Blog
Kajian Kitabul Iman – 06, Dr. Abdullah Roy, M.A

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.
Segala puji hanyalah untuk Allahu Rabbul ‘Alamin, Rabb semesta alam. Kita bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kita bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan juga Rasul-Nya. Selawat dan salam semoga senantiasa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى limpahkan kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.
Hadirin para jemaah, para ikhwah dan juga para akhwat, semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menjaga Antum semuanya. Masih kita bersama Kitabul Iman yang ditulis oleh Ibnu Abi Syaibah رَحِمَهُ اللَّهُ, seorang imam di antara imam-imam Ahlusunah wal Jamaah, yang meninggal dunia pada tahun 235 Hijriah. Masih dalam penyebutan hadis-hadis yang berkaitan dengan iman. Dan sampai kita sebelumnya pada hadis yang ketujuh. Insya Allah kita akan masuk pada hadis yang kedelapan, hadis Ali رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ.
Nah, أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ.
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَبِهِ نَسْتَعِينُ.
قَالَ الْإِمَامُ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ:
الثَّامِنُ:
قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ هِنْدٍ الْجَمَلِيِّ. قَالَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: الْإِيمَانُ يَبْدَأُ لُمْظَةً بَيْضَاءَ فِي الْقَلْبِ، فَكُلَّمَا ازْدَادَ الْإِيمَانُ ازْدَادَتْ بَيَاضًا حَتَّى يَبْيَضَّ الْقَلْبُ كُلُّهُ. وَإِنَّ النِّفَاقَ يَبْدَأُ لُمْظَةً سَوْدَاءَ فِي الْقَلْبِ، فَكُلَّمَا ازْدَادَ النِّفَاقُ ازْدَادَتْ حَتَّى يَسْوَدَّ الْقَلْبُ كُلُّهُ. وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ شَقَقْتُمْ عَنْ قَلْبِ مُؤْمِنٍ لَوَجَدْتُمُوهُ أَبْيَضَ، وَلَوْ شَقَقْتُمْ عَنْ قَلْبِ مُنَافِقٍ لَوَجَدْتُمُوهُ أَسْوَدَ كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا.
Beliau mengatakan رَحِمَهُ اللَّهُ: قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ (dengan sanadnya sampai kepada Ali, berkata Ali رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ). Semoga Allah meridai beliau.
الْإِيمَانُ يَبْدَأُ لُمْظَةً بَيْضَاءَ فِي الْقَلْبِ.
“Iman,” kata beliau, “itu bermula dalam keadaan sebuah titik yang putih فِي الْقَلْبِ (di dalam hati seseorang).” Maksudnya adalah berawal iman itu berupa titik kecil, sebuah cahaya yang kecil yang Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى letakkan di dalam hati seorang yang beriman, di mana titik kecil ini adalah petunjuk atau menunjukkan adanya kehidupan di dalam hati orang ini. Ketika Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menghendaki kebaikan bagi seseorang, diberikan hidayah, maka diletakkan cahaya kecil ini, titik kecil ini yang berwarna putih di dalam hatinya, yang menunjukkan tentang adanya kehidupan di dalam hatinya, adanya keimanan di dalam hatinya. Ini adalah awal dari keimanan.
فَكُلَّمَا ازْدَادَ الْإِيمَانُ ازْدَادَتْ بَيَاضًا.
“Setiap kali bertambah keimanan seseorang.” Mulai dia melakukan berbagai cabang keimanan: melakukan salat lima waktu bertambah keimanannya, yang semula titik kemudian berubah menjadi dua titik. Salat Subuh bertambah titiknya, salat Zuhur bertambah titiknya, salat Asar bertambah titiknya, terus bertambah keimanannya dengan berbagai cabang keimanan. Kemudian dia melakukan membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan ketika datang Ramadan. Ketika dia sudah berkewajiban untuk berhaji, dia pun berhaji.
كُلَّمَا ازْدَادَ الْإِيمَانُ ازْدَادَتْ بَيَاضًا حَتَّى يَبْيَضَّ الْقَلْبُ كُلُّهُ.
“Setiap kali dia bertambah keimanannya, melakukan sebuah cabang keimanan, maka akan semakin banyak titik-titik putih yang ada di dalam hatinya, sehingga hatinya pun berubah menjadi putih semuanya.” Dari yang awalnya adalah titik, kemudian berubah menjadi dua titik, tiga titik, dan seterusnya sampai puluhan ribu atau ratusan ribu bahkan jutaan titik-titik yang ada di dalam hati seseorang, sehingga hatinya pun berubah menjadi berwarna putih, awalnya dari satu titik saja. Jadi, setiap kali kita menghadiri majelis ilmu, setiap kali kita melakukan salat, setiap kali kita melakukan cabang keimanan, akan ada tambahan cahaya, tambahan titik di dalam hati kita.
