Dr. Abdullah Roy, M.A, Kajian Kitab, Kitabul Iman

Kajian Kitabul Iman – 07, Dr. Abdullah Roy, M.A

5 views

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.

الْحَمْدُ لِلَّهِ kita bersyukur kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Kembali Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mudahkan pada sore hari ini berjumpa dalam rangka melanjutkan pembahasan kitab Al-Iman yang ditulis oleh Ibnu Abi Syaibah رَحِمَهُ اللَّهُ. Terakhir kemarin kita telah membaca bersama asar dari Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ. Insya Allah kita lanjutkan hari ini dengan ucapan Abdullah ibn Mas’ud. إِنَّ الرَّجُلَ لَيُذْنِبُ الذَّنْبَ…

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِأَوْلَادِنَا وَلِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ. آمِينْ.

قَالَ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى، قَالَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ طَرِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَذْنَبَ نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ.

Dengan sanadnya beliau menyebutkan asar dari Abdullah ibn Mas’ud berkata. Thariq Ibnu Syihab, قَالَ عَبْدُ اللَّهِ… berkata Abdullah (apabila Bila disebutkan Abdullah saja tanpa ada di sana penyebutan nama bapaknya, di antara para sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka yang dimaksud adalah Abdullah Ibnu Mas’ud). Lebih dari 100 orang sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang memiliki nama Abdullah. Tapi apabila disebutkan قَالَ عَبْدُ اللَّهِ saja, mereka tahu bahwasanya yang dimaksud adalah Abdullah Ibnu Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ. Bukan Abdullah ibn Umar, bukan Abdullah ibn Amr, bukan Abdullah Ibnu Zubair, tapi beliau adalah Abdullah Ibnu Mas’ud.

Beliau mengatakan:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُذْنِبُ الذَّنْبَ فَيَنْكُتُ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، ثُمَّ يُذْنِبُ الذَّنْبَ فَتُنْكَتُ أُخْرَى حَتَّى يَصِيرَ لَوْنُ قَلْبِهِ كَلَوْنِ الرَّبْدَةِ.
“Sungguh seseorang layudnibu dzamba” (sungguh seseorang, الرَّجُلُ di sini bukan maksudnya pembatasan hanya yang berjenis kelamin laki-laki saja. Tapi terkadang seseorang mengatakan dengan lafaz الرَّجُلُ dan maksudnya adalah laki-laki dan juga wanita, diterjemahkan dalam bahasa kita “sesungguhnya seseorang” mencakup laki-laki maupun wanita. Kenapa disebutkan di sini الرَّجُلُ? تَشْرِيفٌ (sebagai bentuk pemuliaan kepada laki-laki). وَلَيْسَ إِذَا كَالْأُنْثَى. (Tidak sama antara laki-laki dan juga wanita). الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ. Laki-laki adalah yang memimpin wanita. Layudnibu dzamba. Dia melakukan sebuah dosa, baik dosa yang kecil maupun dosa yang besar, baik yang dilihat oleh orang lain maupun dalam keadaan dia sendiri).

فَيُنْكَتُ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، ثُمَّ يُذْنِبُ الذَّنْبَ فَتُنْكَتُ أُخْرَى حَتَّى يَصِيرَ لَوْنُ قَلْبِهِ كَلَوْنِ الرَّبْدَةِ.
“Maka dititikkan di dalam kalbunya, di dalam jantungnya نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ (titik yang berwarna hitam). Sekali dia berbuat dosa, maka di sana ada titik yang berwarna hitam di kalbunya. Kemudian dia berdosa lagi, melakukan dosa lagi, sehingga dititikkan titik yang lain. Melakukan dosa satu titik, dua dosa berarti dua titik dan seterusnya) حَتَّى يَصِيرَ لَوْنُ قَلْبِهِ كَلَوْنِ الرَّبْدَةِ. Sehingga jadilah warna dari kalbunya berubah, yang sebelumnya adalah warna yang putih bersih. Karena dia melakukan dosa dan tidak ada di sana usaha untuk menghilangkan titik tersebut, titik hitam tersebut, maka jadilah warna kalbunya warna kambing yang belang. Jadilah warna kalbunya warna kambing yang belang.

