Blog
Kajian Kitab Iman – 02, Dr. Abdullah Roy, M.A

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Kembali kita dipertemukan oleh Allah pada sore hari ini untuk memulai dars yang berkaitan dengan kitab Al-Iman yang ditulis oleh seorang Imam di antara imam-imam Ahlusunah wal Jamaah. Beliau adalah Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah yang meninggal pada tahun 235 Hijriah. Dan beliau adalah salah satu di antara guru dari Al-Imam Al-Bukhari dan juga Al-Imam Muslim. Semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى merahmati mereka semuanya.
Kita mulai dari penyebutan sanad kepada Mualif.
نَعَمْ أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ الزَّاهِدُ الْوَرِعُ أَبُو عَلِيٍّ الْحَسَنُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ أَحْمَدَ الْأَيَاقِيُّ الصُّوفِيُّ: قِرَاءَةً عَلَيَّ وَأَنَا أَسْمَعُ، فِي يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ عَشِيَّ، الْأَوَّلِ مِنْ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ مِنَ سَنَةِ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ وَسِتِّ مِائَةٍ قَالَ: أَخْبَرَنَا الشَّيْخُ الْإِمَامُ الصَّالِحُ أَبُو عُبَيْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدٍ، أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ أَبِي عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ فِي شَوَّالٍ مِنْ سَنَةِ ثَلَاثٍ وَثَمَانِينَ وَخَمْسِ مِائَةٍ. قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ جَعْفَرٍ الْوِيَاقِيُّ، مَا بَيْنَ بَغْدَادَ وَوَاسِطٍ، فِي سَنَةِ تِسْعٍ وَخَمْسِينَ وَأَرْبَعِ مِائَةٍ. قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ الْكُوفِيُّ. قَالَ:
Barakallahu fikum. Para ikhwah sekalian, di sini disebutkan sanad kitab ini kepada al-Muallif. Disebutkan sanad kitab ini kepada al-Muallif. Dan ini menunjukkan bagaimana perhatian kaum muslimin terhadap agama mereka. Bukan hanya sanad hadis-hadis kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sanad asar-asar dari para salaf. Bahkan mereka juga memiliki perhatian di dalam masalah sanad kitab. Ini adalah sanad kitab ini kepada al-Muallif yang dibawakan oleh seorang rawi dari Abu Ali Hasan bin Ahmad yang dia dengar pada tahun 623, 623 Hijriah. Terus sanadnya bersambung sampai kepada al-Muallif رَحِمَهُ اللَّهُ yang meninggal pada tahun 235 Hijriah.
Sekali lagi, ini menunjukkan bagaimana perhatian kaum muslimin sampai sekarang mereka memperhatikan tentang masalah sanad ini. Dan banyak para ulama, para asatizah yang mereka memiliki sanad sampai kepada imam-imam, mulai dari imam-imam yang dekat pada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, atau kepada Shan’ani, atau Syaukani, atau sampai kepada imam-imam yang jauh sebelumnya pada Al-Imamu Ahmad, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, mereka memiliki sanad terhadap kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama-ulama tersebut.
Meskipun memiliki sanad terhadap kitab-kitab tersebut bukan merupakan kewajiban dan tidak dikatakan bahwa itu adalah syarat sahnya ilmu, sebagaimana ini diyakini oleh sebagian karena sebagian berlebihan di dalam masalah sanad ini. Sampai meyakini bahwa orang kalau tidak punya sanad, maka tidak sah ilmunya. Ya, meskipun dia belajar hadis, belajar Al-Qur’an, kalau tidak punya sanad, maka tidak sah ilmunya. Kalau tidak sah ilmunya, kata mereka, tidak sah amalannya. Meskipun dia belajar hadis-hadis tentang taharah misalnya, maka tidak sah taharahnya. Kalau tidak sah taharahnya, maka tidak sah salatnya. Kalau tidak sah salatnya seperti orang yang tidak melakukan salat. Kalau dia seperti orang yang tidak melakukan salat, berarti dia telah keluar dari agama Islam. Berarti mereka ingin mengatakan orang yang tidak punya sanad keluar dari agama Islam. Ini berlebihan, غُلُوٌّ (Gulu), ya. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mengingatkan kita, jangan sampai kita gulu di dalam agama ini.
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ.
“Hati-hati kalian dengan berlebih-lebihan di dalam agama, karena sesungguhnya yang telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah berlebih-lebihan di dalam masalah agama.”
