketika kita kembali kepada Al-Qur’an dan juga hadis, supaya orang yang membaca tenang dengan kesahihan jawabannya. Jika ada pertanyaan, kemudian disebutkan jawabannya, dan disebutkan juga dalilnya, maka kita sebagai seorang Muslim dan juga Muslimah merasa tenang dengan jawaban tersebut, karena dia berdasarkan dalil, bukan khurafat, bukan sesuatu yang hanya sekadar khayalan.

لِأَنَّ عَقِيدَةَ التَّوْحِيدِ أَسَاسُ سَعَادَةِ الْإِنْسَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.
“Karena akidah tauhid ini adalah pondasi kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat.” Barang siapa yang ingin kebahagiaan yang sejati di dunia dan juga di akhirat, maka tidak ada jalan lain selain dia memulai dengan mempelajari akidah. Dan sebaliknya, orang yang tidak mempelajari akidah yang sahih, maka ini bisa menjadi sebab sengsaranya dia di dunia dan juga di akhirat.

Sehingga dahulu para nabi dan juga para rasul, dengan apa mereka memulai dakwahnya? Semuanya memulai dakwahnya dengan memperbaiki akidah, memperbaiki tauhid manusia. Karena mereka tahu bahwasanya ketika dakwah dimulai dengan akidah, dakwah dimulai dengan tauhid, yang akan mereka petik adalah berbagai kebaikan. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam berapa tahun beliau mendakwahi manusia kepada tauhid? Semenjak beliau diutus dan sampai ketika diwajibkan atas beliau salat lima waktu, yang beliau dakwahkan adalah tauhid.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ تُفْلِحُوا.
“Wahai manusia, ucapkanlah La ilaha illallah, niscaya kalian akan beruntung.”

Tidak ada di sana syariat salat atau puasa atau haji yang beliau dakwahkan saat itu selama 10 tahun yang pertama adalah tentang masalah tauhid, sampai akhirnya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mewajibkan atas beliau dan juga umat ini salat 5 waktu pada tahun ke-10 kenabian.

وَاللَّهَ أَسْأَلُ أَنْ يَنْفَعَ بِهِ الْمُسْلِمِينَ آمِينَ وَأَنْ يَجْعَلَهُ خَالِصًا لِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ.

“Dan aku memohon kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memberikan manfaat dengan kitab ini kaum muslimin, amin. Dan aku memohon kepada Allah semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menjadikan apa yang beliau tulis di sini ikhlas karena Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.”

Kemudian Beliau mengatakan, “Muhammad Ibnu Jamil Zainu.”

Setelah itu beliau masuk pada pembahasan yang pertama, حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ (Hak Allah atas para hamba). Apa yang menjadi hak Allah yang harus kita penuhi? Kita tahu bahwasanya di dunia kita hidup bersama orang lain, bersama istri kita, bersama suami kita, dan mereka punya hak atas kita. Hak seorang istri diberikan nafkah, hak seorang suami adalah untuk ditaati, hak seorang anak adalah dididik. Maka masing-masing memiliki hak, dan kita berusaha untuk menunaikan hak tersebut.

Dan di sana ada hak yang paling besar yang harus menjadi perhatian kita semuanya sebagai makhluk, yaitu hak yang berkaitan dengan hak Allah. Kalau kita semangat untuk menunaikan hak pimpinan, menunaikan hak suami, menunaikan hak istri, menunaikan hak anak, kita berikan mereka nafkah, kita perhatikan mereka, maka seharusnya perhatian kita kepada hak Allah عَزَّ وَعَلَى lebih besar daripada itu semuanya.

لِمَاذَا خَلَقَنَا اللَّهُ؟
“Mengapa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menciptakan kita?” Pertanyaan yang sangat penting yang masing-masing dari kita harus mengetahui jawabannya, supaya hidup kita ini terarah, supaya kita mengetahui akan ke mana kita menuju, untuk apa kita diciptakan, dan apa yang harus kita lakukan di dunia ini.

Beliau mengatakan, “Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menciptakan kita لِنَعْبُدَهُ (supaya kita menyembah Dia).” Ini jawabannya. Kita ini ada, diciptakan oleh Allah sedemikian rupa, yang sebelumnya kita tidak (disebutkan), di dunia ini, kemudian menjadi ada seperti ini. Tujuannya adalah لِنَعْبُدَهُ supaya kita menyembah Allah وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا. (dan supaya kita tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun).

Menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Sesuatu apapun di sini umum. Baik itu adalah seorang manusia (menyekutukan Allah dengan manusia), menjadikan seorang manusia sebagai sesembahan selain Allah, atau jin, menjadikan jin sebagai sesembahan selain Allah, masuk di dalamnya makhluk-makhluk yang mati, matahari, bulan, bintang.

وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا. Dan supaya kita tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Ingat, ini adalah tujuan utama keberadaan kita di dunia ini, dari semenjak kita lahir sampai kita meninggal dunia. Apa yang ada di sekitar kita? Allah سُبْحÂNahu wa ta’ālā berikan kita rezeki, diberikan kita umur, diberikan kita anak, dan seterusnya, tidak lain tujuannya adalah supaya menopang tugas utama ini. Tujuannya adalah untuk mendukung bagaimana supaya ibadah kita kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ini lancar. Maka jangan sampai justru perkara-perkara yang mendukung tadi (harta, pekerjaan) justru malah menjadi tujuan utama, kemudian kita lupakan tujuan utama yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى فِي سُورَةِ الذَّارِيَاتِ: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ.
“Dalilnya adalah firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di dalam Surah Az-Zariyat: ‘Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Aku.'” (QS. Az-Zariyat: 56). Ayat yang jelas.

وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا.
“Dan juga sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM: ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.'” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Hadis ini مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ (diriwayatkan oleh Bukhari dan juga Muslim). Berarti benar apa yang beliau sebutkan bahwa hak Allah yang harus kita penuhi adalah kita menyembah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

Ini poin yang pertama.