شَاةٌ الرَّبْدَةُ artinya adalah الشَّاةُ السَّوْدَاءُ الْمُنَقَّطَةُ (Al-syatu al-sauda al-munaqqathah) – yaitu kambing yang berwarna hitam yang bertitik-titik atau berbelang-belang putih (yaitu kambing yang berbelang-belang, berarti bukan lagi putih polos, tetapi di sana ada warna putihnya dan di sana ada warna hitamnya). Tentunya ini satu keadaan. Semakin banyak dia berbuat dosa dan semakin besar dosa tersebut maka akan semakin banyak titik-titiknya dan bisa saja menjadi kalbun yang hitam sebagaimana disebutkan dalam asar Ali sebelumnya. Di dalam asar Ali sebelumnya:

وَجَدْنَاهُ أَسْوَدَ الْقَلْبِ كَالْكُوزِ الْمُجْخِي (wajadnahu aswadal qalbi kal-kuzi al-muj’khi), atau وَجَدْنَاهُ أَسْوَدَ الْقَلْبِ (wajadnahu aswadal qalb).
“Kalau kamu membedah jantung seorang yang munafik (orang munafik memang sudah parah dosanya karena dia sudah melakukan kenifakan yang besar), maka engkau akan mendapatkan kalbunya ini adalah kalbu yang berwarna hitam.” Berarti tergantung dari dosa yang dia lakukan, kadarnya, jumlahnya, maka demikianlah warna yang ada pada jantung tersebut.

Di dalam hadis ini ada beberapa faedah tentunya yang bisa kita ambil.
Yang pertama adalah pengaruh dosa terhadap kalbun seseorang, pengaruh dosa terhadap kalb seseorang. Bahwasanya dosa ini akan menjadikan kalbun seseorang semakin gelap. Semakin banyak dosanya maka akan semakin gelap. Dan sudah kita sebutkan pada pertemuan yang lalu pentingnya seorang thalibul ilm menjaga qolbunya dari dosa. Karena ketika kalbunya tidak dijaga dan menjadi kalbun yang kotor belang-belang bahkan menjadi qolbun yang hitam maka kalbu yang seperti ini tidak akan betah yang namanya ilmu berada di dalam qalbun tersebut. Jangan berharap ilmu akan betah di dalam diri antum ketika antum tidak menjaga qalbun antum dari perkara-perkara yang kotor seperti dosa dan juga maksiat. Jangan berharap tidak mungkin berkumpul antara ilmu dengan hati yang kotor.

Yang kedua, di antara faedah yang bisa kita ambil adalah pentingnya seseorang segera bertobat dan beristigfar kepada Allah, karena sebagaimana qalbun semakin kotor dengan dosa, maka dia bisa dibersihkan dengan beristigfar dan juga bertobat. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ.
“Hendaklah kalian bersegera.” سَارِعُوا (bersegera berlomba-lomba untuk beristighfar kepada Allah). Semakin banyak istighfar kita tentunya yang dimaksud adalah istighfar yang sungguh-sungguh, dalam keadaan kita sadar, dalam keadaan kita benar-benar ingin ditutupi dosanya, diangkat dosanya, maka itu akan berpengaruh pada qalbun seseorang. Semakin antum banyak beristighfar, maka titik-titik tadi akan dihilangkan oleh Allah sampai benar-benar bersih.

Disebutkan di dalam sebuah hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ مِنْهَا قَلْبُهُ.
“Sesungguhnya seorang yang beriman apabila dia berdosa maka itu menjadi titik yang berwarna hitam di dalam kalbunya. Kalau dia bertobat, melepaskan dirinya dari dosa, beristigfar, maka hatinya akan kembali terang.” Maka hatinya akan kembali terang. Dan antum bisa rasakan sendiri ketika antum beristigfar kepada Allah, أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ, ada sesuatu yang berbeda yang berubah di dalam qalbun kita seperti lebih ringan. Semakin banyak istigfar, semakin ringan kalbu tersebut.

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di dalam sehari minimal beliau 70 kali memohon ampun kepada Allah dalam sehari minimal 70 kali. Dan tentunya istigfar sekali yang beliau lakukan adalah istigfar yang berkualitas, bukan hanya sekadar lisan, Astagfirullah, yang benar-benar ya Allah, saya minta kepadamu supaya ditutupi dosaku, supaya dihapuskan dosaku. Kemudian diulang lagi, أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ. Antum rasakan sendiri bagaimana hati kita semakin ringan, semakin cerah ketika kita memperbanyak memohon ampun kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Yang disayangkan justru kita sangat malas untuk mengatakan astagfirullah atau mengucapkan astagfirullah kadang bukan pada tempatnya dan tanpa ada kesadaran terhadap makna dari astagfirullah tersebut. Kita mengatakan astagfirullah, tapi maksudnya bukan memohon ampun kepada Allah. Mungkin karena kaget, kaget ngomong astagfirullah, bukan karena memohon ampun kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Coba kita sering memohon kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ampunan, apalagi seorang penuntut ilmu yang dia sangat butuh memiliki qalbun yang bersih. Sangat butuh untuk memiliki qalbun yang bersih. Dan ini juga berpengaruh terhadap keistikamahan kita dalam menuntut ilmu. Setan berjuang bagaimana dia menghalangi kita dari menuntut ilmu atau memutus kita untuk menuntut ilmu agama. Dibisik-bisiki supaya kita melakukan kemaksiatan. Dibisik-bisiki supaya kita malas untuk beristigfar. Akhirnya kita merasakan, “Kok susah ya saya menuntut ilmu. Enggak masuk-masuk ilmu itu di dalam kalbunya,” sampai akhirnya dia pun mengatakan, “Sudahlah, ilmu ini bukan duniamu. Kembali kamu kepada dunia gelapmu, ilmu ini untuk orang-orang yang saleh saja, kamu enggak pantes terhadap ilmu ini,” akhirnya menjadikan kita pun putus menjauh dari menuntut ilmu. Banyak bertobat dan juga beristigfar. Dan bertobat dari dosa hukumnya wajib. Jangan disamakan bertobat ini sama dengan salat sunah dua rakaat misalnya sebelum magrib. Itu hukumnya sunah. Antum enggak melakukan, antum enggak dosa. Tapi beristigfar atau bertobat dari sebuah dosa hukumnya wajib. Allah berfirman:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
“Dan bertobatlah kalian semuanya wahai orang-orang yang beriman. Semoga kalian menjadi orang-orang yang beruntung.” Dan itulah yang diharapkan dari seseorang.