Ini bukan seperti itu pengertian tentang pentingnya sanad. Dahulu, sebelum buku-buku ini ditulis, sebelum hadis-hadis ini dikumpulkan di dalam sebuah buku, maka suatu kewajiban, suatu keharusan orang yang menyebutkan hadis harus menyebutkan sanad. Kalau tidak, maka tidak diterima. Seorang bisa mengetahui hadis ini adalah hadis yang sahih atau tidak sahih adalah dengan menyebutkan sanad.
سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ.
“Hendaklah kalian menyebutkan rawi-rawi kalian,” kalau kalian menyebutkan hadis, “Sebutkan rawi-rawinya.”
لَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ.
“Kalau bukan karena sanad, niscaya seseorang akan berbicara apa yang dia kehendaki,” menisbahkan hadis tersebut kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dan isnad, Na’am, di zaman tersebut adalah sesuatu yang harus. Akan tetapi, setelah dikumpulkan hadis-hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan diriwayatkan kitab-kitab tersebut dari generasi ke generasi oleh puluhan bahkan ratusan atau bahkan ribuan, seperti misalnya Shahih Al-Bukhari. Berapa ribu yang datang kepada Al-Imam Al-Bukhari? Berapa ribu orang yang meriwayatkan Shahih Al-Bukhari dari Al-Imam Al-Bukhari? Tersebar Shahih Al-Imam Al-Bukhari ke seluruh penjuru dunia. Kemudian diikuti oleh generasi yang selanjutnya sampai sekarang ini. Sudah berapa ribu atau bahkan berapa juta Shahih Bukhari yang sudah dicetak dan diambil faedahnya oleh kaum muslimin?
Setelah dikumpulkannya hadis-hadis di dalam kitab dan diriwayatkan kitab tersebut dari generasi ke generasi oleh ribuan orang, maka sudah tidak diwajibkan kita untuk memiliki sanad. Kalau kita tanya, berapa di antara Antum yang punya sanad hadis atau kitab hadis kepada musanif? Banyak di antara kita tidak punya. Maka memiliki sanad kepada mereka bukan merupakan kewajiban. Tapi seandainya Antum punya, ini adalah termasuk usaha kita untuk melestarikan kebiasaan para salaf dahulu, usaha kita untuk melestarikan kebiasaan para salaf dahulu. Seperti yang dilakukan oleh rawi di sini. Kalau kita bisa punya sanad kitab-kitab kepada para salaf, Antum punya sanad Shahih Al-Bukhari sampai Imam Bukhari, punya sanad Shahih Muslim sampai Imam Muslim, maka tentunya ini adalah keistimewaan.
Dan tidak ada jaminan orang yang punya sanad kemudian sahih akidahnya. Tidak ada jaminan bahwasanya orang yang punya sanad kemudian ilmunya pasti sahih. Belum tentu. Padahal ilmu yang sahih, akidah yang sahihah tentunya ini lebih diutamakan daripada hanya sekadar seseorang punya sanad saja. Jadi kita jangan berlebihan ya. Silakan kita punya sanad, tapi jangan menjadikan itu sebagai prioritas utama. Dan yang paling penting adalah tentunya memahami apa yang ada di dalam kitab-kitab tersebut dan juga mengamalkan apa yang ada di dalamnya.
Di sini beliau Antum perhatikan disebutkan أَخْبَرَنَا dan terkadang disebutkan حَدَّثَنَا dan terkadang disebutkan أَنْبَأَنَا. أَخْبَرَنَا dan juga حَدَّثَنَا ini digunakan oleh mereka apabila mereka pertama mendengar langsung dari gurunya. Sang guru dia membacakan hadisnya kepada murid-muridnya, maka mereka mengatakan حَدَّثَنَا atau mengatakan أَخْبَرَنَا. Berarti mereka mendengar langsung dari gurunya sendiri. Atau yang kedua, mereka gunakan أَخْبَرَنَا dan juga حَدَّثَنَا apabila ada seorang murid dia membacakan kepada gurunya. Seperti ini sekarang misalnya Abdul Rasyid dia baca, yang lainnya mendengar. Dia membacakan kitab yang ditulis oleh gurunya, misalnya, karena sang guru mungkin enggak semua hadis-hadis dia baca. Dia minta bantuan kepada muridnya, “Ya Allah, silakan salah seorang di antara Antum baca kitabku.” Maka salah seorang muridnya membaca, didengarkan oleh yang lain. Mereka akan sampaikan kitab tersebut kepada murid-muridnya lagi dengan mengatakan أَخْبَرَنَا. Eh, أَخْبَرَنَا شَيْخِي. “Guru kami telah mengabarkan kepada kami.” Itu berarti ada kemungkinan dia dengar sendiri dari gurunya, atau kemungkinan yang kedua ada salah seorang temannya, murid di antara murid-murid gurunya, yang membacakan untuk yang lain. Maka mereka menggunakan apa? حَدَّثَنَا dan juga أَخْبَرَنَا. Jadi itu bukan hanya sekadar mereka menyebutkan saja, itu ada maknanya. Dan itu dipahami oleh orang-orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu hadis.
