Dr. Abdullah Roy, M.A, Kajian Kitab, Kitabul Iman

Kajian Kitab Iman – 01, Dr. Abdullah Roy, M.A

5 views

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah, segala puji hanyalah untuk Allahu Rabbul ‘Alamin, Rabb semesta alam. Kita bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kita bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan juga rasul-Nya. Selawat dan salam semoga senantiasa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى limpahkan kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.

Para ikhwah dan juga para akhwat حَفِظَكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا. Alhamdulillah, insya Allah mulai hari ini kita akan akan mulai kembali kajian rutin setelah Magrib yang diadakan di Masjid Kampus Ma’had ‘Ali Riyadus Shalihin di Pandeglang. Dan untuk jadwal insya Allah tetap sebagaimana yang sudah kita lakukan pada semester yang lalu. Dan untuk kajian hari Kamis, maka sebagaimana yang Antum ketahui, kita sudah menyelesaikan kitab شَرْحُ السُّنَّةِ yang ditulis oleh Al-Muzani رَحِمَهُ اللَّهُ pada akhir semester yang lalu. Dan insya Allah kita akan memulai mempelajari kitab yang baru juga di dalam, di dalam masalah akidah, kitab الْإِيمَانُ yang ditulis oleh Ibnu Abi Syaibah رَحِمَهُ اللَّهُ.

Para ikhwah dan juga para akhwat حَفِظَكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا. Perkara akidah ini adalah perkara yang paling pokok, yang paling penting di dalam agama Islam. Cukuplah sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di dalam sebuah hadis:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ.

“Ketahuilah,” kata beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging, kalau segumpal daging tersebut saleh, baik, maka akan baik seluruh badannya. Namun apabila segumpal daging tersebut rusak, maka akan rusak seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging tersebut (meskipun dia adalah segumpal daging) أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ (ketahuilah bahwasanya segumpal daging tersebut adalah al-qalb).”

Ini menunjukkan tentang peran al-qalbu di dalam jasad kita. Meskipun dia hanya segumpal daging saja, tetapi dia memiliki peran yang sangat besar di dalam jasad manusia, dan ini baik secara, secara zahir maupun secara batin. Secara zahir, yang namanya jantung ini memiliki peran yang besar di dalam jasad kita. Apabila jantung seseorang sehat, bekerja dengan baik, dia bisa memompa darah yang membawa nutrisi, membawa oksigen ke seluruh tubuh dengan maksimal, sehingga sampailah darah ke seluruh bagian tubuh, sehingga berkembang seluruh bagian tubuh, baik kakinya, tangannya, otaknya, dan seluruh apa yang ada di dalam tubuh manusia. Tapi sebaliknya, apabila jantung seseorang rusak, ada kelainan, ada kebocoran, atau dia tidak bisa memompa dengan baik, sehingga darah pun tidak bisa sampai ke anggota badan kita dengan baik, tidak sampai ke otaknya misalnya, tidak sampai ke kakinya misalnya, tidak sampai ke tangannya, sehingga terlihat seseorang dalam keadaan dia kurus, tidak berkembang, maka akan mempengaruhi seluruh tubuhnya. Itu dalam perkara yang zahir.

Dan ternyata dalam perkara batin pun juga demikian. Karena di dalam kalbu kita ini ada keyakinan, di dalam kalbu kita itu ada keyakinan. Kalau sampai kalbu seseorang memiliki keyakinan, akidah yang benar, maka ini akan berpengaruh kepada seluruh tubuhnya, berpengaruh kepada ibadahnya, berpengaruh kepada akhlaknya. Ibadahnya, hubungan dia kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ akan baik, demikian pula akhlak dia kepada manusia akan baik. Tapi sebaliknya, kalau yang ada di dalam kalbu seseorang adalah akidah yang tidak sahihah, maka ini akan berpengaruh kepada ibadahnya, akan berpengaruh juga kepada akhlaknya kepada orang lain.

Dari sini seseorang mengetahui tentang pentingnya seorang muslim dan juga muslimah mempelajari akidah dan terus memperkuat akidahnya. Dan akidah yang benar yang akan mempengaruhi ibadah dan juga akhlak seseorang, sehingga memiliki ibadah yang baik, yang khusyuk, yang sesuai dengan sunah, yang ikhlas, dan akan menjadikan seseorang memiliki akhlak yang mulia kepada orang tua, kepada guru, kepada teman, kepada tetangga, tentunya adalah akidah yang sahih.

