Dr. Emha Hasan Ayatullah M.A, Kajian Kitab, Kitab Umdatul Ahkam

Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 05, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

5 views

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلّٰهِ, kita akan melanjutkan pembahasan hadis yang ke-5 dan ke-6 (dalam sesi kajian ini). Semoga Allah عَزَّ وَجَلَّ memberikan istiqamah kepada kita untuk lebih dekat kepada hadis. Setiap ibadah yang kita lakukan dan pilihan yang kita rajih-kan (unggulkan) hendaknya selalu berpegang pada hadis yang sahih. Ini adalah harapan semua mazhab; tidak ada Imam mazhab satu pun yang mengajak untuk fanatik atau menyelisihi dalil hanya karena berpegang pada pernyataan Imam. Dinukil dari masing-masing Imam mazhab, ternyata mereka semua melarang para pengikutnya untuk mengikuti pendapat mereka apabila pendapat itu berseberangan dengan hadis.

Di antaranya adalah yang dinukil dari Imam Abu Hanifah رَحِمَهُ اللَّهُ, beliau katakan, “Apabila aku memiliki sebuah pendapat lalu menyelisihi Al-Qur’an dan hadis Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka tinggalkan perkataanku.” Pernyataan Imam Malik رَحِمَهُ اللَّهُ juga masyhur, beliau katakan, “Setiap orang bisa diambil dan ditolak perkataannya, kecuali Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang dikuburkan di tempat ini (Madinah).”

Imam Asy-Syafi’i رَحِمَهُ اللَّهُ juga mengatakan serupa, “Para ulama telah sepakat bahwa orang yang sudah jelas mendengar satu hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka dia tidak boleh meninggalkan hadis tersebut karena pendapat seorang pun.” Bahkan dalam riwayat lain, Al-Imam Asy-Syafi’i رَحِمَهُ اللَّهُ mengatakan, “Jika aku meriwayatkan hadis yang sahih kemudian aku tidak amalkan, maka saksikanlah oleh kalian bahwa akalku telah hilang.”

Apalagi pernyataan Imam Ahmad رَحِمَهُ اللَّهُ, yang dikenal dengan keteguhan dalam berpegang dengan sunah. Beliau termasuk di antara ulama yang bertahan disiksa karena mempertahankan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah (bukan makhluk). Beliau tegas memerintahkan umat untuk berpegang dengan sunah, seraya berkata, “Prinsip kami adalah berpegang dengan semua ajaran para sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, kita meneladani mereka, dan kita tinggalkan semua hal yang bidah, dan setiap bidah adalah sesat.”

Maka, tidak ada satu Imam mazhab pun yang menyatakan bahwa pendapat mereka harus dipegang teguh jika bertentangan dengan dalil. Sayangnya, sebagian orang diuji dengan sikap fanatik kepada guru atau pengikutnya. Ibn Rajab Al-Hanbali رَحِمَهُ اللَّهُ mengingatkan, terkadang seseorang menyangka perbuatannya termasuk ibadah terpuji, seperti mempraktikkan hadis tentang mencintai dan membenci karena Allah (yang merupakan bagian iman yang kuat), namun tanpa disadari ia terperosok dalam fanatisme. Ini harus kita ingat, Ikhwan sekalian. Tugas setiap Muslim Ahlussunnah Wal Jamaah adalah siap berpegang dengan hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebagaimana keinginan para ulama.

Sikap terhadap Pendapat Ulama yang Berbeda dengan Hadis Sahih

طَيِّبٌ, bagaimana jika pendapat seorang Imam ternyata tidak rajih (kuat) atau marjuh (lemah) dibandingkan hadis sahih? Ini tidak berarti para ulama tersebut menyelisihi sunah secara sengaja. Para ulama telah mencapai martabat ijtihad. Jika ijtihad mereka salah, mereka mendapat satu pahala; jika benar, dua pahala. Ketika ada perbedaan pendapat, sikap seorang Muslim adalah mencari kebenaran dan memberikan udzur (alasan yang bisa diterima) bagi pendapat ulama yang tidak rajih tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رَحِمَهُ اللَّهُ menyebutkan sekitar 20 alasan mengapa seorang Imam bisa memiliki pendapat yang berbeda dengan hadis sahih, di antaranya: hadis itu belum sampai kepadanya, atau sampai namun melalui jalur yang tidak sahih menurutnya, atau ia menganggap hadis itu mansukh (dihapus hukumnya), dan banyak lagi.