Baik. Kalau disebutkan أَنْبَأَنَا, maka yang dimaksud adalah dia menerima hadis tersebut, menerima kitab tersebut dengan ijazah. Di antaranya adalah dengan ijazah. Ijazah itu berarti membolehkan tanpa dia membaca. Kalau tadi kan membaca satu persatu dari awal sampai akhir, atau dibacakan, atau dia mendengar dari awal sampai akhir dibaca oleh gurunya. Tapi kalau hanya sekadar أَجَزْتُكَ ya, “Saya perbolehkan kamu untuk meriwayatkan kitab ini.” Gampang atau tidak? Ya, saya bolehkan kamu, أَجَزْتُكَ. “Aku membolehkan kamu untuk meriwayatkan kitab ini dariku.” Maka dia akan mengatakan apa? أَنْبَأَنَا. Dia akan mengatakan أَنْبَأَنَا. Berarti mana yang lebih tinggi tingkatannya? حَدَّثَنَا atau أَخْبَرَنَا atau أَنْبَأَنَا? Mana yang paling tinggi? حَدَّثَنَا dan juga أَخْبَرَنَا itu lebih tinggi daripada أَنْبَأَنَا.
Ini kita pun harus paham sedikit-sedikit kalau memang kita ingin meriwayatkan kitab ini kepada murid-murid kita nanti. Antum dulu pas dengar dari guru Antum, mendengar langsung beliau yang membaca atau dibacakan oleh muridnya, atau beliau hanya, hanya memberikan ijazah saja? Jangan sampai Antum asalnya mendapatkan dengan ijazah, harusnya Antum mengatakan أَنْبَأَنَا, justru Antum mengatakan apa? أَخْبَرَنَا atau mengatakan حَدَّثَنَا. Ya, dikhawatirkan kalau sengaja padahal dia tahu maknanya, berarti di sini ada kedustaan. Di sini ada kedustaan.
Baik. Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil dari penyebutan sanad ini kepada mualif adalah menunjukkan tentang bagaimana perhatian, sekali lagi, umat Islam terhadap sanad.
Kemudian yang kedua, di antara faedahnya rawi-rawi yang meriwayatkan, mereka adalah orang-orang yang terpercaya. Mereka adalah orang-orang yang terpercaya. Antum lihat, disifati sebagian dengan الزَّاهِدُ الْوَرِعُ الْإِمَامُ (imam yang zuhud, yang wara’). Yang mengabarkan kepada kami adalah seorang imam, orang yang zuhud, orang yang wara’. Bukan hanya dikenal dengan keilmuannya tetapi juga zuhudnya, waraknya. Kemudian juga disebutkan الْإِمَامُ الصَّالِحُ (seorang imam yang saleh). Demikianlah ilmu agama ini dibawa oleh orang-orang yang terpercaya, para ulama yang mereka adalah وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ. (warisannya para nabi).
Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil bahwasanya para ulama sejak zaman dahulu dan sampai sekarang mereka memperhatikan bahwa ilmu itu diambil dengan تَلَقٍّ. Belajar dari seorang guru. Ya, seorang penuntut ilmu datang kepada gurunya, mendengar dari beliau, atau salah seorang murid membacakan untuk beliau. Bertemu langsung antara murid dengan guru. Dan ini yang menjadi tantangan kita di zaman sekarang. Banyaknya tentunya dengan kemajuan teknologi belajar bisa dengan online, dan itu adalah sebuah kenikmatan yang Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berikan kepada kita semua di zaman sekarang. Cuma tentunya jangan sampai kalau seseorang punya kemampuan, punya kesempatan, kemudian dia meninggalkan pokok ini atau asal ini, karena asalnya seseorang ketika belajar itu تَلَقٍّ kepada gurunya langsung, bertemu dengan gurunya secara offline, mengambil ilmu dari beliau, mendengar dari beliau, melihat bagaimana beliau bermuamalah dengan yang lain, dengan masyarakat. Bukan hanya ilmu yang dia ingin dapatkan dari gurunya, tetapi juga adab, akhlak, muamalah, dan lain-lain. Dan ini di antara keberkahan menghadiri majelis ilmu secara offline, berbeda dengan orang yang hanya mencukupkan diri mempelajari ilmu agama dengan online saja. Mungkin dia dapat ilmunya, dapat. Tetapi dari sisi akhlak belum tentu dia mendapatkan. Dan mungkin saja orang yang mencukupkan diri dengan online timbul di dalam dirinya kesombongan. Ya, timbul di dalam dirinya kesombongan. “Saya juga tahu kok,” timbul di dalam dirinya perasaan lebih baik daripada yang lain. Meskipun saya di rumah saja, meskipun saya hanya online saja, saya juga tahu tentang permasalahan ini. Ini tentunya tidak diinginkan yang demikian.