Nah, apa yang dimaksud dengan akidah yang sahihah? Akidah yang benar, yang sahih, adalah akidah yang diinginkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, keyakinan yang benar yang diinginkan dan diridai oleh Allah عَزَّ وَعَلَّى. Dari mana seseorang bisa mengetahui akidah tersebut diridai oleh Allah? Mengetahui bahwasanya akidah tersebut adalah akidah yang sahihah, tidak ada jalan lain kecuali dengan mengambil akidah tersebut dari wahyu yang Allah turunkan. Dan wahyu tersebut ada di dalam Al-Qur’an, ada di dalam hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Tidak ada jalan lain bagi kita untuk membekali, mengisi kalbu kita dengan akidah yang sahihah, kecuali kita mengambil akidah tersebut dari Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Alhamdulillah, para ulama رَحِمَهُمُ اللَّهُ dari semenjak zaman dahulu telah berusaha untuk mengumpulkan akidah-akidah yang sahihah di dalam kitab-kitab mereka, termasuk di antaranya adalah Al-Imam Ibnu Abi Syaibah yang meninggal dunia pada tahun 235 Hijriah. Beliau menulis kitab الْإِيمَانُ. Dan insya Allah pada pertemuan yang pertama ini kita akan mengenal lebih dekat siapa sebenarnya Al-Imam Ibnu Abi Syaibah, karena dengan kita mengetahui siapa beliau, maka kita akan mengetahui kedudukan yang dimiliki oleh kitab ini. Kemudian setelahnya, kita akan mengenal lebih dekat tentang kitab Al-Iman supaya kita bisa ada bayangan kita ke depan akan mempelajari permasalahan apa saja.

Biografi penulis yaitu Al-Imam Ibnu Abi Syaibah. Beliau adalah Abdullah Ibnu Muhammad Ibni Ibrahim Ibni Utsman Ibni Khuwasti (atau Khuwathi) Al-Absi, maulahum, Al-Kufi. Kunyah beliau adalah Abu Bakar. Ibrahim kakek beliau, kunyahnya adalah Abu Syaibah. Jadi beliau adalah Abu Bakar kunyahnya, adapun kakeknya, kunyahnya adalah Abu Syaibah. Kakek beliau Abu Syaibah, ternyata dia adalah seorang qadi, ya, seorang hakim, seorang qadi di daerah Wasith. Berarti kakek beliau ini bukan orang sembarangan, dia cucu orang yang berilmu, karena seorang qadi tentunya dia adalah orang yang berilmu. Tetapi kakek beliau ini yang namanya siapa tadi? Ibrahim. Kunyahnya apa? Abu Syaibah. Dia adalah seorang yang daif, seorang rawi yang daif. Al-Imam An-Nawawi رَحِمَهُ اللَّهُ menyebutkan, sepakat para ulama bahwasanya Abu Syaibah Ibrahim kakeknya pengarang di sini, dia adalah orang yang daif. Sepakat bahasanya adalah orang yang daif.

Adapun Bapak beliau, namanya siapa? Muhammad. Muhammad Ibnu Ibrahim. Maka Al-Imam An-Nawawi رَحِمَهُ اللَّهُ mengatakan, “كَانَ فَقِيهًا عَلَى قَضَاءِ فَارِسٍ، وَكَانَ ثِقَةً.” Al-Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa bapaknya itu, bapaknya Abdullah adalah orang yang faqih dan ini diucapkan juga oleh Yahya Ibnu Ma’in. Dan Yahya Ibnu Ma’in ini seorang ulama hadis yang dikenal sangat ketat ketika menghukumi seseorang. Kalau sampai beliau mengatakan faqih, harus kita pegang erat-erat ucapan beliau, karena beliau enggak sembarangan mengatakan seseorang faqih kecuali kalau memang benar-benar faqih. Berarti di sini kita mengetahui kedudukan Ibnu Abi Syaibah. Bapak beliau seorang ulama dan kakek beliau juga seorang ulama. Dan ini sesuatu yang jarang, bisa dihitung. Seorang ulama punya anak ulama, punya anak ulama, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang. Sehingga ketika para ulama mempelajari tentang sanad, di sana ada لَطَائِفُ الْإِسْنَادِ (isnad-isnad yang ajaib atau isnad-isnad yang di situ lembut). Isnad-isnad yang mengandung faedah di antara yang disebutkan رِوَايَةُ الْاِبْنِ عَنِ الْأَبِ atau رِوَايَةُ الْأَبِ عَنِ الْاِبْنِ (riwayat dari seorang anak dari bapak, atau riwayat dari seorang bapak dari anak).