Tugas kita ada dua: pertama, mengikuti pendapat yang benar berdasarkan dalil, tanpa mencela yang berbeda mazhab. Kedua, mencarikan udzur bagi ulama yang pendapatnya tidak sejalan dengan yang kita anggap rajih. Tidaklah aib bagi seorang murid bertanya kepada gurunya tentang dalil yang mendasari pendapatnya, dan tidak pula aib bagi seorang guru untuk ruju’ (kembali) dari pendapatnya jika menemukan dalil yang lebih kuat. Semoga dengan belajar hadis ini, kita bisa mempraktikkan hal tersebut.

Hadis Kelima: Larangan Kencing dan Mandi di Air Tergenang

طَيِّبٌ, hadis kelima (dalam pembahasan kita) dari Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

“لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ.”

(Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian kencing di air yang diam/tergenang yang tidak mengalir, kemudian ia mandi di dalamnya).

Dalam riwayat lain disebutkan, “ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ” (kemudian ia mandi dari air itu).

Dalam riwayat Muslim, juga dari Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:

“لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ.”

(Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di air yang diam/tergenang sementara ia dalam keadaan junub).

Hadis ini berkaitan dengan larangan mencemari air. Al-Hafizh Ibnu Hajar رَحِمَهُ اللَّهُ menjelaskan bahwa frasa “الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي” (air diam yang tidak mengalir) bisa jadi untuk penguatan makna atau untuk membedakan jenis air diam.

Para ulama berbeda pendapat apakah larangan ini bersifat haram atau makruh. Sebagian ulama, seperti Hanabilah dan Zhahiriyyah, memaknainya haram karena memasukkan najis ke dalam air. Mazhab Malikiyyah umumnya memakruhkan karena tidak semua air langsung menjadi najis jika kemasukan najis. Jalan tengahnya, haram jika airnya sedikit, makruh jika airnya banyak.

Mengenai air yang sudah tercampur kencing:

  • Jika airnya banyak (seperti mā’un mustabḥir, air yang sangat banyak seperti laut) dan tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, warna), maka air tersebut tetap suci. Hadis “الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ أَوْ طَعْمِهِ أَوْ لَوْنِهِ” (Air itu suci mensucikan, tidak ada sesuatu yang menajiskannya kecuali jika berubah bau, rasa, atau warnanya) – meskipun sanadnya ḍa’īf, maknanya disepakati (ijmā’) oleh ulama.
  • Jika airnya sedikit lalu kemasukan kencing dan berubah sifatnya, maka menjadi najis.
  • Jika ragu apakah air terciprat najis atau tidak, maka kembali kepada keyakinan (air asalnya suci) dan tinggalkan was-was.

Larangan “ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ” (mandi di dalamnya) atau “مِنْهُ” (darinya) menunjukkan bahwa kedua perbuatan tersebut dilarang jika airnya sudah tercemar. Larangan mandi junub di dalam air tergenang bukan berarti tidak boleh mandi sama sekali, tetapi tidak boleh dengan cara menceburkan diri karena akan mengotori air. Cara mandinya adalah dengan mengambil atau menciduk air dari tempat tersebut.

Mengenai status air yang dipakai mandi junub, jika air mani dianggap najis, maka airnya menjadi najis. Namun, mayoritas ulama (dan ini وَاللَّهُ أَعْلَمُ yang lebih kuat) menyatakan air mani tidak najis. Larangan tersebut lebih kepada menjaga kebersihan air agar tetap bisa digunakan untuk bersuci oleh orang lain. Sebagian ulama yang membagi air menjadi tiga (suci mensucikan, suci tidak mensucikan, dan najis) berpendapat air tersebut turun levelnya menjadi suci tetapi tidak mensucikan. Namun, pendapat yang rājih (kuat) adalah air tetap suci dan mensucikan selama tidak berubah sifatnya.

Hadis Keenam: Tata Cara Membersihkan Bejana yang Dijilat Anjing

Hadis berikutnya dari Abdullah ibn Mughaffal رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

“إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ.”

(Apabila anjing minum (menjulurkan lidahnya) di bejana salah seorang di antara kalian, maka cucilah bejana itu tujuh kali, yang pertama dicampur dengan tanah/debu).

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, “فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ” (maka hendaklah ia menuang isinya, kemudian mencucinya tujuh kali).