Jadi asalnya seseorang belajar adalah secara offline. Kalau kita mampu untuk datang menghadiri majelis ilmu, mendengar langsung dari guru, maka itu yang kita lakukan. Jangan hanya kita belajar secara online saja.
Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil adalah bagaimana meriwayatkan hadis ini dengan dengan sanad itu terus-menerus ada dari satu generasi ke generasi yang lain. Kalau yang ada di sini sampai abad yang ketujuh, dan setelah generasi tersebut sampai sekarang masih ada sebagian orang yang memiliki perhatian tentang sanad ini, sampai sekarang alhamdulillah di kalangan salafiyin, Ahlusunah wal Jamaah, ada di antara mereka yang memiliki perhatian yang besar tentang masalah sanad ini.
Kemudian di antara faedah yang bisa kita ambil, karena di sini disebutkan وَسَمِعْتُهُ (dan saya mendengarnya) di hari Rabu katanya الْأَوَّلِ pada tanggal 16 bulan Rabiul Awwal tahun 623 Hijriah. Menunjukkan apa? Menunjukkan bahwasanya dia bukan hanya menghafal kitabnya, tetapi dia juga hafal kapan dia mendengar, di hari apa, tanggal berapa, tahun berapa dia mendengar. Menunjukkan bahwasanya dia memiliki kekuatan hafalan. Guru-gurunya juga demikian. Bahkan disebutkan di mananya. Padahalkan mungkin seseorang mempelajari hadis bukan hanya di satu tempat. Tapi dia bisa hafal saya mendengar hadis ini atau kitab ini tempatnya di mana dan tahun berapa dia bisa menyebutkannya. Ini menunjukkan bagaimana mereka, yaitu para ulama, sangat memperhatikan masalah ini dan ini menunjukkan bagaimana kekuatan hafalan mereka. نَسْأَلُ اللَّهَ الْعَافِيَةَ.
قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ:
حَدَّثَنَا قَرَنُ بْنُ نَزَالٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُؤَمَّلٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: إِذَا صَلَّى الْعَبْدُ لِلَّهِ فَزَادَ الْعَبْدُ بِاللَّهِ، وَاسْتَغْنَى الْعَبْدُ بِاللَّهِ. وَمَنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ اللَّهَ كَفَاهُ اللَّهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ.
(Ini hadis yang berbeda, bukan kelanjutan dari sanad pengarang)
قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ مَا ذُكِرَ فِي الْإِيمَانِ: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: أَقْبَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ، فَلَمَّا رَأَيْتُهُ خَالِيًا قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ. قَالَ: بِخٍّ بِخٍّ لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، تُقِيمُ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومُ رَمَضَانَ وَتَحُجُّ الْبَيْتَ وَتَأْتِي اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. قَالَ مُعَاذٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى رَأْسِ الْأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قَالَ: بَلَى. قَالَ: رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
Di (kitab Al-Iman) beliau mengatakan مَا ذُكِرَ فِي الْإِيمَانِ (apa yang disebutkan di dalam masalah iman), sebagaimana judul kitab ini adalah kitab Al-Iman. Maka beliau mengumpulkan di dalam kitab ini hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah iman, yang dengan hadis-hadis ini, maka kita meyakini, kita berakidah dengan akidah yang sahihah. Telah berlalu, telah banyak di sana penyimpangan di dalam masalah iman. Telah banyak penyimpangan di dalam masalah iman. Orang-orang Khawarij menyimpang di dalam masalah iman, orang-orang Murji’ah menyimpang di dalam masalah iman, Jahmiyyah menyimpang di dalam masalah iman. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kembali kepada dalil, di antaranya adalah kepada hadis-hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ yang merupakan penjelas bagi Al-Qur’an supaya kita memiliki akidah yang sahihah di dalam masalah iman ini.