Kemudian poin yang selanjutnya, مَا هِيَ الْعِبَادَةُ؟ (Apa yang dimaksud dengan ibadah?)

Kalau kita tahu bahwasanya kita diciptakan oleh Allah untuk beribadah, tentunya orang yang menyadari yang demikian dan dia ingin melaksanakan tujuan tersebut, dia akan bertanya apa yang dimaksud dengan ibadah? Karena sebelum dia mengamalkan, dia harus tahu dulu. Dia sadar bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyuruh dia untuk beribadah kepada Allah.

Baik, ingin melaksanakan. Sebelum dia melaksanakan, maka dia harus tahu dulu apa yang dimaksud dengan ibadah.

الْعِبَادَةُ اسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللَّهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ.
“Ibadah adalah setiap nama yang menyeluruh.” Ini adalah nama yang meliputi, nama yang meliputi setiap apa yang dicintai oleh Allah, baik ucapan maupun perbuatan. Jadi, kalau sesuatu, sebuah ucapan misalnya, dicintai oleh Allah, berarti ucapan tersebut adalah termasuk ibadah. Berarti kita beribadah kepada Allah dengan ucapan tadi. Misalnya, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mencintai tilawatul Quran. Oh, berarti ini adalah ibadah. Kita lakukan tilawatul Quran dalam rangka untuk beribadah kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى karena ini berupa ucapan. Demikian pula Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى cintai doa. Kalau Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mencintai doa, berarti kita menjadikan doa ini sebagai bagian dari ibadah. Kita beribadah kepada Allah عَزَّ وَعَلَى dengan cara berdoa.

اسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللَّهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ. Demikian pula terkadang berkaitan dengan perbuatan, bukan hanya dengan lisan saja, tetapi juga ada kaitannya dengan perbuatan. Ada ibadah yang berupa amalan yang dilakukan oleh anggota badan. Contohnya apa? Salat, apalagi jihad, apalagi haji. Ini adalah amalan yang dilakukan dengan anggota badan. Kalau itu kita ketahui bahwa itu dicintai oleh Allah, maka itu adalah bagian dari ibadah. Silakan kita lakukan ibadah tersebut.

مِثْلُ الدُّعَاءِ وَالصَّلَاةِ وَالذَّبْحِ وَالنَّذْرِ وَغَيْرِهَا.
“Seperti misalnya doa, salat, menyembelih, dan nazar, dan lain-lain.”

وَدَلِيلُهَا قَوْلُهُ تَعَالَى: قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ.
“Dalilnya adalah firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: ‘Katakanlah, sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidup, dan juga matiku adalah untuk Allahu Rabbul ‘Alamin, tidak ada sekutu bagi-Nya.'” (QS. Al-An’am: 162).

Di sini beliau رَحِمَهُ اللَّهُ menjelaskan bahwa di antara bentuk ibadah yang dicintai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى adalah salat dan juga menyembelih. Bagaimana kita mengatakan bahwa itu termasuk ibadah? Karena di sini disebutkan bahwa semuanya itu dilakukan لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ hanya untuk Allahu Rabbal ‘Alamin. لَا شَرِيكَ لَهُ tidak ada sekutu bagi-Nya. Ini menunjukkan bahwasanya salat merupakan bagian dari ibadah dan menyembelih adalah bagian dari ibadah, karena Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sebutkan لِلَّهِ hanya untuk Allah saja, لَا شَرِيكَ لَهُ tidak ada sekutu bagi-Nya.

Kemudian beliau menyebutkan dari hadis, مَعْنَى نُسُكِي الذَّبْحُ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ. Beliau terangkan bahwasanya makna نُسُكِي di sini adalah penyembelihan terhadap hewan. نُسُكٌ di sini maksudnya adalah menyembelih.

Kemudian beliau mendatangkan dalil dari hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ: وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ.
“Dan tidaklah,” kata Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, “hambaku mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa yang sudah aku wajibkan atasnya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Tidaklah hambaku mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa yang sudah aku wajibkan atasnya. Allah mengatakan “yang lebih aku cintai”, menunjukkan bahwasanya ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, dan bahwasanya ada di antara ibadah tersebut yang diwajibkan dan ada di antaranya yang disunahkan. Dan yang diwajibkan oleh Allah lebih dicintai oleh Allah daripada yang disunahkan, sehingga seorang hamba memiliki perhatian yang besar terhadap kewajiban-kewajiban yang ada di dalam agama ini, seperti salat lima waktu, kemudian puasa di bulan Ramadan, zakat bagi orang yang kaya, kemudian melakukan ibadah haji bagi orang yang mampu menuju ke Baitullah. Maka hadis ini, dan dia adalah Hadis Qudsi, yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, menunjukkan bahwasanya ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Sehingga para ulama menyebutkan tentang contoh-contoh ibadah seperti misalnya rasa takut, kemudian cinta kepada Allah, bertawakal kepada Allah. Dari mana mereka memasukkan itu di dalam ibadah? Karena mereka melihat dalil dan dari dalil tersebut mereka memahami bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mencintai perkara tersebut, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa itu adalah bagian dari ibadah. Dan kalau itu adalah bagian dari ibadah, harus diserahkan hanya kepada Allah, tidak boleh diserahkan kepada selain Allah. Dan barang siapa yang menyerahkan itu kepada selain Allah, dia telah melakukan kesyirikan yang besar, yang bisa mengeluarkan seseorang dari agama Islam.