Sebaliknya, وَإِنَّ النِّفَاقَ يَبْدَأُ لُمْظَةً سَوْدَاءَ فِي الْقَلْبِ. “Sesungguhnya kenifakan dimulai dari titik hitam di dalam al-qalb.” Titik hitam di dalam al-qalb. Jika seseorang memulai kenifakan, menampakkan sesuatu dan menyembunyikan sesuatu, berbeda antara yang dia nampakkan dengan yang dia sembunyikan: berdusta seakan-akan dia adalah orang yang jujur, ternyata tidak jujur. Ketika diberikan amanah seakan-akan dia adalah orang yang amanah, ternyata dia berkhianat. Berbeda antara zahirnya dengan batinnya. Ketika dia memiliki janji, maka dia mengingkari janjinya. Ini termasuk cabang-cabang kenifakan. Awalnya nifak adalah berupa titik hitam di dalam hati seseorang.
فَكُلَّمَا ازْدَادَ النِّفَاقُ ازْدَادَتْ حَتَّى يَسْوَدَّ الْقَلْبُ كُلُّهُ.
“Maka setiap kali bertambah kenifakan (semakin banyak bohongnya, semakin banyak khianatnya, semakin banyak mengingkari janjinya), izdadat (bertambah), hatta yaswadda al-qalbu kulluhu (sehingga (noda hitam) bertambah sampai menghitam seluruh kalbunya).” Kama izdad nifaq, izdadat, hatta yaswaddal qalbu kulluhu. Setiap kali bertambah kenifakan-kenifakan tersebut, maka akan bertambah pula warna hitam yang ada di dalam hatinya.
Dan mungkin saja seseorang dia melakukan cabang keimanan, kemudian di waktu yang lain dia melakukan cabang kenifakan, sehingga terkadang warna putih bertambah 1 jam, kemudian ternyata ada warna hitam 3 jam kemudian, tambah warna hitamnya. Kemudian besoknya lagi ternyata bertambah lagi warna putihnya, dan seterusnya. Mungkin saja dalam sehari seseorang bertambah warna putihnya, kemudian juga di sana ada warna hitamnya, putih dan juga hitam. Bagaimana akhir dari warna kalbu tersebut? Tergantung dari banyak sedikitnya. Mana yang dominan? Kalau yang dominan adalah cabang-cabang keimanan, maka tentunya akan semakin banyak warna putihnya dan semakin putih kalbunya. Tapi kalau yang dominan adalah cabang-cabang kenifakan, maka akan semakin gelap warna dari qolbun tersebut.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ.
“Demi zat yang jiwaku berada di tangannya.” Ini ucapan Ali bin Abi Thalib setelah beliau menceritakan tentang keadaan qalbun. Dan bagaimana perkembangan keimanan, perkembangan kenifakan. Kalau nifaknya terus-terusan, maka bisa qolbun tersebut akan menjadi yaswaddal qalbu kulluhu. Maka akan bisa menjadi hitam seluruh kalbunya. Apalagi kalau kenifakan-kenifakan yang kecil tadi berkumpul di dalam diri seseorang dan terus-menerus bisa saja nauzubillah min dzalik akhirnya dia melakukan kenifakan yang besar. Awalnya kenifakan yang kecil yang dikatakan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
“Hati-hati seseorang jangan sampai dia bermudah-mudahan ketika dia berdusta di dalam ucapannya, ketika dia mendapatkan amanah, ketika dia berjanji dengan orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Karena yang namanya nifak yang besar, awalnya dari nifak yang kecil. Nauzubillah. Seorang yang beriman menjaga lisannya, jangan sampai dia berdusta sedikit pun. Jangan sampai dia ketika mendapatkan amanah, mengkhianati. Jangan sampai ketika dia berjanji, memiliki janji kepada orang lain, kemudian dia mengingkari janji tersebut. Nifak yang besar awalnya dari nifak yang kecil.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ. Demi zat yang jiwaku berada di tangannya, bersumpah dengan nama Allah. Karena jiwa kita semuanya berada di tangan Allah. Demi zat yang jiwaku berada di tangannya. Terkadang Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ bersumpah dengan cara seperti ini: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ. Demi zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya. Dan ini menunjukkan bahwasanya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memiliki sifat tangan sesuai dengan keagungannya.
لَوْ شَقَقْتُمْ عَنْ قَلْبِ مُؤْمِنٍ لَوَجَدْتُمُوهُ أَبْيَضَ.
