Blog
Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 06, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 06, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلّٰهِ, kita akan melanjutkan pembahasan hadis yang ke-8 dan ke-9 (dalam sesi kajian ini, yang merupakan kelanjutan dari hadis ke-5 dan ke-6 pada pertemuan sebelumnya). Sebelumnya, ada sedikit koreksi mengenai biografi Abdullah ibn Mughaffal رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ; beliau meriwayatkan sekitar 43 hadis, bukan hanya 5 hadis seperti yang mungkin tercampur informasinya dengan sahabat lain. Sebagian sahabat memang tidak banyak meriwayatkan hadis, namun status sebagai sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah sebuah keistimewaan yang tak tertandingi oleh siapapun, sekalipun oleh Sayyidut Tabi’in seperti Uwais al-Qarani, yang mana Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sendiri menyuruh para sahabat untuk meminta doa darinya. Para ulama sepakat bahwa keutamaan bersahabat dengan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak dapat dilampaui. Abdullah ibn Mubarak رَحِمَهُ اللَّهُ pernah berkata bahwa debu yang masuk ke hidung Mu’awiyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ saat bersama Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ lebih baik daripada seribu Umar bin Abdul Aziz رَحِمَهُ اللَّهُ.
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri ada kekurangan pada individu sahabat, namun ini tidak mengurangi kemuliaan mereka secara umum. Isu seperti tuduhan nepotisme kepada Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, yang sayangnya terkadang masuk dalam kurikulum sejarah, aslinya adalah syubhat yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi dari Yaman, untuk memecah belah kaum Muslimin. Sikap kita terhadap fitnah yang terjadi di antara para sahabat adalah menahan diri dari mengupas dan mencari-cari kesalahan mereka, apalagi mereka yang telah mendapat jaminan surga dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, seperti Utsman bin Affan رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.
Kita akan membahas hadis tentang wudu, yang diriwayatkan oleh Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ dan Abdullah bin Zaid رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا. Hadis-hadis ini menjelaskan tata cara wudu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ secara lengkap. Penting bagi kita untuk mengetahui dalilnya, bukan hanya sekadar ikut-ikutan, meskipun meniru praktik sunah karena melihat orang lain melakukannya adalah langkah awal yang baik. Memberikan pelajaran dengan praktik adalah metode Nabawi yang lebih mudah diingat daripada teori.
Utsman bin Affan رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ dan Keutamaannya
Utsman bin Affan رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ adalah sahabat mulia, khalifah ketiga setelah Abu Bakar dan Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا. Sifat beliau yang paling menonjol adalah rasa malu yang sangat kuat. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Tidakkah aku pantas untuk malu kepada seseorang yang para malaikat pun malu kepadanya?” Ini merujuk pada Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Dalam sebuah peristiwa, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang berbaring dengan paha atau betisnya terbuka. Ketika Abu Bakar lalu Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا masuk, kondisi beliau tetap sama. Namun, ketika Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ meminta izin masuk, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ segera duduk dan merapikan pakaiannya.
Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ juga dijanjikan masuk surga melalui sebuah musibah. Dalam hadis riwayat Abu Musa Al-Asy’ari رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ di Shahih Bukhari, ketika Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berada di sumur Bir Ha’, Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا datang secara berurutan. Kepada masing-masing, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberikan kabar gembira berupa surga, namun khusus untuk Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, kabar gembira itu disertai dengan musibah yang akan menimpanya. Sa’id ibn Al-Musayyab رَحِمَهُ اللَّهُ menakwilkan posisi duduk mereka (Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di tengah, Abu Bakar di kanan, Umar di kiri, dan Utsman di hadapan mereka karena tidak ada tempat di samping) sebagai isyarat tempat pemakaman mereka. Fitnah besar memang terjadi setelah wafatnya Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, yang merupakan “pintu” penahan fitnah. Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ terbunuh dalam fitnah tersebut. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah berwasiat kepada Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ tentang “pakaian” (kekhilafahan) yang akan Allah berikan, dan jika orang-orang berusaha mencopotnya, ia tidak boleh menyerahkannya. Beliau adalah menantu Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Dzun Nurain, menikahi dua putri beliau), termasuk Khulafaur Rasyidin, dan orang terdekat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Perbedaan Abdullah bin Zaid Periwayat Hadis Wudu dan Adzan
Hadis berikutnya diriwayatkan oleh Abdullah bin Zaid رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Perlu dibedakan antara Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Ansari Al-Mazini, yang meriwayatkan hadis wudu ini, dengan Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi, yang meriwayatkan hadis tentang mimpi adzan. Imam Al-Bukhari رَحِمَهُ اللَّهُ menyatakan bahwa Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi hanya meriwayatkan hadis adzan saja.