Itu adalah pengertian dari ibadah. Penting bagi seorang muslim untuk memahami makna ibadah. Kenapa demikian? Supaya dia tidak salah menempatkan. Kalau dia paham makna ibadah, dan dia tahu ini adalah bagian dari ibadah, berarti ini tidak boleh diserahkan kepada selain Allah. Tapi kalau orang tidak tahu, tidak bisa membedakan mana yang ibadah mana yang bukan, dikhawatirkan sesuatu yang ibadah justru malah dia serahkan kepada selain Allah, sehingga akhirnya dia pun terjerumus ke dalam kesyirikan. Seperti anggapan sebagian bahwasanya berdoa itu adalah termasuk adat, berdoa itu adalah termasuk adat. Ketika dia memahami doa adalah termasuk adat, maka dengan enaknya, dengan mudahnya dia serahkan doa tersebut kepada wali, dia serahkan doa tersebut kepada selain Allah. Dari mana itu terjadi? Karena dia salah paham tentang pengertian ibadah. Berarti ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai oleh Allah, baik ucapan maupun perbuatan.

Yang ketiga, كَيْفَ نَعْبُدُ اللَّهَ؟ (Bagaimana kita menyembah Allah?)

Setelah kita tahu bahwasanya ibadah adalah demikian dan demikian, segala sesuatu yang dicintai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, kita paham bahwasanya salat dicintai oleh Allah, kita paham bahwasanya berpuasa dicintai oleh Allah, taharah dicintai oleh Allah, terketuklah hati kita untuk melakukan ibadah tersebut. Maka datang pertanyaan yang selanjutnya, bagaimana saya melakukan ibadah tadi? Apakah saya mengarang-ngarang sendiri ibadah tersebut? Mengarang-ngarang bacaannya, gerakannya? Berpuasa misalnya dari waktu Zuhur sampai Asar? Atau dia membaca Al-Fatihah ketika dia rukuk? Atau di sana ada tata cara yang sudah Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى patenkan, yang harus kita tempuh tata cara tersebut, dan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak menerima kecuali tata cara tersebut?

Maka jawabannya, كَمَا أَمَرَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ. “Kita beribadah kepada Allah sesuai dengan perintah Allah dan juga Rasul-Nya.” Jadi bukan mengarang-ngarang sendiri. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak menjadikan tata cara ibadah pada akal kita masing-masing, tapi Allah utus seorang rasul. Allah wahyukan kepada beliau bagaimana tata cara beribadah kepada Allah yang diridai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Allah ajarkan kepada nabi kita Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ bagaimana cara bertaharah, kemudian beliau sampaikan kepada umat ini tata cara bertaharah yang dicintai dan diridai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Allah sampaikan kepada beliau bagaimana tata cara salat, kemudian nabi pun صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengajarkan kepada mereka apa bacaannya, bagaimana caranya, bahkan beliau praktikkan sendiri dilihat oleh para sahabat. Kemudian beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan, “صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.” Hendaklah kalian salat sebagaimana kalian melihat aku salat. Berarti sebagaimana ucapan beliau mualif di sini, كَمَا أَمَرَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ, kita beribadah sebagaimana perintah Allah dan juga Rasul-Nya.

Apa dalilnya? قَوْلُهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ.
“Firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: ‘Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah,’ (beribadah sesuai dengan apa yang Allah inginkan), ‘وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ‘ (dan taatlah kalian kepada rasul). Kalau beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengajarkan sebuah ibadah, maka itu yang kita lakukan, karena tidaklah beliau mengajarkan kepada kita sebuah ibadah kecuali itu adalah wahyu dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. ‘وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ‘ (dan janganlah kalian membatalkan amalan-amalan kalian).” (QS. Muhammad: 33).

Dan di antara sebab ditolaknya amal, batalnya amal, adalah karena kita beribadah dengan ibadah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM.

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa yang mengamalkan sebuah amalan, tidak ada petunjuknya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah).

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. أَيْ: غَيْرُ مَقْبُولٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Barang siapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak ada petunjuknya dari kami, tidak diajarkan oleh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM, maka amalan tersebut tertolak.” Maknanya apa? أَيْ: غَيْرُ مَقْبُولٍ. Maknanya adalah tidak diterima oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Karena Allah hanya menerima sebuah ibadah yang dilakukan dengan tata cara yang sudah Allah turunkan lewat siapa? Lewat Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Kalau sampai ada seseorang mengaku dia sebagai seorang muslim, kemudian dia beribadah kepada Allah dengan tata cara sendiri, maka Allah tidak menerima yang demikian. Dan hadis ini sahih diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Subhanallah. Kita sering menyebutkan hadis ini, dan ternyata bisa jadi sebuah hadis didengarkan oleh salah seorang di antara saudara kita, kemudian membekas di dalam hatinya dan menjadi sebab dia mendapatkan hidayah. Kemarin baru saja kita ketemu dengan seorang di Samarinda. Dia cerita bahwasanya awal dia mendapatkan hidayah adalah karena membaca hadis ini. Dia baca dan dia renungi, “Barang siapa yang mengamalkan sebuah amalan, tidak ada petunjuknya dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM, maka amalan tersebut tertolak.” Maka dia pun melihat pada dirinya sendiri, banyak amalan-amalan yang dia lakukan tidak diajarkan oleh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Akhirnya dia pun menyadari bahwasanya ada kekeliruan di dalam ibadah dia. Dia sampaikan kepada istrinya, “Sepertinya kita ini ada yang salah dalam beragama.” Padahal kalau dilihat dari lingkungannya, lingkungan dia bukan lingkungan orang yang mengikuti sunah. Tapi kalau Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menghendaki Hidayah kepada seseorang, tidak ada yang bisa menolaknya. Hanya karena satu Hadis yang dia baca, membekas di dalam hatinya. Dia sampaikan kepada istrinya. Istrinya menerima. “Iya ya.” Kemudian istrinya berusaha untuk menyampaikan kepada anak-anaknya, dan mereka menerima, yang sudah menikah, yang belum menikah. Akhirnya keluarga ini menjadi keluarga yang sama-sama mengikuti sunah. Ya, mereka menghadiri kajian, semangat untuk menuntut ilmu. Sebabnya adalah karena membaca sebuah hadis.