“Seandainya engkau, kalian membelah kalb seorang yang beriman.” Seandainya benar-benar dibelah kalbunya orang yang beriman. “Niscaya engkau akan mendapatkan kalbunya dia.” Karena kalb di sini jantung ya. Engkau akan mendapatkan jantungnya orang yang beriman itu berwarna putih.
Enggak main-main di sini Ali bin Abi Thalib bersumpah dengan nama Allah, tentunya berdasarkan بَيِّنَةٌ (bukti), berdasarkan حُجَّةٌ. Sampai beliau menguatkan ucapannya dengan sumpah. Seandainya kalian membelah dada orang yang beriman, kemudian kalian melihat jantung orang yang beriman, niscaya kalian akan mendapatkan jantungnya berwarna putih.
وَلَوْ شَقَقْتُمْ عَنْ قَلْبِ مُنَافِقٍ لَوَجَدْتُمُوهُ أَسْوَدَ كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا.
“Dan seandainya kalian membelah jantung orang munafik (dan dimaksud dengan orang munafik di sini adalah munafik dengan kenifakan yang besar, orang yang menampakkan keislaman, menyembunyikan kekufuran), wajadumuhu aswadul qalb (niscaya kalian akan mendapatkan jantung dia adalah jantung yang berwarna hitam gelap).”
Ini adalah ucapan dari Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ. Hati yang atau kalb yang hitam, maka dia adalah kalbun yang gelap dengan berbagai kemaksiatan, kenifakan, sehingga dia pun لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا. Gelap, sehingga dia pun tidak tahu mana yang baik, mana yang mungkar. Tidak bisa membedakan. Tidak ada di dalam hatinya hidayah. Tidak tahu mana yang dicintai oleh Allah dan mana yang dibenci oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Berbeda dengan orang yang beriman yang memiliki qalbun yang مُنَوَّرٌ (bercahaya). Maka dia dengan qalbun tersebut dia bisa membedakan mana yang hak, mana yang batil. “Oh, ini tidak boleh, ini boleh. Ini dibenci oleh Allah, ini tidak dibenci oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.”
Di antara faedah yang bisa kita ambil dari ucapan Ali bin Abi Thalib ini yang pertama, bahwasanya iman bisa bertambah dan juga bisa berkurang. Jadi kalau tadi dalam ucapan beliau, كُلَّمَا ازْدَادَ الْإِيمَانُ. Setiap kali dia bertambah keimanannya. Oh, berarti iman bisa bertambah. Semakin bertambah imannya, semakin banyak titik-titik putihnya. Dan dia juga bisa berkurang ketika dia melakukan cabang dari kenifakan, melakukan kemaksiatan, maka akan ada di sana titik hitam. Kalau ada titik hitam, maka titik putihnya semakin berkurang, tertutupi dengan titik hitam tersebut. Nah, ini menunjukkan salah satu di antara akidah ahli sunah wal jamaah di dalam masalah iman.
Dan demikianlah Ibnu Abi Syaibah رَحِمَهُ اللَّهُ, cara beliau menjelaskan tentang akidah ahlusunah wal jamaah adalah dengan menyebutkan hadis dan juga atar. Dikumpulkan oleh beliau hadis-hadis yang berkaitan dengan iman, atar-atar yang berkaitan dengan iman, yang semuanya menunjukkan akidah ahlusunah wal jamaah di dalam masalah iman. Dan beliau beri judul dengan Kitabul Iman. Caranya bagaimana? Seperti ini. Dan apa yang beliau lakukan ini bukan sesuatu yang mudah. Lihat masing-masing dari hadis dan juga atar, beliau bawakan kepada kita dengan menggunakan sanad. Dari mana beliau mendapatkan sanad ini? Beliau mendapatkan sanad ini tentunya bukan dengan berdiam diri di rumah, bermalas-malasan, tapi beliau mendapatkan sanad ini dengan cara melakukan bepergian, melakukan safar, duduk bersama para ulama, para aimmah, mendengar dari mereka, “حَدَّثَنَا فُلَانٌ، حَدَّثَنَا فُلَانٌ.” Dicatat, kemudian dihafal, dimurajaah, disimpan bukunya, bukan dititipkan di masjid atau dititipkan di lemari kelas, simpan. Ya, mereka merasa itu adalah hasil perjuangan mereka selama ini. Keluar dari rumah mereka, dilepas oleh kedua orang tuanya, disangoni dan mereka mengetahui perjuangan dari kedua orang tua mereka. Mereka tidak ingin pulang dalam keadaan صِفْرٌ (kosong), dalam keadaan kosong, dalam keadaan tidak membawa ilmu.