Riwayat dari seorang anak dari bapak, kakek beliau seorang ulama, Bapak beliau juga seorang ulama, dan beliau juga seorang ulama. Sehingga tidak heran kalau beliau dikenal dengan Ibnu Abi Syaibah, anaknya Abi Syaibah. Kalau sudah disebutkan Ibnu Abi Syaibah, “Oh, maksudnya adalah Fulan ini,” yaitu Abdullah Ibnu Muhammad Ibni Abi Syaibah, langsung dinisbahkan kepada kakeknya, karena kakek beliau Ibrahim adalah Abu Syaibah dan beliau adalah Ibnu Abi Syaibah.

Dan beliau juga punya saudara, punya dua orang saudara laki-laki, dan dua-duanya ulama. سُبْحَانَ اللَّهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ. Ini adalah keutamaan Allah yang Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berikan kepada siapa yang Allah kehendaki. Keluarga yang berbarokah: bapaknya ulama, kakeknya juga ulama, dia ulama, saudara-saudaranya juga ulama. Tentunya kalau keluarga semuanya bisa memiliki perhatian yang besar tentang masalah ilmu, sama-sama menghafal, sama-sama menyibukkan dirinya dengan ilmu, tentunya ini adalah nikmat yang besar yang Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berikan kepada seseorang. Tetapi ilmu mereka bertingkat-tingkat satu dengan yang lain. Antum lihat tadi kakeknya bukan orang yang faqih, demikian pula saudara laki-laki dari Abu Bakar yang bernama Al-Qasim juga bukan orang yang faqih. Al-Qasim disebutkan di dalam terjemahnya bahwasanya Dia adalah orang yang lemah.

Dilahirkan Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah pada tahun 159 Hijriah. Dilahirkan pada tahun 159 Hijriah. Kalau Imam Syafi’i dilahirkan tahun berapa? 150. Berarti 9 tahun setelah dilahirkannya Al-Imam Asy-Syafi’i. Laqab beliau, gelar beliau adalah Sayyidul Huffazh. Beliau memiliki gelar Sayyidul Huffazh, yaitu pemukanya orang-orang yang menghafal. Ini menunjukkan tentang keutamaan beliau sampai digelari sebagai Sayyidul Huffazh, dari sekian banyak Ahlul Hadits yang mereka menghafal hadis-hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, beliau adalah sayidnya, beliau adalah pemukanya. Kunyah beliau adalah Abu Bakar, sebagaimana telah berlalu. Dan dinisbahkan kepada kakeknya sehingga dikenal dengan Ibnu Abi Syaibah atau Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah. Jadi boleh seseorang dinisbahkan kepada kakeknya ya. Seandainya Antum punya kakek misalnya, kemudian Antum mengatakan, “Saya adalah Ibnu Fulan,” boleh ya. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mengatakan, “أَنَا دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ.” “Aku adalah doa dari bapakku Ibrahim,” padahal Ibrahim kalau diurutkan tentunya bapak yang ke berapa dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Tapi beliau mengatakan, “أَنَا دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ.” Jadi kakek kita adalah bapak kita, kakek dari kakek kita adalah bapak kita.