Kemudian beliau menjelaskan setelahnya, هَلْ نَعْبُدُ اللَّهَ خَوْفًا وَطَمَعًا؟ (Apakah kita menyembah Allah dengan rasa takut dan juga rasa tamak/mengharap?)

وَطَمَعًا. (mengharap rahmat-Nya).

جَمْعٌ. (bersama)

Jam berapa azannya? Jam berapa azannya?

Apakah kita menyembah Allah dengan disertai perasaan takut terhadap azab Allah? Itu seseorang beribadah dalam keadaan dia takut apabila dia tidak beribadah, maka dia akan diazab oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Dan beribadah dalam keadaan طَمَعًا (ya), mengharap rahmat Allah, mengharap surga-Nya, dan juga ganjaran-Nya. Apakah ibadah yang seperti ini dibenarkan di dalam agama kita?

Beliau mengatakan:

نَعَمْ نَعْبُدُهُ كَذَلِكَ.
“Iya, kita menyembah Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى seperti itu.” Yaitu kita menyembah Allah dalam keadaan kita dipenuhi oleh rasa takut dan rasa harap. Dua-duanya ada di dalam diri kita. Beribadah (dalam keadaan) takut diazab oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Beribadah karena mengharap surga Allah, mengharapkan rahmat dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Dan ini bukan sebuah kesyirikan sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang. Karena sebagian menganggap kalau kita beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk masuk surga, syirik. Dianggap itu tidak ikhlas. Orang yang beribadah kepada Allah karena takut neraka, dianggap itu adalah sebuah kesyirikan, tidak ikhlas di dalam beribadah kepada Allah. Menurut dia, ikhlas di dalam beribadah adalah ketika dia beribadah tidak mengharap surga dan dalam keadaan tidak takut dengan neraka.

Mungkin beberapa bulan yang lalu sempat tersebar ya, sebuah video orang yang menyampaikan bahwasanya dia dan juga aliran dia beribadah kepada Allah tanpa mengharap surga dan dalam keadaan tanpa takut terhadap neraka. Ini kesalahpahaman di dalam masalah ibadah dan keikhlasan di dalam ibadah. Ikhlas dalam ibadah pengertiannya adalah ketika seseorang beribadah tujuannya adalah untuk mengharap pahala dari Allah, itu namanya ikhlas. Kalau dia beribadah kepada Allah dengan maksud ingin masuk ke dalam surga dan selamat dari neraka, maka itulah yang dinamakan dengan ikhlas. Tapi kalau dia beribadah tujuannya bukan mengharap pahala dari Allah karena ingin dipuji oleh manusia, atau karena ingin dunia yang ingin dia dapatkan, maka berarti dia tidak ikhlas di dalam beribadah kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Apa dalilnya? قَوْلُهُ تَعَالَى: Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman mensifati orang-orang yang beriman di dalam Al-Qur’an dalam Surah As-Sajdah:

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
“Mereka menyembah kepada Allah Rabb mereka dalam keadaan خَوْفًا وَطَمَعًا (dalam keadaan mereka takut dan mengharap).” (QS. As-Sajdah: 16).

Ini Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sedang memuji, memuji orang-orang yang beriman. Ternyata di dalam ibadah mereka, mereka menggabungkan antara rasa takut dengan rasa harap. Lalu bagaimana setelah itu ada seseorang yang mengatakan tidak boleh kita beribadah kepada Allah dengan rasa takut dan juga rasa harap. Kemudian ketika Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyebutkan tentang para nabi, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyebutkan tentang sifat mereka dalam beribadah:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ.
“Dan para nabi, mereka yaitu para nabi berdoa

رَغَبًا وَرَهَبًا (beribadah kepada kami dengan rasa takut dan juga rasa harap).” (QS. Al-Anbiya: 90).

Dan para nabi mereka adalah orang yang paling bertakwa, orang yang paling beriman, orang yang yang paling dicintai oleh Allah, ternyata ketika mereka beribadah kepada Allah, mereka menggabungkan antara dua sifat ini.

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ.
“Dan Beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan di dalam sebuah hadis yang sahih yang diriwayatkan oleh Abu Daud: ‘Aku meminta kepada Allah surga dan aku berlindung dari neraka.'”

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM yang kita semuanya sepakat, beliau adalah orang yang paling ikhlas, orang yang paling bertauhid, meminta di dalam doanya: أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ. “Aku meminta kepada Allah surga dan Aku berlindung kepada Allah dari neraka.” Menunjukkan bahwasanya pengertian ikhlas di dalam agama kita adalah ketika seseorang beribadah mengharap dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى pahala, ingin masuk surga, ingin selamat dari neraka, itulah yang dimaksud dengan keikhlasan.

Kemudian setelahnya Beliau mengatakan, مَا هُوَ الْإِحْسَانُ فِي الْعِبَادَةِ؟ (Apa yang dimaksud dengan Ihsan di dalam ibadah?) Masih berkaitan dengan ibadah.

Kita dituntut di dalam ibadah untuk maksimal dan itu adalah derajat yang paling tinggi di dalam agama ini yang dinamakan dengan Ihsan. Dari kata أَحْسَنَ يُحْسِنُ إِحْسَانًا, yang artinya adalah memperbaiki atau menyempurnakan. Kita di dalam beribadah kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى diminta, dituntut untuk bisa menyempurnakan ibadah tersebut sesempurna mungkin, baik yang berkaitan dengan apa yang ada di dalam hati kita berupa keikhlasan, maupun apa yang ada di dalam zahir kita berupa kesesuaian ibadah kita dengan sunah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ. Batinnya kita sempurnakan, zahirnya juga kita sempurnakan.