Lafaz وَلَغَ (walagha) berarti minum dengan ujung lidah. Jika yang dijilat adalah makanan padat, istilahnya لَحَسَ (lahasa).

Mayoritas ulama berpendapat perintah mencuci ini disebabkan najisnya air liur anjing. Namun, Mazhab Malikiyyah berpendapat anjing itu suci, dan perintah mencuci ini bersifat ta’abbudi (ibadah murni tanpa perlu diketahui sebabnya). Argumen Malikiyyah adalah di zaman Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ anjing sering berkeliaran di sekitar masjid dan tidak ada perintah sterilisasi rutin, juga dibolehkannya memelihara anjing untuk berburu atau menjaga.

Pendapat mayoritas (jumhur) ulama adalah air liur anjing itu najis berat (najis mughallazhah), sehingga wajib dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Imam Abu Hanifah رَحِمَهُ اللَّهُ berpendapat cukup tiga kali jika sudah bersih. Perintah mencuci ini menurut jumhur tidak harus segera (fawriyyah). Penggunaan tanah (turāb) adalah dengan mencampurkannya dengan air. Riwayat yang paling kuat adalah campuran tanah digunakan pada cucian yang pertama (“أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”). Menurut Mazhab Syafi’i dan Syaikh Ibnu Utsaimin رَحِمَهُ اللَّهُ, tanah tidak bisa digantikan dengan sabun atau bahan kimia lain. Hukum ini berlaku untuk semua barang yang terkena liur anjing. Jumhur ulama juga memberlakukan hukum ini untuk bagian tubuh anjing lainnya yang najis. Perintah ini berlaku umum untuk semua anjing, namun jumhur memberikan rukhshah (keringanan) untuk anjing buruan atau penjaga karena seringnya interaksi.

Tanya Jawab

  • Cara lepas dari kecanduan game? Sibukkan diri dengan aktivitas bermanfaat dan membahagiakan, terutama yang bersifat fisik (olahraga). Minta pertolongan kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ.
  • Hukum merayakan Hari Santri? Jika diniatkan sebagai ibadah, tidak ada tuntunannya. Jika ada hari yang lebih pantas diperingati, mungkin Hari Ulama atau Hari Sahabat, namun hal seperti ini tidak ada syariatnya.
  • Ulama Zhahiriyyah? Yang paling terkenal dan memiliki karya rujukan adalah Ibnu Hazm رَحِمَهُ اللَّهُ dengan kitabnya Al-Muhalla. Pencetus mazhabnya adalah Dawud Azh-Zhahiri. Ibnu Hazm dikenal cerdas dan tegas, namun bahasanya terkadang keras.
  • Menyikapi pendapat jumhur? Tidak perlu dibantah tanpa alasan. Jika memiliki dalil lain yang lebih kuat, boleh berbeda pendapat, namun harus berdasarkan dalil, bukan sekadar ingin tampil beda atau mencari yang mudah.
  • Persiapan mempelajari hadis? Sama seperti mempelajari ilmu lain: ikhlas, kesungguhan, dan kesabaran. Hindari menjadi “setengah-setengah” dalam belajar. Minta pertolongan Allah عَزَّ وَجَلَّ dan jangan mudah menyerah.
  • Bangun tidur dalam keadaan basah (tanpa mimpi)? Jika air kencing, maka najis dan harus dibersihkan. Jika sperma, maka itu junub dan wajib mandi. Ini normal. Jika khawatir karena gangguan setan, berwudulah sebelum tidur dan baca ayat Kursi serta dua ayat terakhir Surat Al-Baqarah.
  • Hukum menggunakan air sisa wudu lawan jenis? Boleh. Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mandi dari sisa air Maimunah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا, istrinya.
  • Jawaban jumhur terhadap pendapat Malikiyyah tentang kesucian anjing dan perintah mencuci 7x bersifat ta’abbudi? Jumhur berpendapat: Keberadaan anjing di zaman Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak menunjukkan kesuciannya, karena air kencing anjing disepakati najis oleh semua (termasuk Malikiyyah). Mulut dan lidah adalah bagian paling “terhormat” dari anjing; jika itu saja najis, maka bagian lain lebih najis lagi. Memahami hukum dengan alasan (mu’allal) lebih diutamakan daripada sekadar menganggapnya ta’abbudi. Tidak boleh mencari-cari keringanan dari berbagai mazhab tanpa landasan dalil yang kuat.

Mudah-mudahan bermanfaat dan kurang lebihnya mohon maaf.

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.