Maksudnya di sini adalah dari arah bapak. Beliau berasal dari daerah yang dinamakan dengan Wasith. Asalnya adalah Wasith. Kemudian beliau tinggal di negeri Kufah. Asalnya adalah Wasith, kemudian tinggal di negeri Kufah dan meninggal di sana. Sehingga beliau pun dinisbahkan kepada Kufah, dikatakan Al-Kufi. Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah Al-Kufi. Ini menunjukkan terkadang seorang ulama dia berasal dari daerah tertentu, cuma dia pindah atau hidup di daerah yang lain karena satu sebab, ya. Di antara sebabnya adalah mungkin permintaan dari penguasa setempat melihat dia adalah seorang ulama dan mereka menyadari bahwa keberadaan ulama di sebuah daerah, di sebuah kota, itu adalah keberkahan tersendiri bagi daerah tersebut. Selain daerah tersebut menjadi bercahaya, maksudnya adalah dengan adanya ulama berdakwah, mengajarkan masyarakat ilmu agama yang sebelumnya mereka tidak tahu, akhirnya mereka menjadi tahu. Daerah yang mereka merasa sebelumnya adalah gelap, sekarang dengan adanya ulama tersebut, terasa bersinar secara maknawi. Ini sebuah keberkahan sehingga para penguasa dahulu mereka menyadari bahwa peran para ulama ini sangat besar. Dan kalau sampai sebuah daerah mereka giat mempelajari ilmu dari para ulama, akhirnya mereka pun menjadi warga yang saleh, menjadi rakyat yang taat kepada Allah, taat kepada Rasul, mendengar dan taat kepada penguasa. Tentunya ini menjadikan sebuah daerah makmur ya. Mereka menjadi daerah yang tenang, yang tentram, yang orang-orangnya adalah orang-orang yang saleh, berakhlak.

Keberkahan yang lain, ketika ada ulama di sebuah daerah, dan mungkin sampai zaman sekarang keberkahan ini masih terlihat, maka para penuntut ilmu dari berbagai daerah akan berbondong-bondong menuju ke daerah tersebut. Dan itu sejak zaman dahulu. Kalau sampai misalnya di Kufah ada Al-Imamu Ahmad, atau di situ ada Al-Imam Ibnu Abi Syaibah, maka orang-orang yang dari Bukhara, dari Makkah, dari Madinah, tidak usah disuruh, mereka akan berjalan sendiri, berbondong-bondong ke daerah tersebut. Dan jumlahnya bukan sedikit. Al-Imam Ahmad dahulu yang hadir ke majelis beliau itu 5000 orang. 5000 orang hadir di majelisnya Imam Al-Imamu Ahmad, tapi yang menulis, yang sungguh-sungguh menghafal dari beliau hanya sekitar 500-an. Sisanya ngapain? Sisanya ingin belajar bagaimana beliau beramal, bagaimana beliau berakhlak, mendengarkan ayat, mendengarkan hadis. Yang jelas dahulu ini keberkahan tersendiri. Kalau misalnya ada penuntut ilmu datang, mereka akan mencari makan, mereka akan mencari tempat tinggal, mereka akan bekerja, dan seterusnya. Dan itu adalah keberkahan tersendiri dari sisi dunia bagi sebuah daerah. Dan itu kita lihat sampai di zaman sekarang ya. Pondok ketika ada di sebuah provinsi, di sebuah kabupaten, sebuah daerah, lihat betapa makmurnya daerah tersebut. Di mana-mana di Jogja, ya, ada sebuah pondok yang dulu mungkin tidak dilihat oleh orang, tapi ketika di situ berkumpul para asatizah, hadir para penuntut ilmu, orang-orang sudah mulai menyadari tentang pentingnya lingkungan, mereka pun berusaha untuk mencari tempat, mencari rumah, mencari tanah di situ, yang dulu mungkin seseorang apa lain tinggal di daerah tersebut, sekarang 1 meter bisa 4 jutaan, orang rebutan untuk bisa tinggal di daerah tersebut. Keberkahan tersendiri. Buka kos-kosan mesti habis. Buka makanan mesti habis. Bahkan dalam satu kampung bisa beberapa sekolah didirikan dan setiap buka pendaftaran mesti berkala ya. Bukan hanya keberkahan dari sisi agama tapi juga dari sisi dunia. Di mana-mana, termasuk di tempat kita sekarang. Antum berasal dari mana? Dari Tangerang, ada yang dari Sulawesi, ada yang dari Jawa Tengah, datang dari tempat yang jauh ke tempat yang pelosok ini, yang di kampung ini, dengan tujuan untuk menuntut ilmu agama. Berapa orang yang mendapatkan faedah di tempat ya. Yang jadi satpam, yang jadi tukang laundri, ada yang masa, ada yang buka warung.