الْإِحْسَانُ هُوَ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْعِبَادَةِ.
“Ihsan itu adalah seseorang merasa diawasi oleh Allah di dalam ibadah.” Kalau seseorang di dalam ibadahnya merasa diawasi, merasa dia dilihat oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, dan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang melihat zahir dan juga batin seseorang. Ketika dia merasa diawasi, maka dia akan berusaha untuk menyempurnakan. Dia sempurnakan keikhlasan yang ada di dalam hatinya, karena dia sadar Allah melihat apa yang ada di dalam batin seseorang. Niatnya apa? Ingin surga, ingin selamat dari neraka, atau tujuannya adalah dunia dan juga pujian manusia?

Ketika dia sadar Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengawasi dia dan melihat batinnya, maka dia akan berusaha melawan bisikan-bisikan yang mengajak dia untuk riya’. Dia berusaha untuk menyadarkan dirinya bahwasanya riya’ ini tidak ada gunanya, dan bahwasanya riya’ ini akan memudarati seseorang. Maka dia pun berdoa, berusaha melawan.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari riya’ (dari menyekutukan diri-Mu dalam keadaan aku menyadarinya), dan aku memohon ampun kepada-Mu dari menyekutukan diri-Mu dalam keadaan aku tidak menyadarinya.” (HR. Ahmad dan lain-lain).

Ya, kalau dibaca oleh seseorang, maka biiznillah, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan menghilangkan darinya kesyirikan yang kecil maupun yang besar. Dia berusaha untuk melawan bisikan-bisikan tersebut.

Dan orang yang menyadari bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى melihat pada zahirnya sebagaimana Allah melihat batinnya. Allah juga melihat pada zahir seseorang. Allah melihat apakah ketika seseorang beribadah kepada Allah sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM atau tidak, mengikuti beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM atau tidak. Maka dia pun berusaha membaca, belajar bagaimana dia takbiratul ihram sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Bagaimana dia rukuk seperti rukuknya beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Kenapa demikian? Karena dia sadar bahwasanya Allah sedang melihat dia sesuai dengan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM atau tidak.

Nah, kalau seseorang merasa diawasi oleh Allah, dia senantiasa muraqabah di dalam setiap ibadah yang dia lakukan, maka yang akan terjadi adalah kemaksimalan, kesempurnaan di dalam ibadah, dan inilah yang dinamakan dengan Ihsan, derajat yang paling tinggi di dalam agama kita.

قَوْلُهُ تَعَالَى: وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ (217) الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ (218) وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ (219)
“Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan, ‘Dan bertawakallah kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihatmu ketika engkau berdiri, dan (melihat pula) perubahan gerakmu bersama orang-orang yang sujud.'” (QS. Asy-Syu’ara: 217-219).

Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang melihat dirimu ketika engkau dalam keadaan salat, ketika engkau dalam keadaan berdiri, dan bolak-balikmu bersama orang-orang yang sujud. Allah mengetahui engkau ketika engkau bersujud, ketika engkau berdiri, ketika engkau rukuk. Maka seseorang berusaha untuk memperbaiki tata cara ibadah dia dan juga niat dia di dalam beribadah.

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
“Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan: ‘Ihsan adalah engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Allah. Dan seandainya engkau tidak demikian, maka ketahuilah bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى melihatmu.'”

Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah. Kalau tidak sampai derajatnya demikian, maka ketahuilah bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى melihatmu. Baik keadaan yang pertama maupun keadaan yang kedua akan menggiring seseorang untuk memperbaiki keikhlasan dia di dalam beribadah dan tata cara dia di dalam beribadah. Hadis ini sahih diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Bab yang selanjutnya, setelah beliau menyebutkan lima pertanyaan yang penting tentang masalah ibadah, maka beliau lanjutkan, ingin mengajarkan kepada kita tentang hakikat dari tauhid, jenis-jenis tauhid, dan faedah-faedah tauhid. Insya Allah kita salat jam 8.00.

Jenis-jenis tauhid dan faedah-faedah tauhid. Karena ternyata tauhid di dalam agama ini ada tiga, ada tiga jenis. Pasal yang pertama tadi, ketika beliau berbicara tentang masalah ibadah, itu adalah satu di antara tiga jenis tersebut, yang dinamakan dengan تَوْحِيدُ الْعِبَادَةِ (tauhidul ibadah) atau تَوْحِيدُ الْأُلُوهِيَّةِ (tauhidul uluhiyyah). Pada pasal yang selanjutnya, beliau ingin menjelaskan tentang tiga jenis tauhid. Beliau sebutkan dua yang lain selain tauhidul ibadah dan apa faedah-faedah tauhid ini, supaya kita semangat untuk berpegang teguh dengan tauhid.

لِمَاذَا أَرْسَلَ اللَّهُ الرُّسُلَ؟ (Mengapa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengutus para rasul?)

Dari rasul yang pertama, yaitu Nabi Nuh عَلَيْهِ السَّلَامُ, sampai rasul yang terakhir, nabi kita Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ. Mengapa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى harus mengutus mereka? Apa tujuannya? Apa misinya?

أَرْسَلَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِلدَّعْوَةِ إِلَى عِبَادَتِهِ.
“Allah عَزَّ وَجَلَّ mengutus mereka tujuannya adalah untuk berdakwah ila ibadatihi (berdakwah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah).”

Tadi sudah kita sebutkan, beribadah kepada Allah merupakan tujuan kita diciptakan. Ketika banyak manusia yang lalai, diciptakan, lahir, dia melihat dunia dengan gemerlapnya, maka perlu di sana rasul-rasul, utusan-utusan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang mengingatkan mereka tentang tujuan utama keberadaan mereka di sini. Sehingga diutuslah Nabi Nuh عَلَيْهِ السَّلَامُ, yang saat itu kaumnya dalam keadaan menyimpang dari tujuan utama ini. Mereka serahkan sebagian ibadah kepada selain Allah, yang disebutkan oleh Al-Qur’an mereka adalah di dalam Al-Qur’an lima orang yang saleh yang disembah oleh kaumnya Nabi Nuh عَلَيْهِ السَّلَامُ. Maka beliau pun diutus oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengingatkan mereka, berdakwah selama 950 tahun, dan tidak mengikuti dakwah beliau kecuali sedikit di antara kaumnya.