Kemudian beliau mendatangkan dengan sanadnya kepada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ dari Mu’adz Ibn Jabal. قَالَ: أَقْبَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ. “Kami datang bersama Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ dari Perang Tabuk.” Dan Perang Tabuk terjadi pada tahun ke-9 Hijriah.
فَلَمَّا رَأَيْتُهُ خَالِيًا قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ.
“Ketika aku melihat beliau dalam keadaan sendiri.” Melihat beliau dalam keadaan sendiri, kesempatan bagi Mu’adz Ibnu Jabal untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, Kabarkan kepadaku tentang sebuah amalan yang bisa memasukkan aku ke dalam surga.” Di sini terlihat bagaimana semangat Mu’adz Ibnu Jabal dan lihat bagaimana beliau mengambil sebuah kesempatan. Mumpung di depannya ada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ dalam keadaan sendiri, longgar, dan dia melihat ini adalah فُرْصَةٌ (kesempatan) yang emas. Dalam keadaan beliau lapang tidak sibuk, dan ada sesuatu yang ingin beliau tanyakan, maka beliau gunakan untuk bertanya. Jadi pelajaran penting bagi kita semuanya sebagai seorang penuntut ilmu, di antara pintu-pintu untuk mendapatkan ilmu adalah Antum bertanya. Ana yakin di sela-sela Antum belajar pasti ada sesuatu yang enggak jelas, ada sesuatu yang belum Antum pahami. Ini jangan dibiarkan berlalu begitu saja. Bisa, harusnya seorang penuntut ilmu, dia mencatat, ada daftar khusus untuk mencatat pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga kalau dia ada kesempatan bertemu dengan ustaz atau seorang ulama yang itu belum tentu terulang, maka dia sudah siap untuk menanyakan pertanyaan tersebut. Berbeda dengan orang yang dia ada pertanyaan, tetapi dia tidak catat, mau bertanya lupa apa yang mau dia tanyakan ya. Dan ini di antara pintu untuk mendapatkan ilmu agama.
Mu’adz Ibnu Jabal adalah seorang ulama sahabat, salah satu di antara ulama sahabat yang dikenal dia adalah orang yang paling paham الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ (mana yang halal, mana yang haram). Ternyata beliau adalah orang yang senang bertanya dan pandai mencari kesempatan. أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ. “Kabarkan kepadaku tentang amalan yang bisa memasukkan aku ke dalam surga.” Lihat bagaimana mereka mengajukan pertanyaan, dan lihat pertanyaan apa yang mereka ajukan? Ternyata dia, dan beliau menanyakan sesuatu, sesuatu yang besar, yaitu apa? Ingin mengetahui amalan yang bisa memasukkan ke dalam surga. Dia ingin tahu amalan apa amalan tersebut sehingga dia bisa amalkan, dan kalau dia amalkan, maka amalan tersebut menjadi sebab dia masuk ke dalam surga. Pelajaran yang penting bagi kita adalah dalam bertanya, ayyuhal ikhwah, bertanyalah ikhlas karena Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Bertanyalah karena kita ingin mengamalkan jawaban yang kita dengar, bukan hanya sekadar ingin bertanya saja atau supaya dikatakan Dia adalah seorang yang semangat untuk menuntut ilmu, sehingga banyak pertanyaannya. Tidak. Tapi seseorang bertanya tujuannya adalah kalau dia mendengar jawabannya, dia ingin amalkan dan dia ingin masuk ke dalam surganya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Mengamalkan firman Allah عَزَّ وَعَلَّى:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.
“Hendaklah kalian bertanya kepada orang yang berilmu apabila kalian tidak mengetahui.” Hendaklah kalian bertanya pada orang yang berilmu apabila kalian tidak mengetahui. Jangan kita bertanya dengan maksud riya’ atau sum’ah.
قَالَ: بِخٍّ بِخٍّ لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيمٍ.