Pertama, dia berusaha untuk menjaga dirinya dari dosa. Dia singkirkan kalau ada dosa yang mau masuk, dia berusaha untuk menghalangi caranya bagaimana ya menjauhi dosa tersebut. Kalau dosanya terlanjur terjadi, maka sesegera dia, bersegera dia untuk menghilangkan dosa dosa tersebut dan kembali menjadikan kalbunya bersih. Kembali dia menjadikan kalbunya bersih. Sehingga sekali lagi ini menjadikan ilmu yang kita terima, ilmu yang kita tuntut ini dia akan nyaman tentram, tenang di dalam qalbun kita. Dia tidak lari-lari ke mana-mana.

Di antara faedah yang bisa kita ambil adalah peringatan dari terus-menerus dalam melakukan dosa. Tadi disebutkan لَيُذْنِبُ الذَّنْبَ (layudnibul dzanba) kemudian يُذْنِبُ الذَّنْبَ (yudnibul dzanba) (berarti dia melakukan dosa, kemudian melakukan dosa lagi tanpa di sana ada bertobat), ini akan menjadikan hati kita menjadi keras ya dan hati kita menjadi kotor. Kita memohon kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengampuni dosa-dosa kita semuanya.

Beliau mengatakan di sini, حَدَّثَنَا وَكِيعٌ. Waqi’ siapa? Waqi’ Ibnul Jarrah, guru dari Al-Imam Syafi’i رَحِمَهُ اللَّهُ. Seorang imam yang hafiz termasuk seniornya para muhaddisin fiqh tsabat. Meninggal dunia pada tahun 197 Hijriah. Beliau yang ditanya oleh Al-Imam Asy-Syafi’i, “Kenapa saya hafalannya lemah?” Kemudian beliau me berikan nasihat supaya meninggalkan kemaksiatan.
Al Imam Waqi’ beliau mengatakan:
حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ.
“Haddatsanal a’masy.” Al-A’mas ini adalah Sulaiman Ibnu Mihran. Al-A’mas adalah laqab beliau, laqab. Dan beliau adalah seorang tabiin, termasuk juga seniornya para muhaddisin. Laqab beliau adalah Alamasy, namanya adalah Sulaiman.

Terkadang demikian seorang ahlul hadis, namanya kadang orang enggak tahu, tapi dikenal dengan laqabnya, gelarnya. Nah, orang yang belajar ilmu hadis maka dia menghafal namanya dan juga menghafal laqabnya. Penting. Kenapa demikian? Jangan sampai dia menganggap satu orang yang sama dianggap itu adalah dua orang yang berbeda. Di sebagian sanad disebutkan Alamasy, disebut di sanad yang lain disebutkan Sulaiman Ibnu Mihran. Di sini haddatsanal A’masy, di sini haddasana Sulaiman Ibnu Mihran, dianggap ini adalah dua orang yang berbeda. Padahal itu adalah satu orang yang sama. Itu ahlul hadis. Mereka menghafal namanya dan juga laqabnya. Dan beliau dikenal dengan Al-Amasy. Kalau sudah dikatakan Al-Amasy maksudnya adalah Sulaiman Ibnu Mihran.