وَلِتَنْفِيَ عَنِ اللَّهِ الشِّرْكَ.
“Dan (diutus) untuk menafikan kesyirikan dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى (mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah dan melarang mereka untuk melakukan kesyirikan).”

قَوْلُهُ تَعَالَى: وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ.
“Allah سُبْحÂNahu wa ta’ālā mengatakan: ‘Dan sungguh kami telah mengutus di dalam setiap umat seorang Rasul supaya mereka mengatakan di hadapan kaumnya: hendaklah kalian menyembah Allah dan jauhilah Taghut.'” (QS. An-Nahl: 36).

Dan dimaksud dengan Taghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah. الطَّاغُوتُ الشَّيْطَانُ الدَّاعِي إِلَى عِبَادَةِ غَيْرِ اللَّهِ. Taghut di antara pengertiannya adalah setan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah. Berarti seluruh Nabi dan Rasul termasuk di antaranya adalah Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Shalih, Nabi Hud, dan terakhir adalah nabi kita Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ, tujuan mereka sama, untuk mengajak manusia beribadah hanya kepada Allah dan menjauhi kesyirikan.

قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ.
“Dalil dari hadis, dan Beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan: ‘Dan para nabi, mereka adalah saudara لِعَلَّاتٍ (dalam sebuah riwayat إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ saudara beda ibu), dan agama mereka adalah satu.'” (HR. Bukhari dan Muslim).

Saudara beda ibu dan maksudnya adalah beda syariat, tetapi agama mereka adalah satu. Agama mereka satu maksudnya adalah sama-sama inti dari agama yang dibawa oleh masing-masing Nabi. Inti dari apa yang dibawa oleh Nabi adalah mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja, dan agama mereka adalah Islam. Tetapi tentang tata caranya, mungkin saja berbeda antara satu syariat seorang nabi dengan syariat nabi yang lain, kondisi dan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang Maha Bijaksana. Seperti misalnya tentang tayamum, tayamum itu hanya ada di dalam syariatnya, syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam. Adapun di dalam syariat nabi-nabi sebelumnya, maka tidak disyariatkannya, tidak disyariatkan adanya tayamum. Tidak boleh mereka melakukan tayamum di dalam syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam, yang namanya salat di atas tanah boleh ketika kita melakukan perjalanan. Kemudian datang waktu salat, keluar dari mobil, kemudian kita salat di atas tanah, tidak masalah yang demikian, suci boleh. Tapi di dalam syariat nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM, yang demikian tidak diperbolehkan, mereka harus melakukan ibadah di dalam bangunan, ya, tidak boleh melakukan ibadah di luar bangunan. Tapi intinya sama, mereka sama-sama menyembah kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى semata. Syariatnya mengikuti apa yang ditentukan oleh Allah. Makanya beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan وَالْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ, para nabi itu adalah saudara beda ibu sama ayahnya. Beda ibu, sama ayah. Ini maksudnya apa? Maksudnya adalah sama ayahnya di sini adalah sama-sama menyembah Allah saja, bertauhid. Beda ibu maksudnya adalah beda syariatnya. وَالْحَدِيثُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan juga Muslim.

Berarti dari sini kita tahu, satu di antara keutamaan tauhid bahwasanya tauhid adalah tujuan utama diutusnya para Rasul.

مَا هُوَ تَوْحِيدُ الرَّبِّ؟ (Apa yang dimaksud dengan mentauhidkan Ar-Rabb?)

Apa yang dimaksud dengan mentauhidkan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى? Dan yang dimaksud di sini adalah apa yang dimaksud dengan تَوْحِيدُ الرُّبُوبِيَّةِ. Yang dimaksud dengan تَوْحِيدُ الرَّبِّ adalah mentauhidkan Allah dengan pekerjaan-pekerjaannya. Mengesakan Allah di dalam pekerjaan-pekerjaan Allah. Apa pekerjaan Allah? Mencipta, mengatur alam semesta, dan lain sebagainya. Ya, maka kita tauhidkan Allah di dalam pekerjaan-pekerjaan ini, artinya meyakini bahwasanya yang mencipta satu-satunya adalah Allah, tidak ada yang mencipta selain Dia. Yang mengatur alam semesta satu-satunya adalah Allah, tidak ada yang mengatur alam semesta ini, menggerakkan matahari dari timur ke barat, mematikan, menghidupkan, menggerakkan angin, kecuali Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Tidak ada yang melakukannya selain Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Ini namanya تَوْحِيدُ الرَّبِّ, mentauhidkan Allah di dalam rububiyah-Nya.

قَوْلُهُ تَعَالَى: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
“Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan: ‘Segala, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.'” (QS. Al-Fatihah: 2).

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Berarti Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah Rabbul ‘Alamin. Dialah yang merupakan Rabb bagi seluruh alam. Dan makna Rabb adalah mencipta. Di antara makna Rabb adalah memberikan rezeki. Di antara makna Rabb adalah mengatur alam semesta. Berarti ayat ini menunjukkan kewajiban kita untuk meyakini bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah satu-satunya yang mencipta, memberikan rezeki, dan juga mengatur alam semesta. Harus ada di dalam diri kita masing-masing keyakinan yang demikian.

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ.
“Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengatakan: ‘Engkau, ya Allah, adalah Rabb langit dan juga bumi.'” Yang menciptakan langit dan juga bumi, dan mengatur langit dan juga bumi. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan juga Muslim.

Keyakinan ini, para ikhwah dan juga para akhwat رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللَّهُ, ternyata juga diyakini oleh orang-orang musyrikin, orang-orang Quraisy yang dahulu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM pertama kali diutus di tengah-tengah mereka. Kaumnya Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM, ternyata mereka memiliki keyakinan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang mencipta, memberikan rezeki, dan juga mengatur alam semesta.