قَالَ: بِخٍّ بِخٍّ. maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan, “Bakh, Bakh.” Dan ucapan ini di dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang besar ya. Antum bisa praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, di sini juga boleh Antum bilang Bakh gitu ya, kalau memang itu adalah sesuatu yang besar. Antum ingin mengagungkan perkara tadi, Antum kemudian bilang Bakh. Ini kalau enggak dipraktikkan kita lupa, tapi kalau kita praktikkan kita ingat, “Oh, kalimat ini menunjukkan bahwasanya ini adalah sesuatu yang besar.” Maka beliau mengatakan Bakh, Bakh. Dan tentunya ini adalah kalau didengar oleh orang yang bertanya, maka dia akan merasa senang, dia akan semangat, sehingga kadang seorang guru sebelum dia menjawab pertanyaan, dia ucapkan terlebih dahulu, “Ahsan, bagus Antum mau bertanya.” Ya, mungkin dengan kalimat seperti itu menjadikan dia semangat, menjadikan dia tenang ya, berarti pertanyaan dia adalah pas, bukan sesuatu yang menyimpang.
لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيمٍ.
“Sungguh engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar.” Masalah surga ini, masalah nasib seseorang di akhirat, negeri yang kekal abadi, ini bukan perkara yang kecil. “Sungguh kamu bertanya tentang sesuatu yang besar.”
وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ.
“Dan itu adalah sesuatu yang mudah bagi orang yang Allah mudahkan.” Bertanya tentang sebab-sebab masuknya seseorang ke dalam surga ini perkara yang besar, tetapi perkara yang besar yang sulit ini (karena masuk ke dalam surga bukan sesuatu yang mudah, حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ. Surga itu dikelilingi dengan sesuatu yang dibenci oleh manusia), tetapi kata beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ini adalah mudah bagi orang yang Allah mudahkan. Kalau memang Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sudah memudahkan seseorang untuk melakukan berbagai perkara ini, maka itu akan menjadi sesuatu yang mudah sekali. Orang kafir melihat kita salat lima kali dalam sehari mereka aneh. Mereka saja seminggu sekali, itu pun bolong-bolong, mungkin mereka ada yang bahkan setahun enggak pernah ke tempat ibadah. Mereka padahal cuma seminggu sekali. Mereka heran dengan orang Islam, bagaimana mereka melakukan salat sehari ke masjid berapa kali? Lima kali. Mereka melihat ini adalah sesuatu yang sulit, sesuatu yang besar, tetapi kita merasakan mudah. Bahkan kita perhatikan waktu-waktu salat itu demikian pasnya. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak menjadikan kewajiban salat lima waktu jam 12 malam misalnya, tidak ya, dijadikan waktu terakhir di hari tersebut adalah salat Isya jam 9.30. Setelah itu kita bisa istirahat semalam dengan puasnya kita tidur, diwajibkan kembali jam 3.30. Alhamdulillah sesuatu yang sangat mudah dilakukan oleh orang Islam. Subuh, setelah itu tidak ada kewajiban sampai datang waktu Zuhur, karena memang waktu Zuhur pertengahan hari, orang sudah ya, selesai melakukan berbagai perkara. Sesuatu yang mudah bagi orang yang menjalankannya.
Kemudian beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّam menyebutkan beberapa amalan.
Oleh karena itu para ikhwah sekalian, kalau segala sesuatu yang sulit menjadi mudah apabila Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memudahkan. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mendapatkan kemudahan tersebut kecuali berdoa kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, termasuk dalam menuntut ilmu, memahami agama. Meminta kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى senantiasa supaya dimudahkan ya dalam mempelajari agama Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Kemudian beliau menyebutkan tiga amalan. Tadi sudah disebutkan, tujuan kita mendengar adalah untuk mengamalkan.
تُقِيمُ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ.
“Pertama, sebab untuk masuk surga adalah mendirikan salat yang wajib.” Salat lima waktu dalam sehari semalam. Ini di antara sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Maka masing-masing memperhatikan bagaimana salat lima waktunya. Mendirikan, menegakkan. Bukan hanya sekadar taf’alun (melakukan). إِقَامَةُ الصَّلَاةِ (mendirikan salat) ini maknanya lebih dalam. إِقَامَةُ الصَّلَاةِ, Antum perhatikan rukun-rukunnya, Antum perhatikan kewajiban-kewajibannya, berusaha untuk melaksanakan sunah-sunahnya, melaksanakan (salat) tempat pada waktunya, dan kalau laki-laki dilakukan secara berjamaah di masjid, maka ini semua adalah bentuk إِقَامَةُ الصَّلَاةِ, bentuk menegakkan salat. Bagaimana salat kita itu lurus ya, bukan hanya sekadar melakukan semaunya.
Kemudian yang kedua, وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ.