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مَيْسَرَةَ. An Sulaiman ibni Maisarah. Beliau adalah seorang yang tsiqah juga.
عَنْ طَرِقِ بْنِ شِهَابٍ. An Thariq ibni Syihab, seorang tabiin yang ada yang mengatakan beliau menemui Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tetapi tidak melihatnya. Maksudnya adalah menemui zaman Nabi tetapi tidak pernah melihat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Mungkin atau tidak? Hah. Menemui zaman Nabi. Nabi hidup. Dia hidup tetapi dia tidak melihat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ misalnya di Madinah, dia berada di Mesir misalnya. Nabi ada di ketika dia masih hidup tetapi dia tidak pernah melihat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ada yang mengatakan demikian? Tib. Orang yang seperti itu dinamakan sahabat atau bukan? Bukan. Kenapa demikian? Karena yang namanya sahabat adalah orang yang لَقِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Orang yang bertemu dengan Nabi. Melihat atau tidak melihat. Ada seorang sahabat Nabi yang buta bertemu dengan Nabi, tetapi dia buta. Seperti siapa? Abdullah Ibnu Ummi Maktum, buta dan dia termasuk sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Meskipun dia tidak pernah melihat Nabi yang penting dia bertemu. Tapi kalau hanya sekedar sezaman dengan Nabi tapi tidak pernah bertemu, maka dia bukan dinamakan seorang sahabat. Termasuk di antaranya adalah Thariq ibn Syihab.

Tib, kalau dia mengatakan قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, kalau dia mengatakan قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bagaimana hukum sanadnya di sini nyambung atau tidak nyambung? Hah? Tidak nyambung ya. Tidak nyambung. Kenapa? Di sini ada sanad yang terputus. Dia tidak pernah melihat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ya, maka di sana pasti ada seseorang. Nah, seseorangnya ini yang kita tidak tahu. Dianggap ini adalah sesuatu yang terputus. Tayib. Mungkin tidak dia ketemu dengan seorang sahabat? Mungkin. Seperti di sini beliau meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Mas’ud.

Dan Abdullah Ibnu Mas’ud ini termasuk السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ, termasuk ulamanya para sahabat. Meninggal dunia pada tahun 32 Hijriah. Dan Abdullah ibn Mas’ud bukan orang yang gemuk, bukan orang yang kuat. Beliau adalah orang yang kurus ya, kakinya kecil. Tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى muliakan beliau dengan ilmu. Allah muliakan beliau dengan Al-Qur’an. Sibuk dengan Al-Qur’an. Ibadah andalan beliau adalah membaca Al-Qur’an dan mendalami Al-Qur’an. Sampai disebutkan di dalam ucapan beliau:

لَوْ أَعْلَمُ أَنَّ أَحَدًا أَعْلَمُ مِنِّي بِكِتَابِ اللَّهِ تَبْلُغُهُ الْإِبِلُ لَرَكِبْتُ إِلَيْهِ.
“Seandainya aku tahu di permukaan bumi ini ada orang yang lebih tahu daripada aku tentang Al-Qur’an, niscaya aku akan mendatangi dia.” Ini menunjukkan apa? Bukan kesombongan, bukan ya. Menunjukkan حِرْصٌ (semangat) beliau, semangat beliau untuk menuntut ilmu. Kalau memang di sana ada yang lebih tahu tentang Al-Qur’an daripada saya, saya akan datang. Ya, kalau selama masih bisa dicapai oleh unta, maka beliau akan datang. Ini menunjukkan bagaimana semangat beliau untuk menuntut ilmu agama. Dapat, mau ingin dapat ilmu, ya kita berjalan, ingin dapat ilmu ya kita harus safar, ya. Kalau kita ingin mendekam saja di sarang kita, atau istilah mereka mak-makan (inginnya sama ibunya terus), maka dia tidak akan dapat ilmu, harus safar. Ya, para ulama mereka dahulu melakukan safar untuk menuntut ilmu.

Naam, setelahnya أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ.
قَالَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: مَا نَقَصَتْ أَمَانَةُ عَبْدٍ قَطُّ إِلَّا نَقَصَ إِيمَانُهُ.
“Kemudian beliau mendatangkan asar yang selanjutnya dari Urwah Ibnu Zubair dengan sanad beliau sampai Hisyam ibn Urwah dari Urwah ibn Zubair:

مَا نَقَصَتْ أَمَانَةُ عَبْدٍ قَطُّ إِلَّا نَقَصَ إِيمَانُهُ.
“‘Tidaklah berkurang amanah seorang hamba kecuali akan berkurang keimanannya.'” (Tidaklah berkurang amanah seorang hamba kecuali akan berkurang keimanannya). Yang dimaksud dengan amanah adalah apa yang seseorang dipercaya untuk menjaganya. Itu namanya amanah. Baik yang berkaitan dengan hak Allah ataupun yang berkaitan dengan hak makhluk.