Hadis Kedelapan (menurut penomoran kitab, dibahas sebagai yang pertama dalam sesi ini): Tata Cara Wudu dari Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Diriwayatkan dari Humran, mawla (bekas budak) Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, bahwa Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ meminta diambilkan air وَدُوء (waḍū’, air untuk berwudu, berbeda dengan وُضُوء – wuḍū’, perbuatan wudu). Ini menunjukkan bolehnya meminta bantuan dalam menyiapkan air wudu.
Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ kemudian mempraktikkan wudu:
- Beliau menuangkan air dari wadah ke tangannya, lalu mencuci kedua telapak tangannya tiga kali (فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ). Ini adalah sunah di awal wudu, meskipun tidak bangun tidur.
- Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah (setelah dicuci), lalu berkumur-kumur (مَضْمَضَة), menghirup air ke hidung (اِسْتِنْشَاق), dan mengeluarkannya (اِسْتِنْثَار). Sebagian riwayat menyebutkan ketiganya dilakukan, ada yang menyebutkan berkumur dan istinsyaq dengan satu cidukan air, diulang tiga kali. Ada juga riwayat dengan tiga cidukan air untuk tiga kali kumur dan istinsyaq.
- Kemudian beliau membasuh wajahnya tiga kali (ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ). Batas wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut di dahi hingga ke bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga telinga kiri.
- Kemudian beliau membasuh kedua tangannya hingga (termasuk) siku (إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ) tiga kali (ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ). Kata إِلَى (ilā) di sini menurut banyak ahli bahasa bermakna مَعَ (ma’a, beserta), sehingga siku termasuk yang dibasuh.
- Kemudian beliau mengusap kepalanya (ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ). Mengusap (الْمَسْحُ – al-masḥu) adalah melewatkan tangan yang basah, bukan mencuci. Huruf ba’ pada بِرَأْسِهِ menurut mayoritas ulama adalah untuk penguatan (seluruh kepala), bukan lit-tab’īḍ (sebagian), meskipun sebagian ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah memahaminya sebagai sebagian. Semua hadis sahih tentang cara wudu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَSَلَّمَ menyebutkan mengusap kepala hanya sekali.
- Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga (termasuk) kedua mata kaki (إِلَى الْكَعْبَيْنِ) tiga kali (ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ). Ka’bain adalah dua tulang menonjol di pergelangan kaki.
Setelah selesai berwudu, Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ berkata:
“رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ قَالَ: مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.”
(Aku melihat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berwudu seperti wuduku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudu seperti wuduku ini, kemudian salat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri (khusyuk), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”)
Frasa لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ (lā yuḥaddithu fīhimā nafsahū) maksudnya adalah tidak membiarkan pikirannya berkelana dengan urusan dunia atau akhirat yang tidak terkait salat. Jika pikiran melintas lalu ditepis, itu tidak mengapa. Pengampunan dosa yang dimaksud di sini adalah dosa-dosa kecil; dosa besar memerlukan taubat khusus. Urutan dalam wudu (التَّرْتِيبُ – at-tartīb) yang dicontohkan menunjukkan kewajibannya.
Hadis Kesembilan (menurut penomoran kitab, dibahas sebagai yang kedua dalam sesi ini): Tata Cara Wudu dari Abdullah bin Zaid رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Diriwayatkan dari Amr bin Yahya Al-Mazini dari ayahnya, bahwa seorang bertanya kepada Abdullah bin Zaid رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ tentang tata cara wudu Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Maka beliau meminta satu wadah air (تَوْر مِنْ مَاءٍ – tawr min mā’, bejana kecil biasanya dari tembaga).
- Beliau menuangkan air ke kedua tangannya, lalu membasuh kedua tangannya tiga kali (فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا).
- Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah, lalu berkumur, menghirup air ke hidung, dan mengeluarkannya tiga kali dengan tiga cidukan air (ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ، فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ، وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدٍ، فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا).
- Kemudian beliau memasukkan tangannya lagi, lalu membasuh wajahnya tiga kali (ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ، فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا).