Beliau mengatakan, “حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ.” Ini bukan karangan. Ini beliau kumpulkan bertahun-tahun selama bermulazamah dengan Abu Usamah. Inilah yang dia di antaranya yang beliau dapatkan ketika beliau bermulazamah dengan Waqi’, inilah di antaranya yang beliau dapatkan. Kemudian beliau kumpulkan. Mereka dahulu hafal apa riwayat-riwayat yang didapatkan dari Syekh Fulan ketika berada di Kufah, ketika berada di Makkah. Yang dia dengar, yang dia tulis adalah hadis ini, hadis ini, hadis ini. Mereka hafal. Kemudian setelah mereka banyak terkumpul di dalam hafalan mereka riwayat hadis dan juga atar tersebut, mulailah mereka التَّصْنِيفُ (mentasnif), mulailah mereka mengelompokkan, dikelompokkan. “Oh, ini yang berkaitan dengan iman. Oh, ini yang berkaitan dengan zuhud. Ini yang berkaitan dengan hari akhir.” Akhirnya mereka menulis Kitabuz Zuhud, Ahwalu Yaumil Qiyamah, dan seterusnya. Ini bukan dengan karangan saja atau dengan bermalas-malasan, tapi mereka mendapatkan ini dengan perjuangan. Kita tidak tahu bagaimana sejarah beliau bisa mendapatkan ucapan Ali bin Abi Thalib.
Ini di antara faedah yang bisa kita ambil bahwasanya dampak dari keimanan akan terlihat atau ada di dalam kalb, akan mempengaruhi jantung seseorang. Demikian pula dampak dari kenifakan juga akan mempengaruhi jantung seseorang. Dan orang yang beriman jantungnya lebih tenang karena dia orangnya jujur. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menjadikan hatinya, jantungnya ini lebih tenang. Dan ini sebagaimana firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ.
“Orang-orang yang beriman dan tenang qolbun-qolbun mereka dengan mengingat Allah. Ketahuilah bahwasanya dengan mengingat Allah, maka hati ini akan menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Semakin tinggi keimanan seseorang, maka akan semakin tenang jantungnya. Dan semakin tenang jantungnya, semakin sehat. Enggak jantungan. Sama antara yang di luar dengan yang di dalam. Tidak ada yang dia sembunyikan. Berbeda dengan orang yang berbuat maksiat, sembunyi-sembunyi. Ketika dia melakukan kemaksiatan atau dia melakukan kemaksiatan yang besar, yaitu kenifakan yang besar, maka akan semakin jantungnya tidak tenang. Semakin banyak dia deg-degan, takut ketahuan, ya, kaget ketika ada orang lain yang datang. Apalagi kalau kenifakannya adalah kenifakan yang besar, seperti orang-orang munafik yang ada di zaman Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam. Mereka deg-degan sekali ketika turun ayat. Khawatir apabila di dalam ayat tersebut Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى membongkar kenifakan mereka. Mereka sangat khawatir sekali.
يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ.
“Mereka melihat sebagian kepada sebagian yang lain.” Khawatir. Jangan-jangan di dalam ayat yang diturunkan kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM ada penyebutan kenifakan-kenifakan mereka. Sehingga kemaksiatan, kenifakan ini pengaruh juga terhadap kesehatan jantung seseorang. Orang yang sering berbuat maksiat, sering menyembunyikan sesuatu, dikhawatirkan ya, jantungnya ini semakin tidak sehat.
Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil, demikian pula kenifakan ini juga berpengaruh di dalam jantung seseorang. Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil, bahwa jantung ternyata dia memiliki warna-warna yang maknawi, sebagaimana disebutkan dalam ucapan Ali bin Abi Thalib.
Dan di antara faedah yang bisa kita ambil, bahwa iman dimulai dari sesuatu yang kecil, kemudian dia tumbuh berkembang, sehingga mungkin keimanan seseorang bisa sebesar gunung, sesuai dengan berapa cabang-cabang keimanan yang dia jaga. Dan semakin besar keimanan seseorang, tentunya semakin besar pahala yang akan dia dapatkan di dunia maupun di akhirat. Tidak akan Allah samakan antara orang yang beriman dengan orang yang kafir. Dan tidak akan Allah samakan antara orang yang besar keimanannya dengan orang yang kecil keimanannya. Demikian pula nifak awalnya adalah sesuatu yang kecil juga yang kalau terus dilakukan oleh seseorang, maka bisa menutupi hatinya. Warna hitam tersebut akan menutupi hatinya.