“Yang kedua di antara amalan yang menjadi penyebab masuk ke dalam surga adalah engkau melaksanakan zakat yang wajib.” Zakat harta yang di(kenakan) atas orang-orang yang kaya. Maka barang siapa yang memiliki harta, dia harus memperhatikan ya, apakah dia termasuk orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat atau tidak. Dia harus hitung kekayaan dia. Kalau dia punya uang ya, atau punya emas, maka dia harus hitung apakah uang tersebut sudah sampai kepada nishabnya atau tidak, karena ini adalah sebuah kewajiban yang kalau sampai seseorang menyia-nyiakan kewajiban ini, maka dia berdosa. Kalau dia melakukannya, itu membayar zakat, maka ini adalah termasuk sebab masuknya dia ke dalam surganya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Kemudian yang ketiga, وَتَأْتِي اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.
“Dan kamu bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Tidak membawa syirik yang besar. Maka barang siapa yang bertemu dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ini termasuk sebab dia masuk ke dalam surga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Sebaliknya, barang siapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan dia membawa syirik yang besar, maka ini menjadi sebab diharamkannya dia dari surga.
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ.
Para ikhwah, apa kaitannya ini dengan iman? Ini kan Kitabul Iman. Apa kaitan ucapan beliau ini dengan iman? Hadis yang lain atau ayat yang di dalam Al-Qur’an banyak kita dapatkan bahwasanya iman adalah sebab masuknya seseorang ke dalam surga.
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ.
“Berikanlah kabar gembira pada orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwasanya mereka akan masuk ke dalam surga.”
Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kami akan masukkan mereka ke dalam surga. Berarti iman adalah sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Di sini Mu’adz Ibnu Jabal bertanya, “Apa yang memasukkan seseorang ke dalam surga?” Ternyata disebutkan mendirikan salat, membayar zakat, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Apa kesimpulan yang bisa kita ambil? Berarti mendirikan salat adalah bagian dari iman, membayar zakat adalah bagian dari iman, tidak menyekutukan Allah adalah bagian dari iman. Bisa diambil kesimpulan Iman terkadang berupa perbuatan, ya, mendirikan salat, membayar zakat termasuk perbuatan. Berarti iman bukan hanya yang ada di dalam hati kita, tetapi iman terkadang berupa perbuatan.
قَالَ مُعَاذٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى رَأْسِ الْأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟
Mu’adz bertanya, “Wahai Rasulullah, Maukah aku tunjukkan kepadamu tentang kepala dari urusan ini, dan tiang dari urusan ini, dan yang paling puncak dari urusan ini?” Dan dimaksud dengan الْأَمْرُ di sini adalah الْأَمْرُ الدِّينِيُّ, urusan agama, bukan urusan dunia. Beliau ingin memberitahukan kepada Mu’adz apa yang dimaksud dengan رَأْسُ الْأَمْرِ (kepala dari urusan ini).
قَالَ: بَلَى. قَالَ: رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
“Beliau bersabda: بَلَى (Ya). قَالَ: رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ. (Adapun kepala dari urusan agama ini, maka itu adalah Al-Islam). Di sini beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ mengumpamakan Islam sebagai kepala. Dan kita tahu ya, kepala dan kedudukannya dibandingkan dengan anggota badan yang lain. Kalau misalnya tangan sehat, kaki sehat, semuanya oke, tapi kepalanya enggak ada, kira-kira bagaimana? Hidup atau tidak? Tidak akan hidup. Maka di dalam agama ini ada رَأْسُهُ ada kepalanya. Kalau sampai Antum melakukan salat, Antum melakukan zakat, dan lain-lain, tapi enggak ada kepalanya, enggak ada رَأْسُ الْأَمْرِ, maka enggak ada manfaatnya Antum melakukan amalan-amalan tersebut.
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ. Kepala dari Urusan Agama ini adalah Islam.
Apa yang dimaksud dengan Al-Islam? الِاسْتِسْلَامُ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيدِ. Al-Islam di sini maksudnya adalah kita menyerahkan diri kepada Allah dengan cara bertauhid. Berarti tauhid ini merupakan رَأْسُ الْأَمْرِ. Tauhid merupakan kepala dari seluruh perkara yang ada di dalam agama ini. Kalau seorang melakukan amalan apa saja, ternyata tauhidnya rusak, ternyata dia menyerahkan sebagian ibadah kepada selain Allah, menyerahkan dirinya kepada selain Allah, maka seperti orang yang tidak punya kepala. Enggak ada manfaatnya meskipun dia melakukan berbagai ibadah. Ini menunjukkan tentang pentingnya tauhid di dalam agama ini.
مَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ.