قَوْلُهُ تَعَالَى: وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ.
“Kalau engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan mereka?’, mereka mengatakan, ‘Allah.'” (QS. Az-Zukhruf: 87).

قَوْلُهُ تَعَالَى: وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ.
“Kalau engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi?’, mereka mengatakan, ‘Allah.'” (QS. Luqman: 25).

“Mereka” di sini yang dimaksud adalah orang-orang musyrikin Quraisy. Berarti untuk tauhid yang satu ini, tauhidur rububiyah, masih sama antara orang musyrik dengan orang muslim. Sama-sama mereka meyakini bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang mencipta, memberikan rezeki, dan juga mengatur alam semesta. Ini belum membedakan antara kita dengan mereka. Belum memasukkan mereka ke dalam agama Islam.

Lalu apa yang membedakan antara kita dengan mereka? Yang disebutkan oleh Syekh setelahnya.

مَا هُوَ تَوْحِيدُ الْأُلُوهِيَّةِ؟ (Apa yang dimaksud dengan tauhidul uluhiyyah?)

Ini yang membedakan, mengesakan Allah dengan ibadah. Di sini baru berpisah antara kita dengan orang-orang musyrikin. Mengesakan Allah di dalam ibadah. Kalau orang Islam, ketika dia menyadari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang mencipta satu-satunya dan dialah yang memberikan rezeki, maka dia serahkan ibadah hanya kepada Allah saja. Konsekuen. Berarti Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang memberikan manfaat dan dialah yang menolak mudarat. Maka dia pun hanya menyembah kepada Allah saja.

Adapun orang-orang musyrikin, ketika ditanya, “Siapa yang mencipta?” Allah. “Siapa yang berikan rezeki?” Allah. Tapi praktik dia dalam kehidupan dia sehari-hari, dia serahkan sebagian ibadah kepada selain Allah. Sehingga mereka pun dahulu terkadang membawa sembelihan unta misalnya, dibawa ke depan kuburan orang yang saleh, kemudian dia sembelih unta tersebut di depan kuburan orang yang saleh, seperti misalnya kuburan Lata yang ada di Thaif. Mereka serahkan sebagian ibadah yang harusnya semuanya diserahkan kepada Allah, diserahkan kepada selain Allah. Berarti di sini mereka tidak konsekuen dengan apa yang mereka ucapkan, sehingga mereka pun terjatuh ke dalam kesyirikan, dan dinamakan dengan مُشْرِكُونَ (orang-orang yang menyekutukan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى). Ini yang membedakan antara kita dengan orang musyrik.

مِثْلُ الدُّعَاءِ وَالذَّبْحِ وَالنَّذْرِ.
“Di antara contoh ibadah tersebut adalah berdoa, menyembelih, dan juga bernazar.” Berdoa, menyembelih, dan juga bernazar.

Berdoa termasuk ibadah, tidak boleh berdoa kepada selain Allah siapapun dia, bahkan meminta dengan tujuan untuk meminta syafaat, haram hukumnya meminta kepada seorang nabi atau seorang wali syafaat tersebut.

Demikian pula menyembelih, tidak boleh menyembelih untuk jin. وَالنَّذْرُ. Dan juga bernazar, tidak boleh bernazar untuk selain Allah. Nazar hanyalah untuk Allah saja.

Apa dalilnya? قَوْلُهُ تَعَالَى: وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ.
“Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan: ‘Dan sesembahan kalian adalah sesembahan yang satu. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.'” (QS. Al-Baqarah: 163).

Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Berarti ini menunjukkan tentang تَوْحِيدُ الْأُلُوهِيَّةِ.

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذٍ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ: فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ.
“Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam mengatakan kepada Mu’adz ketika beliau mengutusnya ke Yaman: ‘Maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan adalah syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (persaksian tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah).'” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

وَفِي رِوَايَةِ الْبُخَارِيِّ: أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ.
“Di dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari: ‘hendaklah mereka mengesakan Allah.'”

Hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan supaya mereka mengesakan Allah. Dan yang dimaksud adalah mengesakan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di dalam ibadah. Berarti ini jenis tauhid yang ke berapa? Yang kedua. Bisa membedakan antara tauhid uluhiyyah dengan rububiyyah? Insya Allah bisa.

مَا هُوَ تَوْحِيدُ صِفَاتِ اللَّهِ وَأَسْمَائِهِ؟ (Apa yang dimaksud dengan mengesakan Allah di dalam sifat-Nya dan juga nama-Nya?)

Dan ini adalah jenis tauhid yang ketiga. Mengesakan Allah di dalam nama dan juga sifat. Karena Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di dalam Al-Qur’an dan di dalam Sunnah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengabarkan tentang nama dan juga sifat. Di antara nama Allah, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, Al-Quddus, As-Salam, dan nama-nama yang lain. Dan di antara sifat Allah عَزَّ وَعَلَى yang Allah sebutkan di antaranya adalah sifat Al-‘Uluw (tinggi), sifat rahmat, sifat marah, sifat rida. Bagaimana sikap kita ketika membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan nama dan juga sifat, hadis-hadis yang berkaitan dengan nama dan juga sifat?

Sikap kita adalah mentauhidkan, mengesakan Allah di dalam nama dan juga sifat tersebut. Yaitu meyakini bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memiliki kesempurnaan di dalam nama dan juga sifat-Nya. Ketika Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengabarkan bahwasanya Dia memiliki sifat Rahmah, sifat kasih sayang, berarti kita harus meyakini bahwasanya kasih sayang Allah adalah kasih sayang yang paling sempurna, mencapai puncaknya, tidak ada makhluk yang menyamai Allah di dalam rahmat ini. Makhluk memiliki sifat kasih sayang. Kita masing-masing merasakan di dalam diri kita kasih sayang tersebut. Kita sayang kepada keluarga. Tapi rasa kasih sayang yang kita miliki bukan kasih sayang yang sempurna. Yang sempurna dan tidak ada yang serupa dengannya adalah kasih sayang yang dimiliki oleh Allahu Rabbul ‘Alamin.