Dan di antara faedah yang bisa kita ambil tentunya, ayyuhal ikhwah, di sini ada ajakan bagi kita semuanya untuk senantiasa memuhasabah kalbun kita masing-masing. Muhasabah kalbun kita masing-masing. Kalau memang maksiat itu bisa menjadikan kalbun seseorang menjadi hitam, atau di sana ada titik hitam yang semakin bertambah, padahal qolbun ini memiliki pengaruh yang besar terhadap zahir seseorang, maka kita berusaha untuk menjaga. Menjaga bagaimana supaya ini tidak menghitam. Bagaimana caranya? Dengan menjauhi kemaksiatan. Menjauhi kemaksiatan. Kalau sampai terjadi kemaksiatan tersebut, maka seseorang segera berusaha untuk membersihkan kalbunya dari kotoran tadi.
Dan hendaknya seseorang, semangatnya dalam menjaga kebersihan kalbunya, lebih besar daripada semangat dia dalam menjaga kebersihan pakaiannya. Antum berusaha bagaimana pakaian Antum tidak terkena kotoran. Ketika kita makan, berusaha bagaimana posisi kita, jangan sampai makanan jatuh ke pakaian kita. Ketika kita mencari tempat duduk, ketika kita akan meletakkan baju kita, kita akan mencari tempat-tempat yang bersih, bagaimana supaya baju kita tidak kotor? Dan seandainya terkena kotoran, maka kita akan berusaha untuk mencucinya. Kalau terkena keringat, maka segera kita mencucinya. Terkena noda, maka akan segera kita untuk membersihkannya, sehingga kita pun bisa melihat baju kita kembali bersih.
Demikian pula seorang yang beriman. Perhatian kita terhadap qalbun kita, hendaknya memiliki perhatian yang besar. Kita berusaha bagaimana menjaga qalbun ini jangan sampai dia terkena titik hitam. Dan kalau sudah terjadi, maka segera kita bersihkan sebersih mungkin. Bagaimana cara membersihkannya? Dengan istigfar. Dan semakin banyak seseorang beristigfar, maka akan semakin banyak titik-titik hitam yang ada di dalam kalbunya yang dihilangkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Antum rasakan, jemaah, ketika Antum mengatakan astagfirullah sekali saja, Antum akan merasakan ada sesuatu yang berubah di dalam hati kita. Semakin banyak, akan semakin berubah. Apalagi dia beristigfar, meminta kepada Allah ampunan dari seluruh dosa. Karena mungkin seseorang memohon ampunan kepada Allah untuk dosa tertentu. Dan terkadang seseorang memohon ampunan dari Allah dari seluruh dosa. Mengatakan misalnya:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ، دِقَّهُ وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ.
“Ya Allah ampunilah dosaku semuanya, yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, yang saya sembunyikan maupun yang tidak saya sembunyikan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Meminta kepada Allah ampunan untuk seluruh dosa. Ini asarnya juga luar biasa. Yang seorang mungkin sebelumnya mendapatkan hatinya dalam keadaan gelap, dalam keadaan gundah, dalam keadaan resah, tiba-tiba dia mendapatkan hatinya dalam keadaan terang benderang. Hilang sepertinya kegelapan yang ada di dalam hatinya. Memperbanyak istigfar.
Apalagi dengan bertobat kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan tobat yang nasuha, maka dia akan dapatkan hatinya dalam keadaan sangat terang benderang, putih. Dan terkhusus kita sebagai seorang penuntut ilmu. Di mana ilmu yang kita cari, ilmu yang kita dambakan, yang setiap pagi, siang, sore kita hafal, kita coba untuk memahaminya. Letak dari ilmu adalah di dalam kalbun kita masing-masing. Dia bukan ditaruh di tangan atau di kaki atau di pundak, tetapi الْعِلْمُ مَحَلُّهُ الْقَلْبُ. Tempat ilmu adalah di dalam kalbun kita masing-masing.
Dan ilmu adalah sesuatu yang عَزِيزٌ. Ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia. Itu adalah firman Allah. Itu adalah hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ. Itu adalah wahyu. Dia adalah sesuatu yang sangat mulia. Dan di antara kemuliaan dia, dia tidak mau menempati sembarang tempat. Dia hanya akan menempati sebuah kalbun yang bersih. Sebuah kalbun yang nyaman bagi dia. Kalau dia mendapatkan kalbu fulan dalam keadaan bersih, terawat, setiap kali ada kotoran dibersihkan langsung dengan istigfar dan juga tobat, maka dia pun akan nyaman berada di tempat tersebut. Setiap kali dia mendengarkan sebuah ilmu, dia hafal, dia pahami, maka ilmu tersebut akan masuk di dalam kalbunya dan dia menetap sehingga dia pun akan lebih paham tentang agamanya, sehingga dia pun akan lebih kuat hafalannya karena ilmunya berada di dalam kalbunya, dia kuat menetap.