Oleh karena itu, zaman dahulu para penguasa mengetahui tentang kebaikan ini, ada sebagian mereka meminta sebagian ulama, dia tahu asalnya dari daerah jauh, tapi dia minta supaya beliau datang ke tempat tersebut, mau tinggal di situ. Seperti Al-Imam Abu Daud رَحِمَهُ اللَّهُ murid dari Al-Imamu Ahmad, beliau berasal dari Sijistan, tapi tinggalnya di Basrah ya, diminta oleh penguasa untuk tinggal di Basrah. Al-Imam Ibnu Abi Syaibah juga demikian, beliau bukan orang Kufah tetapi beliau tinggal di Kufah sampai beliau meninggal dunia.

Beliau رَحِمَهُ اللَّهُ tumbuh sebagai seorang penuntut ilmu di rumah yang penuh dengan ilmu. Dua Saudara beliau yang tadi kita sebutkan, siapa dua saudara beliau? Utsman dengan siapa? Al-Qasim. Sudah dibiasakan semenjak kecil untuk dekat dengan ilmu agama, mencari hadis, meriwayatkan hadis. Dan ini beliau biasakan juga kepada anaknya, karena Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah beliau punya putra namanya Ibrahim. Jadi dia namakan putranya dengan nama kakeknya. Ini sering ya, orang Arab atau yang lain karena mereka sangat bangga dengan nama kakeknya, akhirnya dia menamakan anaknya dengan nama kakeknya atau nama bapaknya. Seperti Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ beliau menamakan anaknya Ibrahim. Kenapa demikian? Karena kakek beliau, bapak beliau ada yang bernama Ibrahim. Demikian pula anak dari saudaranya Utsman Ibnu Abi Syaibah punya anak namanya Muhammad. Ini juga menjadi seorang ulama juga. Jadi masing-masing dua ulama tadi Abu Bakar dan juga Utsman, masing-masing punya anak, anaknya juga dididik untuk menjadi seorang ulama. Dan ini adalah sekali lagi keutamaan Allah yang Allah berikan kepada siapa yang Allah kehendaki.

Perlu kesungguhan. Dan ilmu bukan warisan yang berupa harta, itu perlu kesungguhan dari orang tua. Tidak bisa seseorang berangan-angan anaknya menjadi seorang ulama sementara dia sendiri tidak bersungguh-sungguh untuk mendidik anaknya atau mendekatkan anaknya dengan ilmu. Ibnu Abi Syaibah satu angkatan dengan Al-Imamu Ahmad bin Hambal, Ishaq Ibnu Rahawaih, Ali Ibnu Madini. Dari sisi umur, dari sisi hafalan mereka hampir sama. Ahmad Ibnu Hambal, Ibnu Abi Syaibah, Ali Ibnu Madini, Ishaq Ibnu Rahawaih. Beliau memiliki banyak guru di antaranya adalah Abdullah Ibnu Mubarak, Sufyan Ibnu Uyainah, Waqi’ Ibnu Jarrah, Yahya Ibnu Sa’id al-Qattan, dan guru-guru yang lain. Guru-guru beliau banyak, baik di Iraq maupun di Hijaz, di Mekah maupun Madinah.

Murid-murid beliau juga banyak, karena kalau seseorang dikenal dahulu capek dalam belajar, guru-gurunya juga banyak, maka para penuntut ilmu pun akan semangat untuk mendatangi dia. Sehingga yang datang kepada Ibnu Abi Syaibah semisal siapa? Al-Imam Bukhari. Imam Al-Bukhari itu muridnya Ibnu Abi Syaibah. Siapa lagi? Al-Imamu Muslim. Asy-Syaikhan yang mengarang Shahih Al-Bukhari, yang mengarang Shahih Muslim, ternyata murid dari Ibnu Abi Syaibah. Di dalam Shahih Muslim kalau antum buka Shahih Muslim itu mungkin hampir setiap halaman di dalam Shahih Muslim itu ada riwayat dari Ibnu Abi Syaibah. Kalau tidak salah kurang lebih 1500 sanad Al-Imam Muslim di dalam Shahih Muslim dari Ibnu Abi Syaibah, banyak beliau menyebutkan nama gurunya ini. Abu Daud yang memiliki Sunan Abi Daud, ternyata juga muridnya Ibnu Abi Syaibah. Ibnu Majah yang memiliki Sunan Ibnu Majah juga murid beliau. Adapun Al-Imam An-Nasa’i رَحِمَهُ اللَّهُ, beliau meriwayatkan dari muridnya atau sebagian murid Ibnu Abi Syaibah. Bahkan aqran-nya, yaitu Al-Imamu Ahmad bin Hambal, pernah meriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah. Jadi terkadang seorang teman meriwayatkan dari teman yang lain, ya, seorang teman itu meriwayatkan dari teman yang lain. Abu Zur’ah ar-Razi, Ibnu Abi Ashim, Baqi Ibnu Makhlad, Abu Ya’la al-Mushili, dan juga yang lain, mereka termasuk di antara orang-orang yang meriwayatkan dari Al-Imam Ibnu Abi Syaibah.