“Barang siapa yang Islam (bertauhid, menyerahkan ibadahnya hanya kepada Allah), maka dia selamat.” Selamat di sini bisa dua pengertian. Selamat maksudnya adalah selamat dari neraka sama sekali, masuk ke dalam surga tanpa masuk ke dalam neraka. Ini bagi orang yang sempurna tauhidnya. Atau yang dimaksud dengan سَلِمَ di sini selamat dari kekekalan di dalam neraka. Karena sebab tauhid yang ada di dalam dirinya, dia selamat dari kekekalan di dalam neraka meskipun dia diazab karena sebab dosanya, tetapi dia bisa selamat dari kekekalan di dalam neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ.
“Adapun tiang dari agama ini, maka itu adalah salat.” Diibaratkan sebagai sebuah tiang. Tiang dari rumah atau bangunan. Dan semua bangunan pasti ada tiangnya. Kalau sampai tiangnya roboh, maka bangunan tersebut akan roboh. Sehingga gedung sebesar apapun, mereka punya cara untuk merobohkannya. Tinggal mereka cari tiangnya yang mana, 1, 2, 3, 4, 5, itu yang dibom, maka akan hancur bangunan tersebut, meskipun dia setinggi 100 tingkat misal, yang penting mereka tahu tiangnya yang mana, maka akan segera hancur bangunan tersebut. Nah, salat itu diumpamakan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ seperti tiang. Kalau sampai seseorang tidak melakukan salat lima waktu, meskipun dia mengaku sebagai seorang muslim, maka agamanya hancur, agamanya runtuh, seperti bangunan yang runtuh karena tiangnya runtuh. Nah, ini menunjukkan tentang pentingnya salat lima waktu di dalam agama kita.
وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
“Dan adapun puncaknya, dan puncak adalah puncaknya amalan yang paling afdal di antara amalan-amalan, maka itu adalah الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.” Maksudnya adalah setelah kewajiban, amalan yang paling afdal di antara amalan-amalan sunah. Setelah kewajiban, tentunya kalau dibandingkan dengan kewajiban, sesuatu yang wajib itu yang lebih afdal. Salat lima waktu lebih afdal. Tapi perbandingan di sini adalah di antara amalan-amalan yang sunah. Apa yang paling afdal? الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (berjihad di jalan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى).
Sehingga sebagian ulama ada yang berpendapat bahwasanya jihad di jalan Allah itu adalah amalan yang paling afdal. Mereka berselisih, ada yang mengatakan zikir, ada yang mengatakan menuntut ilmu, ada yang mengatakan jihad di jalan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Dan pendapat yang lebih kuat bahwasanya menuntut ilmu itu adalah amalan yang paling afdal. Bahkan di dalam menuntut ilmu ada jihad ya. Antum belajar, meninggalkan keluarga, menginfakkan hartanya, capek-capek dari pagi sampai siang, itu jihad yang mengeluarkan kesungguhan untuk menimba ilmu agama. Demikian pula di dalam menuntut ilmu ada zikrun lillah. Di situ ada mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Antum menghadiri majelis ilmu seperti ini diingatkan tentang Al-Qur’an, diingatkan tentang hadis, Antum ingat Allah bukan ingat dunia. Sehingga sebagian ulama ada yang menguatkan bahwasanya amalan yang paling afdal adalah menuntut ilmu agama. Alhamdulillah, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى telah memberikan taufik kepada kita semuanya untuk bisa menuntut ilmu agama ini.
Dan di antara faedah yang bisa kita ambil dari hadis ini, selain iman terkadang berupa perbuatan, maka di antara yang bisa kita ambil bahwa iman bertingkat-tingkat. Ada di antaranya yang memiliki kedudukan yang tinggi, seperti disebutkan dalam hadis ini وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ (yang paling tinggi adalah jihad). Berarti iman pun bercabang-cabang. Iman pun bertingkat-tingkat, berbeda kedudukannya satu dengan yang lain. Dan itu adalah keyakinan di antara keyakinan-keyakinan ahlusunah wal jamaah di dalam masalah iman.
Kemudian setelahnya beliau mendatangkan sanad dan mengatakan:
حَدَّثَنَا عَبِيدَةُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ نَحْوَهُ.
Di sini beliau menyebutkan مُتَابَعَةٌ (mutaba’ah) yang menyebutkan mutaba’ah untuk ee sanad yang sebelumnya dan isinya beliau mengatakan نَحْوَهُ (semisal dengan hadis sebelumnya).
Baik, itu yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini. جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا atas perhatiannya.
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.