Semuanya. Data-data semuanya ada di dalam kalbunya dan tidak pergi. Setiap kali datang tambahan ilmu nyambung. “Oh iya, ini kemarin ana dapatkan di majelis itu. Ini kemarin ana dapatkan ketika saya membaca kitab ini.” Nyambung, saling connect satu dengan yang lain. Sehingga akhirnya beberapa tahun kemudian sudah terkumpul di dalam kalbunya ilmu dengan berbagai cabangnya: tafsir, hadis, ya tentang fikih, akidah. Dia pun bisa menyampaikan itu kepada manusia.
Sehingga dahulu para salaf sebagian mereka mengatakan, “كُنَّا نَسْتَعِينُ عَلَى حِفْظِ الْحَدِيثِ بِتَرْكِ الْمَعَاصِي.” “Kami dahulu memohon pertolongan untuk menghafal hadis Nabi dengan cara meninggalkan kemaksiatan.” Supaya hadis yang dihafal ini enggak pergi. Sekali lagi karena ilmu ini sesuatu yang عَزِيزٌ. Dia hanya akan berdiam diri di dalam rumah yang nyaman bagi dia. Sebaliknya apabila rumah, qolbun tersebut adalah qolbun yang kotor, di situ ada kotoran dusta. Di situ ada kotoran melihat sesuatu yang diharamkan. Di situ ada kotoran pacaran. Di situ ada kotoran musik. Di situ ada kotoran riba. Berkumpul kotoran-kotoran semuanya di dalam hati seseorang. Kemudian datang ilmu tersebut, dia baca, dia dengar, dia duduk, disuruh untuk menghafal, masuk ke dalam kalbun yang demikian keadaannya, maka dia tidak akan betah berada di dalam kalbun tadi. Dia merasa resah sampai akhirnya dia pun akan tidak lama berada di situ. Dia akan segera meninggalkan qolbun tadi, sehingga kembali kosong qolbunya dari ilmu.
Kalau demikian keadaan seseorang, meskipun dia bertahun-tahun berada di majelis ilmu, tapi di waktu yang sama dia tidak mau membersihkan kalbunya dari kemaksiatan, tidak mau meninggalkan kemaksiatan, maka ilmu yang masuk akan segera keluar. Sehingga dia pun mungkin mengatakan, “Ustaz, kok saya kok sulit untuk menghafalnya?” “Ustaz, ana kok sulit untuk memahami?” Maka seseorang memuhasabah dirinya. Mungkin dari sini arahnya, mungkin ini sebabnya, kita yang kurang menjaga qalbun kita.
Nah, mungkin Antum menghafal ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i ketika beliau merasakan suatu hari kesulitan untuk menghafal, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Kemudian dia pun datang kepada gurunya. Ini juga termasuk adab. Dahulu para salaf sangat dekat dengan gurunya. Ketika dia ada sesuatu, dia sampaikan. Mungkin dari gurunya dia mendapatkan petunjuk. Ada arahan. Nah, ini yang mungkin hilang dari kehidupan penuntut ilmu di zaman kita. Zaman dahulu mereka merasa ini adalah gurunya. Apa yang menimpa mereka, mereka sampaikan kepada gurunya. Mereka mau merasakan sesuatu, atau mereka memilih ada masalah, ya dia mau keluar atau dia tetap, maka dia اِسْتِشَارَةٌ (istisyarah), dia meminta pendapat. “Gimana, Ustaz? Menurut Antum?” Itu guru Antum sendiri. Kadang itu yang mungkin kita kehilangan. Kadang sebagian siswa atau sebagian penuntut ilmu mengambil keputusan sendiri, tiba-tiba demikian dan demikian tanpa ada di sana musyawarah. Nah, Antum ke sini belajar dari seorang ustaz, dari seorang guru, Antum juga meminta pendapatnya. Bukan hanya sekedar kita mencari ilmunya saja. Minta pendapatnya, “Ustaz, gimana menurut Antum kalau ana demikian dan demikian? Keadaan ana seperti ini, seperti ini.” Ya, kita meminta musyawarah, meminta pendapat dari guru-guru kita.
Nah, di sini Imam Syafi’i ketika mendapatkan keadaan beliau demikian, datang kepada gurunya mengadukan tentang jeleknya hafalan yang beliau miliki. Kemudian diberikan petunjuk oleh Waqi’ bahwasanya sebabnya adalah karena kemaksiatan. Maka beliau memberikan isyarat, memberikan petunjuk supaya meninggalkan kemaksiatan.