Al-Imamu Ahmad pernah mengatakan, “أَبُو بَكْرٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ عُثْمَانَ، وَهُوَ أَصْدَقُ.” “Abu Bakar adalah seorang yang sangat jujur dan dia lebih saya cintai daripada saudaranya (yaitu Utsman).” Dan di sini bukan, bukan menjelek-jelekkan Utsman, tidak. Di sini beliau sedang berbicara tentang ilmu Jarh wa Ta’dil, dan itu biasa di antara para ulama hadis, mereka mengomentari tentang seorang rawi karena ini berkaitan dengan hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Beliau membandingkan antara Abu Bakar dengan Utsman, meskipun dua-duanya faqih. Tapi menurut, menurut Al-Imamu Ahmad, Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah lebih faqih daripada saudaranya. Dua-duanya faqih, cuma Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah lebih faqih daripada Utsman.

Berkata Al-‘Ijli: “ثِقَةٌ حَافِظٌ.” “Beliau adalah seorang faqih yang hafiz.”
Berkata Al-Fallās: “مَا رَأَيْتُ أَحْفَظَ مِنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ.” “Aku tidak melihat orang yang lebih hafal daripada Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah.” Menunjukkan bagaimana kedudukan Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah di mata para ulama hadis yang kita sebutkan tadi bukan orang sembarangan. Al-Imamu Ahmad, Al-‘Ijli, Al-Fallās. Dipuji juga oleh Abu Zur’ah ar-Razi.

Adz-Dzahabi mengatakan: “الْحَافِظُ الْعَظِيمُ، نَادِرُ النَّظِيرِ، الثِّقَةُ النَّحْرِيرُ.” “Dia adalah seorang yang hafiz agung, jarang orang yang seperti itu, dia adalah orang yang hafiz, jarang orang yang seperti itu, jarang orang yang semisal dengan beliau.”

Dinukil dari Ibnu Katsir رَحِمَهُ اللَّهُ bahwasanya Beliau mengatakan: “أَحَدُ الْأَعْلَامِ وَأَئِمَّةِ الْإِسْلَامِ وَصَاحِبُ الْمُصَنَّفِ الَّذِي لَمْ يُصَنِّفْ أَحَدٌ مِثْلَهُ قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ.” “Dia adalah salah seorang di antara ulama besar, beliau adalah yang memiliki Musannaf, Al-Musannaf ini kitab karangan Ibnu Abi Syaibah, yang dikatakan oleh Ibnu Katsir tidak ada seorang pun yang menulis seperti Al-Musannaf ini, baik sebelum beliau maupun setelah beliau.”

Dan masih banyak pujian-pujian dari para ulama kepada Ibnu Abi Syaibah رَحِمَهُ اللَّهُ. Di antara karangan beliau selain kitab Al-Iman adalah Al-Musnad, Al-Musannaf. Beliau juga mengarang kitab yang berkaitan dengan tafsir.

Meninggal dunia رَحِمَهُ اللَّهُ pada tahun 235 Hijriah. Meninggal dunia pada tahun 235 Hijriah. Dan demikianlah الْمَوْتُ ini adalah sunah. Bagaimanapun kedudukan seseorang, maka dia akan kembali kepada Allah عَزَّ وَعَلَى. Namun orang seperti beliau tentunya bergembira karena menghabiskan waktunya dari tahun 159 sampai 235, berapa tahun itu? Ah, 159 sampai 235, 41 + 35, 76 tahun ya. 76 tahun, namun Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memberkahi. Meninggal dunia setelah beliau meninggalkan, mewariskan untuk kita semuanya ilmu yang banyak, di antaranya adalah kitab yang insya Allah akan kita pelajari, kitab Al-Iman.