Baik yang berkaitan dengan hak Allah atau yang berkaitan dengan hak makhluk. Amanah yang berkaitan dengan hak Allah. Ibadah ini secara umum adalah amanah. Salat adalah amanah, amanah dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang harus kita jaga. Berpuasa adalah amanah yang harus kita jaga. Puasa Ramadan. Haji ke Baitullah juga amanah yang harus kita jaga. Di sana ada amanah yang berkaitan dengan hak makhluk. Seperti misalnya kita diberikan amanah berupa uang atau amanah berupa tugas pekerjaan atau amanah berupa belajar. Di sini ada amanah. Amanah dari orang tua, amanah dari sebuah yayasan atau pihak tertentu, ini adalah amanah antum belajar.

Semakin besar keimanan seseorang, maka akan semakin besar dia dalam berusaha untuk menjaga amanah. Amanah ini adalah sesuatu yang harus kita jaga dan nanti di hari kiamat akan ada pertanyaan tentang amanah ini. Ketika seseorang menyebangi, menyeberangi Shirat, maka amanah akan berada di sebelah kanan kiri Shirat. Akan menanyakan kepada setiap orang yang tidak melaksanakan amanah.

Dan sifat orang yang beriman sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Mukminun:
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ.
“Mereka adalah orang-orang yang terhadap amanah dan terhadap janji, mereka akan menepati.” Orang yang beriman takut, takut menyalahi amanah, takut menyia-nyiakan amanah, takut untuk menyalahi janji.

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ.
“Tanda orang munafik itu ada tiga.” Di antaranya adalah وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ (apabila dia diberikan amanat, maka dia berkhianat). Sangat erat hubungan antara amanah dengan iman. Semakin besar iman, semakin dia menjaga amanah, semakin takut dia untuk berkhianat terhadap amanah. Karena dia semakin yakin dengan akan adanya hari akhir dan bahwasanya dia akan ditanya, dan orang yang mengkhianati amanah berat nanti di hari kiamat.

Nah, di sini Urwah Ibnu Zubair beliau mengatakan:

مَا نَقَصَتْ أَمَانَةُ عَبْدٍ قَطُّ إِلَّا نَقَصَ إِيمَانُهُ.
“Tidaklah berkurang amanah seorang hamba kecuali berkurang keimanannya.”
“Tidaklah berkurang keimanan seorang hamba.” Berkurang maksudnya adalah bertambah sedikit. Sebelumnya hari ini dia semangat untuk menjaga amanah, besok ternyata berkurang. Mulai dia menyia-nyiakan waktu. Waktu amanah dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Kesehatan amanah dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Harta yang ada pada diri kita juga amanah dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Maka orang yang semakin sempurna dia menjaga amanah, maka dia akan berusaha untuk menjaga hartanya, menjaga anggota badannya dari melakukan kemaksiatan. Karena dia sadar ini adalah amanah. Orang yang semakin berkurang amanahnya, hari ini dia berusaha untuk menjaga, besoknya ternyata berkurang amanah tersebut atau melemah dalam menjaga amanahnya, maka إِلَّا نَقَصَ إِيمَانُهُ. Berarti maknanya imannya juga berkurang. Amanahnya berkurang, berarti imannya berkurang. Menunjukkan apa? Menunjukkan bahwasanya antara amanah dengan iman ini berbanding lurus. Berbanding lurus. Amanah bertambah, oh berarti imannya bertambah. Amanah berkurang, berarti imannya berkurang.

Di antara faedah yang bisa kita ambil dari ucapan Urwah Ibnu Zubair adalah bahwa pertama hubungan yang erat antara iman dan juga amanah. Dan bahwasanya amanah adalah cabang di antara cabang-cabang keimanan. Berkurang amanah, berarti berkurang iman. Tidak ada amanah berarti tidak ada iman sama sekali. Tidak ada amanah berarti tidak ada keimanan sama sekali.