Maka kita tauhidkan Allah di dalam sifat ini, bahwasanya tidak ada yang menyamai Allah di dalam sifat rahmah, di dalam sifat ilmu. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang memiliki sifat ilmu, mengetahui segala sesuatu. Maka kita yakini bahwasanya sifat ilmu yang Allah miliki adalah sifat yang paling sempurna, yang mencapai puncak kesempurnaan. Ilmu yang tidak diawali dengan kejahilan dan tidak diakhiri dengan kelupaan. Ilmu yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada yang luput dari ilmu Allah. Kita memiliki ilmu. Kita belajar, kita tahu sebagian perkara, cuma ilmu tidak sempurna, penuh dengan kekurangan.

Maka seseorang mentauhidkan Allah di dalam nama dan juga sifat-Nya. Yaitu meyakini bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى nama-Nya adalah nama yang paling sempurna, dan sifat yang dimiliki oleh Allah adalah sifat yang paling sempurna. Maksudnya adalah kita menetapkan apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya di dalam Al-Qur’an, seperti misalnya sifat al-istiwa, sifat tangan, sifat marah, atau sifat-sifat yang lain. أَوْ وَصَفَهُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ. Atau yang disifati oleh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM karena terkadang sifat tersebut kita ketahui di dalam Al-Qur’an, dan Allah lebih tahu tentang diri-Nya daripada kita. Dan terkadang kita dapatkan di dalam hadis-hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM yang sahihah.

عَلَى الْحَقِيقَةِ، لَا عَلَى الْمَجَازِ.
“Di atas hakikatnya, ini bukan sesuatu yang majaz seperti yang diyakini oleh sebagian.”

Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ketika mengabarkan bahwasanya Dia beristiwa, ya, hakikatnya demikian. Ketika Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM mengabarkan bahwasanya Allah turun, maka hakikatnya demikian. Tapi perlu kita pahami bahwasanya hakikat tersebut tidak sama dengan apa yang ada pada makhluk karena لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ.

بِلَا تَأْوِيلٍ وَلَا تَفْوِيضٍ.
“Tanpa kita mentakwil.” Tidak boleh mengatakan bahwasanya dimaksud dengan istiwak di sini adalah istaula, maksudnya adalah Allah menguasai Arasy. Ini namanya takwil. Mendatangkan sebuah makna yang baru yang menyelisihi makna yang benar, karena istawa maknanya dalam bahasa Arab, dan nanti akan ada pembahasan khusus, adalah عَلَا وَارْتَفَعَ (maknanya adalah meninggi). Adapun istaula, maka maknanya adalah menguasai, yaitu menguasai setelah sebelumnya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak menguasai. Dan ini adalah makna yang menyelisihi makna yang benar. Bagaimana dikatakan bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sebelumnya tidak menguasai Arsy, kemudian setelahnya Allah menguasai Arsy? Ini penghinaan terhadap Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dialah yang Al-Qahhar, dialah yang menguasai segala sesuatu. Kalau Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sebelumnya tidak menguasai Arsy, lalu siapa yang menguasai Arsy? Makanya adalah makna yang batil.

وَلَا تَفْوِيضَ. “Demikian pula tidak boleh mentafwidh,” menyerahkan maknanya kepada Allah dan meyakini bahwasanya tidak mengetahui maknanya kecuali Allah. Ini dinamakan dengan tafwidh. Yaitu seseorang mengatakan, “Saya meyakini Allah beristiwa, tetapi saya tidak tahu makna istiwa. Saya serahkan maknanya kepada Allah saja.” Ini namanya tafwidh. Menyerahkan makna kepada Allah dan meyakini bahwasanya tidak mengetahui maknanya kecuali Allah. Apakah ini adalah keyakinan yang benar? Tidak benar. Karena keyakinan ini konsekuensinya bahwasanya banyak di dalam Al-Qur’an, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menyebutkan ayat tentang sifat, dan ayat-ayat tersebut tidak dipahami oleh manusia. Ketika dia mengatakan tidak memahaminya kecuali Allah, berarti Allah telah menurunkan Al-Qur’an, sebuah kitab yang sebagian besarnya tidak dipahami oleh manusia. Karena kalau kita melihat Al-Qur’an dari awal sampai akhir dan setiap ayat, setiap halaman, pasti disebutkan di situ tentang nama atau sifat. Berarti berdasarkan ucapan ini kita tidak tahu makna Ar-Rahman, yang tahu adalah Allah saja. Kita tidak mengetahui makna Al-‘Alim, yang mengetahui hanyalah Allah saja. Berarti sebagian besar Al-Qur’an kita tidak tahu maknanya. Bagaimana Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menurunkan sebuah kitab yang disifati oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sebagai هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa), ternyata tidak dipahami oleh manusia. Maka ini pada hakikatnya adalah perendahan, hinaan kepada Allah Rabbul ‘Alamin.

Lalu bagaimana yang benar? Yang benar bahwasanya kita memahami makna sifat-sifat tersebut. Karena Allah telah turunkan Al-Qur’an dengan bahasa apa? Dengan bahasa Arab. Dan kata-kata tersebut dipahami di dalam bahasa Arab. اِسْتَوَى, kita paham maknanya. يَنْزِلُ (turun), kita paham maknanya. يَدٌ (tangan), kita paham maknanya. Maka kita pahami Al-Qur’an dengan bahasa Arab. Jangan dikatakan bahwasanya tidak mengetahui maknanya kecuali Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Kita memahami maknanya: اِسْتَوَى، يَدٌ، يَنْزِلُ, dan kita meyakini bahwasanya اِسْتَوَى yang dimiliki oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى adalah istiwak yang sesuai dengan keagungan-Nya.

بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ أَيُّهَا الْإِخْوَةُ.