Sesuai dengan namanya, di dalam kitab ini beliau akan menjelaskan, membawakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan iman. Dan iman adalah bagian dari akidah. Dan iman memiliki keutamaan yang besar. Dan tidaklah kebahagiaan di dunia dan juga di akhirat kecuali didapatkan dengan sebab iman yang ada di dalam diri seseorang. Ada iman dan iman adalah ada di dalam hati kita asalnya, kemudian akan terlihat pengaruhnya di dalam jasad seseorang. Adalah sebab kebahagiaan seseorang di dunia dan juga di akhirat. Sebagaimana firman Allah عَزَّ وَعَلَّى:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
“Barang siapa yang mengamalkan amal yang saleh, baik laki-laki maupun wanita, dan dia dalam keadaan beriman.” Kalau beramal saleh tapi tidak ada iman, maka tidak bermanfaat imannya. “Barang siapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun wanita, dan dia dalam keadaan beriman, maka kami akan hidupkan dia dengan kehidupan yang baik.” Akan dihidupkan yaitu di dunia dengan kehidupan yang baik. Dan kehidupan yang baik tidak harus kehidupan yang bergelimang dengan harta, memiliki jabatan. Kehidupan yang baik kehidupan yang tentram, kehidupan yang tenang, baik ketika dia mendapatkan nikmat maupun dia mendapatkan musibah. Ini janji Allah bagi orang yang beramal saleh dan dia memiliki iman. Kemudian di akhirat, bagaimana? “Dan kami akan membalas mereka dengan amalan mereka yang paling baik.” Berarti semakin berkualitas keimanan seseorang, maka akan semakin besar pahala dia di dunia maupun di akhirat. Semakin jelek kualitas keimanan seseorang, semakin berkurang juga kebahagiaan dia di dunia dan juga di akhirat.

Nah, di dalam kitab ini beliau akan menyebutkan bagaimana akidah ahlusunah wal jamaah di dalam masalah iman. Jangan sampai rusak. Di sana ada aliran-aliran yang menyimpang di dalam masalah iman ini, seperti misalnya Murji’ah menyimpang di dalam masalah iman. Mereka mengatakan iman itu hanya yang ada di dalam hati seseorang. Ucapan bukan termasuk iman, salat bukan termasuk iman. Orang-orang Khawarij mengatakan bahwasanya orang yang melakukan dosa besar, maka dia keluar dari iman. Orang-orang Jahmiyyah mengatakan bahwasanya iman hanyalah makrifah saja, tidak bertambah, tidak berkurang. Banyak di sana aliran-aliran sesat yang tersesat, menyimpang di dalam masalah keimanan. Kalau sampai seseorang salah di dalam masalah iman, maka tentunya kebahagiaan yang tadi dijanjikan di dalam, di dalam ayat tadi, kebahagiaan di dunia maupun di akhirat tidak akan didapatkan oleh seseorang yang menyimpang di dalam masalah keimanan.

Nah, di sini beliau akan menyebutkan bagaimana akidah ahlusunah wal jamaah di dalam masalah iman. Bahwasanya iman, bahwasanya amalan adalah termasuk bagian dari iman, dan bahwasanya iman bertambah dan juga berkurang. Bertambah dengan ketaatan, dan bahwasanya iman juga bisa berkurang dengan kemaksiatan. Iman bisa berupa ucapan, bisa perbuatan, bisa keyakinan yang ada di dalam hati. Beliau akan sebutkan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan masalah iman, tapi dengan cara Ahlul Hadits, عَلَى طَرِيقَةِ أَهْلِ الْحَدِيثِ. Bagaimana caranya Ahlul Hadits dalam menyampaikan permasalahan? Dia sebutkan langsung hadisnya dengan sanad beliau, ya, dengan sanad beliau حَدَّثَنَا فُلَانٌ عَنْ فُلَانٍ عَنْ فُلَانٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kemudian setelahnya membawakan lagi حَدَّثَنَا فُلَانٌ dan seterusnya.