Dan di antara faedah yang bisa kita ambil adalah peringatan dari bermudah-mudahan dalam mengkhianati sebuah amanah. Ayyuhal ikhwah. Orang yang sudah terbiasa mengkhianati amanah meskipun itu kecil, maka dikhawatirkan dia akan mengkhianati amanah yang lebih besar daripada itu. Dan orang yang dikenal berkhianat maka dikhawatirkan setelah itu dia tidak dipercaya lagi oleh orang lain. Hati-hati. Apalagi kita di zaman media dikenal sekali dia tidak amanah dalam melakukan sebuah, tidak amanah dalam sebuah perkara, kemudian dia di keluarkan misalnya dari sebuah pekerjaan, kemudian dia mencari, berusaha untuk mencari pekerjaan di tempat yang lain, maka dikhawatirkan di tempat yang lainnya di lain pun dia tidak akan dipercaya lagi, tidak akan diberikan amanah lagi. Orang sudah mengambil pelajaran, mengambil pelajaran. “Kenapa antum pindah ke sini?” Nanti orang akan mencari, oh telepon dan seterusnya, “Oh, ternyata dulu di sana ada kasus demikian dan demikian.” Akhirnya pihak yang kedua pun dia tidak akan merasa aman. Dikhawatirkan dia akan seperti itu juga, dan tidak nyaman menjadi seseorang yang tidak dipercaya oleh orang lain. Tidak nyaman menjadi orang yang tidak dipercaya oleh orang lain. Dicurigai, ya, senantiasa dianggap dia menyembunyikan sesuatu, melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan. Nah, ini sehingga seorang muslim hendaklah dia berusaha untuk menjaga amanah di mana pun dia berada.
Beliau mengatakan di sini:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ
“Haddatsana Waqi’.” Waqi’ siapa? Waqi’, Waqi’ Ibnul Jarrah. Sedikit-sedikit antum coba menghafal nama-nama para imam ya.
عَنْ سُفْيَانَ
“An Sufyan,” dari Sufyan. Yang dimaksud dengan Sufyan di sini adalah Sufyan As-Tsauri. Sufyan As-Tsauri dan Waqi’ ini adalah termasuk murid seniornya Sufyan ats-Tsauri. Termasuk murid seniornya Sufyan ats-Tsauri. Sehingga ketika beliau mengatakan “an Sufyan,” orang semua tahu. “Oh, yang dimaksud adalah Sufyan siapa?” As-Tsauri. Kapan itu bisa terjadi? Ketika dia termasuk murid seniornya. Nah, di sini faedah besar bagi kita bahwasanya dahulu para imam itu mereka بِالْمُلَازَمَةِ (bermulazamah). Ya, mereka belajar dari seorang lama. Dia belajar bukan hanya sekali, dua kali, dia berusaha datang dari tempatnya ke kota tersebut ingin belajar dari fulan. Sehingga lama-kelamaan dikenal, “Oh, si fulan itu termasuk orang yang lama mulazahnya, zamannya.” Beliau sudah setahun di sini, sudah 2 tahun di sini, sudah 3 tahun atau lebih daripada itu. Sehingga dikenal, “Oh, murid-murid seniornya Syekh fulan adalah si fulan, si fulan, si fulan.” Kalau ingin tanya tentang ucapan-ucapan dan pendapat Syekh tersebut, antum tanya pada murid-murid seniornya ini. Kapan mereka bisa dikenal seperti itu? Ya, karena mereka lama, bukan hanya sekali dua kali bertemu saja, sehingga dikenal oleh manusia dia adalah murid senior. Berarti yang namanya belajar kalau bisa antum mulazamah, antum sering melazimi seorang syekh, sehingga bukan hanya satu atau dua perkara yang antum tahu, tapi antum tahu banyak hal dari tentang syekh tersebut.

Sufyan As-Tsauri juga demikian, ya. Beliau memiliki murid-murid senior yang dikenal mereka adalah yang sangat dekat yang sangat mengetahui tentang beliau.
قَالَ قَالَ هِشَامٌ.
“Qala qala Hisyam,” Sufyan As-Tsauri ini أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فِي الْحَدِيثِ. (Amirul Mukminin fil Hadits). Meninggal pada tahun 161, dikenal dengan waraknya, zuhudnya. Dan beliau adalah أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فِي الْحَدِيثِ. (Amirul Mukminin fil Hadits), beliau adalah pemimpinnya orang-orang yang beriman di dalam masalah hadis. Beliau meriwayatkan dari Hisyam. Siapa Hisyam? Hisyam adalah Hisyam ibn Urwah. Seorang kibarut tabiin, ثِقَةٌ ثَبْتٌ فَقِيهٌ. Ini adalah derajat yang paling tinggi ya. Berarti dia dari sisi hafalan, tidak usah ditanya tentang bagaimana hafalannya, dari sisi ketakwaannya juga demikian. Itu berarti tsiqah. Kalau hanya sekedar hafalan tapi tidak bertakwa ya tidak sampai derajat fiqah. Kalau bertakwa tapi hafalannya kurang juga tidak sampai dinamakan tsiqah. Ini derajat yang tinggi di dalam ilmu hadis. Tib. Beliau meriwayatkan dari siapa? عَنْ أَبِيهِ (Dia meriwayatkan dari bapaknya). Seorang anak. Dia meriwayatkan dari abinya, Urwah Ibnu Zubair. Dan Urwah Ibnu Zubair adalah salah satu di antara فُقَهَاءُ السَّبْعَةِ (fuqaha as-sab’ah) yang ada di Kota Madinah. Seorang tabiin. Jadi di Kota Madinah dulu ada tujuh orang fuqaha, tujuh orang ulama yang seumur, keilmuannya rata. Ya, tentunya seakidah, semanhaj keilmuannya rata. Dikenal dengan الْفُقَهَاءُ السَّبْعَةُ (al-fuqaha as-sab’ah). Termasuk di antaranya adalah bapak dari Hisyam ini, Urwah Ibnu Zubair. Sehingga dikenal dengan mereka adalah fuqaha as-sab’ah, tujuh orang yang termasuk ulamanya para tabiin di zamannya di Kota Madinah. Sehingga di sana ada sekolah SD yang namanya Fuqaha Sabah, sekolahnya Yahya, Imron, Jakarta itu namanya fuqaha Sabah. Kayaknya kaosnya juga masih ada sampai sekarang, ya. Itu mereka adalah, nama mereka adalah kumpulan ulama besar. Nah, anaknya anaknya arwahnya adalah Hisyam. Ini tentunya ini adalah nikmat ya. Seorang anak bisa belajar dari orang tuanya. Dan itu sesuatu yang sedikit. Karena kebanyakan biasanya seorang anak ini paling malas belajar dari orang tuanya, dia justru ingin belajar dari yang lain.