- Kemudian beliau memasukkan tangannya lagi, lalu membasuh kedua lengannya hingga siku dua kali (ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ، فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ). (Meskipun riwayat ini menyebutkan dua kali, Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan ada riwayat lain yang lebih kuat dari jalur Abdullah bin Zaid yang juga menyebutkan tiga kali). Ini menunjukkan bolehnya berbeda jumlah basuhan antar anggota wudu, namun mengikuti yang paling sering dicontohkan (tiga kali) adalah lebih utama.
- Kemudian beliau memasukkan tangannya lagi, lalu mengusap kepalanya, dengan menjalankan kedua tangannya dari depan ke belakang (hingga tengkuk – قَفَا) lalu mengembalikannya lagi ke depan, sekali usapan (ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ، فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ، فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ، مَرَّةً وَاحِدَةً). Cara ini berlaku sama untuk laki-laki dan perempuan; yang diusap adalah kepala, bukan rambut panjangnya.
- Kemudian beliau membasuh kedua kakinya (ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ – umumnya tiga kali, meskipun tidak secara eksplisit disebut jumlahnya dalam potongan matan ini).
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri رَحِمَهُ اللَّهُ mengatakan bahwa guru-guru mereka menyatakan bahwa wudu yang diriwayatkan Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (tiga kali basuhan untuk setiap anggota) adalah wudu yang paling sempurna. Namun, wudu dengan dua kali basuhan atau sekali basuhan (seperti dalam riwayat Ibnu Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا) juga sah dan pernah dilakukan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Memilih yang lebih ringkas namun sempurna lebih baik daripada tiga kali basuhan tetapi tidak sempurna.
Tanya Jawab
- Wudu dengan alat semprot (spray)? Boleh, selama air merata ke seluruh anggota wudu.
- Wanita berambut panjang mengusap kepala? Sama caranya, dari depan kepala hingga tengkuk, lalu kembali ke depan. Tidak harus seluruh rambut panjangnya terbasuh, yang penting bagian kepala terusap.
- Cara belajar (pertanyaan panjang)? Fokus pada tanggung jawab terdekat (hafalan, ujian, dll.). Akan datang masanya untuk hal lain.
- Menyikapi hadis ḍa’īf? Hukum asalnya tidak diamalkan jika ada hadis sahih. Sebagian ulama membolehkan untuk faḍā’ilul a’māl (keutamaan amal) jika kelemahannya tidak parah, bukan untuk hukum inti atau akidah, dan tidak diyakini sahih.
- Bolehkah membasuh muka sekali, bagian lain tiga kali? Boleh, tetapi mengikuti sunah (mayoritas tiga kali) lebih utama.
- Menjeda wudu karena ngobrol? Jika anggota wudu sebelumnya masih basah, boleh dilanjutkan. Jika sudah kering (dalam kondisi normal), ulama umumnya berpendapat harus diulang karena syarat muwālāh (berkesinambungan) tidak terpenuhi.
- Apakah perawi hadis harus laki-laki? Tidak. Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا adalah salah satu perawi hadis terbanyak.
- Sebab dibolehkannya salat jamak karena hujan? Karena adanya kesulitan (masyaqqah). Jika hujan tidak menyulitkan, tidak boleh jamak.
- Amalan meludah kecil tiga kali ke kiri saat was-was dalam salat? Tidak teringat riwayat spesifik untuk was-was dalam salat, namun ada untuk mimpi buruk. Meludah dalam salat (jika terpaksa) ke arah kiri atau bawah kaki kiri (jika lantai tanah dan tidak ada orang), bukan ke kanan atau depan.
- Menerobos saf untuk mendapatkan saf pertama saat iqamah? Tidak baik jika menyakiti atau mengganggu orang lain. Datanglah lebih awal.
- Mengusap telinga dalam wudu? Kedua telinga bagian dari kepala. Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengusap telinganya dengan air sisa dari mengusap kepala.
- Agar pikiran tidak ke mana-mana saat salat? Memahami bacaan salat (baik bacaan sendiri maupun bacaan Imam). Variasikan doa iftitah dan bacaan lainnya.
- Dalil ulama yang mewajibkan muwālāh (berkesinambungan dalam wudu)? Perbuatan wudu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang selalu berkesinambungan. Perintah beliau kepada orang yang di kakinya ada bagian kering belum terbasuh untuk mengulangi wudunya (bukan hanya membasuh bagian yang kering).
Mudah-mudahan bermanfaat. Apabila ada yang salah, saya siap untuk merujuk kepada pendapat yang sesuai dengan dalil.
اللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَاب.
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