Nah, ini adalah cara Ahlul Hadits. Beliau menggunakan cara ini karena memang beliau adalah termasuk Ahlul Hadits. Dan ini juga dilakukan oleh sebagian imam yang lain, murid beliau yaitu Al-Imamu Muslim. Beliau juga menggunakan cara ini di dalam Shahih Muslim. Ada كِتَابُ الْإِيمَانِ, ya, beliau menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan iman mengikuti cara yang dilakukan oleh gurunya Al-Imamu Bukhari رَحِمَهُ اللَّهُ juga di dalam sahihnya ada كِتَابُ الْإِيمَانِ. Ini juga dengan cara Ahlul Hadits. Cuma bedanya kalau Al-Imamu Bukhari, beliau menyebutkan judulnya, “Bab demikian dan demikian.” Itu yang menulis adalah Imam Bukhari, dan itu dari satu sisi memudahkan kita. Beliau menyebutkan “Bab demikian dan demikian,” kemudian setelah itu menyebutkan hadisnya. Dari sini kita paham, “Oh, maksud hadis ini adalah demikian.” Dari mana kita tahu? Dari bab yang ditulis oleh Al-Imamu Bukhari.

Adapun Al-Imamu Muslim, maka tidak menyebutkan bab. Al-Imamu Muslim tidak menyebutkan bab di dalam Shahih Muslim. Kalau kita membuka Shahih Muslim di situ disebutkan bab demikian dan demikian, maka yang menulis itu bukan Imam Muslim, itu yang menulis adalah imam-imam yang setelahnya, di antaranya adalah Al-Imam An-Nawawi رَحِمَهُ اللَّهُ. Jadi beliau melihat Shahih Muslim, “Kok tidak ada bab-babnya?” Akhirnya beliau melihat hadis-hadis yang dibawakan oleh Al-Imam Muslim, kemudian beliau berikan judul berupa bab.

Jadi Al-Imam Ibnu Abi Syaibah memakai cara siapa tadi? Al-Muhadditsin, yaitu beliau membawakan sanad, membawakan hadis. Dan insya Allah nanti kita akan baca sanadnya. Kita biasa mendengar nama para ulama. Kita nanti kalau ada kesempatan, kita berikan sedikit faedah yang berkaitan dengan beliau, mungkin tentang bagaimana cara beliau belajar, apa yang dikenal tentang beliau, kemudian setelah itu kita mencoba untuk menjelaskan hadis yang dibawakan, tapi dengan penjelasan yang singkat yang cukup menjadikan kita paham apa yang dimaksud oleh beliau, kenapa beliau mendatangkan hadis ini.

Nah, di sana ada ulama yang menjelaskan tentang masalah iman, tetapi bukan dengan cara muhadditsin, ya, bukan cara, bukan dengan cara muhadditsin, bukan hanya sekadar menyebutkan hadis, tetapi beliau menjelaskan dengan ucapan, beliau menjelaskan dengan ucapan beliau. Seperti misalnya kalau yang terdahulu adalah Abu Ubaid Al-Qasim Ibnu Sallam. Abu Ubaid Al-Qasim Ibnu Sallam itu punya kitab Al-Iman juga, tetapi caranya berbeda dengan yang dilakukan oleh Ibnu Abi Syaibah. Beliau menjelaskan dari diri beliau.

Adapun yang terakhir-terakhir, terakhir-terakhir, adalah di antaranya adalah Ibnu Taimiyyah رَحِمَهُ اللَّهُ. Beliau punya kitab Al-Iman juga, ya, punya kitab Al-Iman. Ini bukan dengan طَرِيقَةُ الْمُحَدِّثِينَ (cara muhadditsin), tapi beliau menjelaskan dengan ucapan beliau, kemudian mendatangkan dalil, membantah orang-orang yang menyimpang di dalam permasalahan-permasalahan iman. Nah, ini beberapa jenis metode yang dilakukan oleh para ulama kita dalam menjelaskan tentang masalah iman.

Dan insya Allah dengan memohon pertolongan kepada Allah عَزَّ وَعَلَى kita akan memulai penjelasan tentang kitab ini insya Allah pada ee pertemuan yang selanjutnya. Dan kita berharap khususnya para ee siswa untuk bisa mendatangkan bukunya ya, buku ee kitab Al-Iman, sehingga Antum bisa memurajaah, Antum bisa mempersiapkan sebelum Antum datang, Antum bisa menulis apa yang kira-kira perlu ditulis, mungkin ada mufradat yang baru, ada pengertian yang ee perlu Antum tulis.

Dan Alhamdulillah kita dulu mempelajari kitab ini dari guru kita Syekh Ibrahim bin ‘Amir, eh ar-Ruhaili, eh رَحِمَهُ اللَّهُ, ketika kita masih di Madinah.

Demikian yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini, dan insya Allah kita lanjutkan pada pertemuan yang akan datang.
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.