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ الْعَاصِي.
“Aku mengadukan kepada Waqi’ buruknya hafalanku, maka beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Dan beliau memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.”
Sehingga di sini peringatan bagi kita semuanya khususnya para penuntut ilmu untuk memperhatikan tentang qolbunya masing-masing. Ini adalah وِعَاءُ الْعِلْمِ. Ini adalah tempat ilmu itu sendiri. Sehingga kalau seorang muslim secara umum hendaknya dia menjaga kalbunya, seorang penuntut ilmu lebih-lebih lagi hendaknya dia menjaga kalbunya.
Barakallahu fikum. Jemaah sekalian yang dimuliakan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Ini adalah asar dari Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ yang berkaitan dengan masalah iman. Dan telah kita sebutkan beberapa faedah yang bisa kita ambil dari ucapan beliau رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ.
Kita sebutkan di sini terjemah secara singkat dari para rawat yang disebutkan oleh mualif. Ibnu Abi Syaibah mengatakan, “حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ.” Abu Usamah ini adalah Hammad ibn Usamah al-Kufi. Hammad ibn Usamah al-Kufi. Kunyah beliau sama dengan nama kakeknya, Abu Usamah Hammad Ibnu Usamah. Itu biasanya orang Arab banyak yang demikian. Dia menamakan anaknya dengan nama bapaknya. Karena kecintaan dia dengan orang tuanya, kebanggaan dengan orang tuanya. Akhirnya dia pun menamakan anaknya dengan nama bapaknya. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ mengatakan ketika memberi nama anaknya dengan Ibrahim, “سَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ.” Aku menamakan dia dengan nama bapakku. Sehingga beliau adalah Hammad ibn Usamah, Abu Usamah. Siapa beliau? Seorang yang tsiqah tsabat, orang yang faqih dan juga sangat kuat hafalannya, termasuk ulama Ahlul Kufah.
Jadi, sejak zaman dahulu setiap negeri, setiap negara itu punya ulama besarnya. Nah, Abu Usamah ini termasuk ulama besarnya Kufah. Ibnu Abi Syaibah dulu pernah belajar dari beliau. “حَدَّثَنَا عَوْفٌ.” Abu Usamah mengatakan, “Telah mengabarkan kepada kami Auf.” Yang dimaksud dengan Auf di sini adalah Auf Ibnu Abi Jamilah al-A’rabi. Beliau juga seorang yang tsiqah dan juga tsabat. Dikenal banyak meriwayatkan dari Hasan Albashri. Berkata Ibnu Ma’in, “Beliau adalah seorang yang tsiqah.”
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ هِنْدٍ الْجَمَلِيِّ.
Dan beliau adalah seorang tabiin, termasuk yang, termasuk yang mengambil faedah atau meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ. Riwayat beliau sedikit, riwayat beliau sedikit, bukan termasuk orang yang banyak riwayatnya, tetapi dikenal atau beliau termasuk orang yang أَهْلُ الصِّدْقِ (orang yang jujur).
Jadi kalau memang kita kurang hafalannya, maka jangan sampai kita menyampaikan kecuali yang kita yakin itu benar. Nah, jangan sampai kita kemudian mengada-ngada, berbicara tanpa ilmu. Seandainya kita kurang hafalannya, maka jangan berbicara kecuali berdasarkan ilmu yang Antum benar-benar hafal itu yang Antum sampaikan. Sehingga meskipun dikenal قَلِيلُ الرِّوَايَةِ (sedikit riwayatnya), tetapi Antum dikenal sebagai orang yang صَادِقٌ, orang yang مِنْ أَهْلِ الصِّدْقِ.
Dan beliau meskipun sedikit riwayatnya, tetapi dikenal sebagai orang yang mengerti, yang paling tahu tentang ucapan-ucapan Ali bin Abi Thalib. Mungkin ucapan-ucapan yang lain beliau kurang menghafal. Tapi kalau ucapan Ali bin Abi Thalib, maka beliau termasuk di antaranya yang ahlinya.
عَنْ عَلِيٍّ.