Sehingga disebutkan oleh para ulama:
أَزْهَدُ النَّاسِ فِي عِلْمِ الْعَالِمِ أَقْرِبَاؤُهُ.
“Manusia yang paling tidak butuh dengan ilmunya orang yang alim itu adalah keluarganya sendiri.” Ya, keluarganya sendiri justru malah tidak mau belajar dari alim tersebut, sehingga bisa dihitung. Seorang ulama punya anak ulama itu bisa dihitung, ya, bisa antum cari, baik zaman dulu maupun zaman sekarang. Antum nyari anak-anaknya Syekh bin Baz enggak ada. Anaknya Syekh Albani juga enggak ada. Mungkin sebagian mereka jadi ini, jadi ini. Ya, makanya jarang sekali seorang ulama kemudian anaknya juga jadi ulama. Yang ada yang kita tahu adalah Syekh Abdul Muhsin Alabbad punya anak Syekh Abdur Razaq yang pengajar di Masjid Nabawi. Bapaknya ulama, anaknya juga ulama, dan itu jarang ya. Makanya ee tentunya sebuah kenikmatan yang besar ketika seorang dia memiliki anak-anak yang mewariskan bukan hanya hartanya tapi juga mewarisi ilmunya. Dia juga menyibukkan dirinya dengan ilmu sebagaimana orang tuanya juga menyibukkan dirinya dengan ilmu. Dan tentunya ini perlu perjuangan. Apa yang ustaz sampaikan tadi bukan suatu yang tidak mungkin. Tidak. Ya, mungkin saja tentunya dengan doa kemudian kita menjadi teladan yang baik bagi anak-anak kita. Berusaha untuk menjadikan mereka cinta terhadap ilmu sehingga akhirnya mereka pun akan meniru. Al Imam Ahmad bin Hambal, anaknya seorang ulama. Abu Daud رَحِمَهُ اللَّهُ juga anaknya seorang ulama. Bahkan Imam Abu Daud dulu pas bepergian rehlah, di sebagian rehlah beliau bawa anaknya ke sebagian majelis. Dibawa anaknya supaya dia cinta dengan ilmu, supaya dia melihat bagaimana para penuntut ilmu dan juga para ulama bermajelis, sampai anaknya akhirnya juga jadi ulama juga. Nah, ini perlu kesungguhan, ya, harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Jangan sampai menjadi teladan yang tidak baik bagi anak-anaknya yang justru malah menjadikan mereka benci terhadap ilmu itu sendiri.

Kemudian عَنْ أَبِي (an abihi), dia meriwayatkan dari bapaknya mungkin satu lagi, أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ.

قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ: إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى الْمَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا.
Kemudian beliau mendatangkan dengan sanadnya sampai kepada Ubaid Ibnu Umair. Beliau mengatakan, “Iman itu adalah sesuatu yang hayub.” Hayub dari kata هَابَ (takut), dan maknanya ada dua. Maknanya ada dua. Yang pertama, iman adalah hayub, maksudnya adalah menjadikan seseorang takut untuk berbuat maksiat. Menjadikan seseorang pengecut untuk berbuat maksiat, karena di dalam dirinya ada iman. Akhirnya dia pun takut untuk melakukan kemaksiatan. Dia pengecut dalam masalah ini, takut untuk melakukan kemaksiatan.