Dari Ali bin Abi Thalib, beliau adalah khalifah yang keempat dari Khulafa Rasyidin, anak paman Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ, sepupu beliau. Sekaligus dia adalah menantu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Dan beliau adalah termasuk orang yang pertama-tama masuk ke dalam agama Islam dari kalangan anak-anak. Dulu pas Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM berdakwah, yang pertama kali masuk Islam dari kalangan laki-laki dewasa siapa? Abu Bakar Assiddiq. Dari kalangan wanita? Khadijah. Dari kalangan anak-anak? Ali bin Abi Thalib. Enggak ada sebelum beliau anak-anak yang masuk ke dalam agama Islam. Beliau yang pertama kali masuk ke dalam agama Islam dari kalangan anak-anak. Dan beliau termasuk sahabat yang paling berilmu. Bukan hanya keilmuan saja, dikenal dengan kefasihannya, dikenal dengan keberaniannya, berani ketika dalam peperangan meskipun beliau mungkin lebih muda daripada yang lain dan memang beliau jago dalam berperang, dalam main pedang, dan beliau adalah seorang yang berilmu. Dilihat dari sisi bahasanya beliau adalah orang yang fasih, paling bagus bahasanya. Terkumpul di dalam diri beliau banyak kebaikan, Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ. Tentunya beliau juga orang yang beramal.
Dan satu di antara yang menunjukkan bahwasanya beliau adalah orang yang beramal. Hadis berzikir sebelum tidur, membaca tasbih 33 kali, kemudian tahmid 33 kali. Kemudian membaca takbir 34 kali. Dan ini adalah zikir sebelum tidur. Kalau bisa Antum amalkan. Ini yang meriwayatkan adalah Ali bin Abi Thalib. Saat itu pernah diajarkan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ. Beliau dan juga istrinya Fatimah diajarkan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM zikir sebelum tidur ini. Yang saat itu Fatimah awalnya sudah kecapekan ngurus anak dan juga suaminya, dan sempat minta kepada bapaknya ya, itu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ seorang pembantu. Tapi Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam mengganti dengan yang lebih baik. Diajarkan kepada anaknya zikir sebelum tidur ini, dan mereka merasakan keajaiban yang luar biasa. Fatimah menjadi semangat dan mendapatkan keberkahan. Dan inilah juga yang diamalkan oleh Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ.
Beliau mengatakan kepada murid-muridnya, “Saya tidak pernah meninggalkan zikir ini semenjak saya mendengarnya dari Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM. Saya tidak pernah meninggalkan zikir ini semenjak saya mendengarnya dari Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHI WA SALLAM.” Murid-muridnya terheran-heran. Subhanallah. Khalifah. Ini amalan zikir. Mungkin diremehkan oleh banyak manusia. Ternyata orang seperti beliau tidak meninggalkan yang namanya zikir ini. Karena zikir di sini adalah ذِكْرُ اللَّهِ (mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) yang menciptakan alam semesta ini.
Mereka bertanya, “يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، وَلَا لَيْلَةَ صِفِّينَ؟” “Wahai amirul mukminin, apakah engkau tidak meninggalkan zikir ini sampai ketika malam Shiffin?” Malam Shiffin ini adalah malam ketika saat itu Ali bin Abi Thalib dan juga pasukannya besok akan menghadapi perang menghadapi pasukan yang lain, yaitu pasukan Muawiyah dan juga orang-orang yang bersama beliau. Fitnah di antara para sahabat. Semoga Allah meridai mereka semuanya. Karena ini adalah ijtihad. Dan seorang mujtahid kadang benar, kadang salah. Syahidnya tentunya di malam besok terjadi peperangan. Seorang seperti Ali, seorang komandan, panglima perang, dia akan sibuk. Ini H-1. Kita kalau ada acara besok peresmian, mungkin malam ini kita enggak tidur. Apa yang kurang? Ini yang kurang dan seterusnya. Sebelumnya kita punya kebiasaan mengamalkan atau melakukan sesuatu, kita pun tinggalkan demi untuk suksesnya acara besok.
Ini Ali bin Abi Thalib mengatakan ditanya, “وَلَا لَيْلَةَ صِفِّينَ؟” “Apakah di malam Shiffin tersebut engkau tidak meninggalkan amalan ini?” قَالَ: Beliau mengatakan, “وَلَا لَيْلَةَ صِفِّينَ.” “Dan tidak pula di malam Shiffin.” Artinya, di malam tersebut beliau masih melakukan zikir tadi. Sebelum tidur beliau masih melakukan subhanallah subhanallah subhanallah, menunjukkan bagaimana tenangnya beliau dan bagaimana beliau melaksanakan hadis. Kalau sudah didengar ya dia amalkan. Itu satu contoh saja. Kalau yang perkara seperti itu saja diamalkan oleh beliau, lalu bagaimana dengan amalan-amalan yang lain? Sehingga pantaslah beliau termasuk Khulafa ar-Rasyidin yang terkumpul di dalam diri beliau ilmu dan juga amalan.
بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ.
Itulah yang bisa kita sampaikan. جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا atas perhatiannya. وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.