Makna yang kedua, iman adalah hayub, maksudnya adalah menjadikan orang yang memilikinya, akhirnya dia memiliki haibah, memiliki wibawa, ditakuti oleh manusia. Orang menjadi melihat di dalam diri orang tersebut ada haibah, ada kewibawaan tersendiri, meskipun dia adalah orang yang mungkin secara ekonomi, secara status sosial, dia adalah orang yang tidak punya apa-apa, keimanan yang ada di dalam dirinya, ketakwaan yang ada di dalam dirinya menjadikan akhirnya orang itu memiliki pandangan tersendiri melihat bahwa bahwasanya di dalam diri orang tersebut ada kewibawaan. Dari mana itu semuanya? Karena iman yang ada di dalam hatinya. Dua makna ini tentunya memiliki hubungan yang erat. Tadi makna yang pertama, dia adalah menjadi orang yang juban (penakut, pengecut). Maksudnya adalah takut untuk melakukan kemaksiatan. Yang kedua maknanya adalah dia memiliki, menjadi orang yang berwibawa, memiliki haibah. Hubungannya apa? Orang yang takut kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan, maka akan memiliki haibah. Dan haibah di sini bukan haibah yang dibuat-buat ya. Diam ya setiap kali bertemu orang enggak mau senyum, bukan seperti itu ya. Itu namanya menyeramkan, ya. Bukan memiliki haibah. Haibah mungkin saja dia adalah orang yang suka senyum ya ramah kepada orang lain, cuman dia orang lain merasakan ada haibah tersendiri. Ya, itu yang kita rasakan ketika kita bertemu dengan guru-guru kita,

Kita merasakan ada haibah tersendiri pada diri mereka. Yaitu asalnya adalah keimanan. Ketika seseorang takut kepada Allah, takut untuk melakukan kemaksiatan, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan menjadikan di dalam diri orang tersebut haibah sehingga dia pun memiliki kewibawaan, meskipun tidak dia buat-buat, muncul kewibawaan tersebut karena ketakutan dia dalam melakukan kemaksiatan.

Nah, di antara faedah yang bisa kita ambil dari ucapan Ubaid bin Umair adalah bahwa iman ini memiliki pengaruh ya, memiliki pengaruh terhadap kondisi zahir seseorang. Apa yang ada di dalam hatinya, ketakwaan dia, maka ini akan mempengaruhi pada kondisi zahir seseorang.

Kemudian tentunya di antara faedah yang bisa kita ambil adalah dorongan bagi kita untuk berpegang teguh dengan iman dan juga ketakwaan. Dan ini menunjukkan bahwasanya iman bukan hanya apa yang ada di dalam kalb berupa akidah, tetapi juga akan muncul dan terlihat pada akhlak seseorang.

Baik. Sufyan Ibnu Uyainah. Sufyan ibn Uyainah ini adalah guru dari Ibnu Abi Syaibah. Meninggal pada tahun 198. Kalau Sufyan ats-Tsauri itu lebih dulu. Sufyan ats-Tsauri itu lebih dulu. Meninggal pada tahun 161. Apakah Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan Ibnu Uyainah bertemu? Iya, bertemu. Ini dikenal dengan dua Sufyan. Terkadang ada seseorang rawi meriwayatkan dari dua Sufyan: dari Sufyan ats-Tsauri dan juga dari Sufyan Ibnu Uyainah. Ini perlu ilmu juga. Nah, siapa yang dimaksud dengan Sufyan di sini? Dan terkadang kalau kita bingung, tidak tahu mana ini Sufyan ats-Tsauri atau Sufyan Ibnu Uyainah, tidak masalah karena dua-duanya sama-sama tsiqah. Nah, terkadang kita lihat siapa gurunya. Guru setelah Sufyan. Sufyan ini siapa? Maka seseorang baru tahu ini yang dimaksud adalah Sufyan ats-Tsauri atau Sufyan Ibnu Uyainah. Oh, kalau si fulan berarti maksudnya adalah Sufyan Ibnu Uyainah. Itu ada ilmu tersendiri dan itu asik ya, menjadikan seseorang ketika dia sibuk dengan ilmu hadis dan dia mendapatkan sebuah faedah, terkadang bisa menjadikan seseorang (iya) ee berlalu waktu dan dia tidak sadar ya, dia asyik mencari siapa ini dan bagaimana derajatnya, kemudian bagaimana mana hukum dari hadis ini setelah itu, ya. Ini dorongan bagi antum untuk mempelajari lebih banyak tentang ilmu hadis.

Kemudian dari Amr. Amr di sini adalah Amr ibn Dinar, seorang tsiqah yang tsabat. Meninggal dunia pada tahun 126 Hijriah. Banyak meriwayatkan dari senior sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan dia termasuk ulama Makkah. Sufyan Ibnu Uyainah juga Makkah. Kalau Sufyan As-Tsauri Kufah, ya. Sufyan As-Tsauri Kufah. Kalau Sufyan Ibnu Uyainah Makkah. Meriwayatkan dari ulama dari ulama Makkah sebelumnya itu Amr bn Dinar. An Ubaid bin Umair meninggal pada tahun 74 Hijriah. Seorang tabiin dan beliau juga termasuk ulama Makkah. بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ.

Demikian yang bisa kita sampaikan. Semoga bermanfaat. وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.