Dr. Abdullah Roy, M.A, Kajian Kitab, KKitab Khudz 'Aqidatak Min Al-Kitab Wa As-Sunnah As-Shahihah

Dauroh Kitab Khudz ‘Aqidatak Min Al-Kitab Wa As-Sunnah As-Shahihah – 04

4 views

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَيْن.

Kita lanjutkan pada sesi yang keempat ini, dan semoga اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memudahkan dan memberkahi waktu kita.

Tawasul yang Diperbolehkan

Disebutkan: “Dan boleh seseorang bertawasul dengan kecintaan kita kepada Rasul (ﷺ), dengan mengatakan, ‘Ya Allah, dengan kecintaanku kepada Rasul (ﷺ), kabulkanlah doaku.'” Kenapa demikian diperbolehkan? Karena kecintaan kita kepada Rasul (ﷺ) termasuk amal saleh, berarti masuk dalam kategori bertawasul dengan amal saleh. Seandainya seorang mengatakan, “Ya Allah, kalau memang saya ini cinta kepada Rasulullah ﷺ, maka kabulkanlah doa saya,” ini sahih dan termasuk tawasul dengan amal saleh.

Atau, bertawasul dengan kecintaan Allah kepada Rasulullah (ﷺ). Bertawasul dengan menyebutkan kecintaan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى kepada Rasulullah (ﷺ) boleh atau tidak? Boleh, karena ini termasuk sifat Allah. Di antara sifat اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى adalah mencintai. Sehingga ketika seorang berkata, “Ya Allah, aku bertawasul dengan kecintaan-Mu kepada Rasulullah (ﷺ),” ini diperbolehkan karena termasuk (bertawasul dengan) sifat اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Kepada Rasul dan juga wali-wali.

Contoh lainnya adalah kisah orang-orang yang terperangkap di dalam gua, seperti yang tadi kita sebutkan, yaitu mereka yang bertawasul dengan amal-amal mereka yang saleh. Akhirnya, اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengeluarkan mereka dan memberikan jalan keluar. Ketika اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memberikan jalan keluar dan mengabulkan doa mereka, ini menunjukkan bahwa tawasul semacam ini termasuk perkara yang disyariatkan. Makanya, kita berusaha sebaik mungkin dalam beramal, seikhlas mungkin, dan sebisa mungkin sesuai dengan sunah Nabi ﷺ, sehingga kita pun bisa bertawasul dengan menyebutkan amal saleh tersebut. Itu adalah tawasul-tawasul yang diperbolehkan. Silakan Antum ketika berdoa memilih salah satu di antara tawasul-tawasul tadi atau menggunakan semuanya, tidak masalah.

Tawasul yang Dilarang (Attawasulul Mamnu’)

Di sana ada tawasul yang tidak diperbolehkan. Ada di antaranya yang sampai kepada kesyirikan, dan ada di antaranya yang tidak sampai kepada kesyirikan, tapi dia adalah bidah di dalam agama. Di antaranya adalah berdoa kepada orang yang meninggal dunia. Ingin dikabulkan doanya oleh Allah, tapi tidak langsung kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, melainkan lewat wali. Makanya, dia pun berdoa kepada wali, “Ya Wali, tolong doakan kepada Allah.” Ini berarti tidak langsung kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, tapi dia berdoa kepada orang yang meninggal dunia.

Tawasul yang seperti ini tidak boleh. Tawasul yang seperti ini termasuk kesyirikan yang besar. Meminta kepada mereka, “Doakan ya Syekh, doakan ya Wali,” sebagaimana itu terjadi di hari ini. Karena beliau (penulis) adalah orang Suriah, tahu biasanya di sana banyak orang-orang yang mengagungkan kuburan-kuburan wali. Dan yang demikian adalah syirik akbar (besar), karena berdoa kepada selain اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Ini adalah tawasul yang tidak diperbolehkan, dan ini yang kita ingkari. Yang kita ingatkan kepada manusia supaya jangan melakukannya. Bukan semakin dekat kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, justru malah semakin jauh dengan melakukan tawasul yang seperti ini.

Karena sebagian orang ketika disampaikan seperti ini, (mereka berkata) “Oh, berarti Antum mengingkari tawasul?” Bukan, yang kita ingkari adalah tawasul yang mamnu’ (terlarang), tawasul yang tidak diperbolehkan. Adapun tawasul yang ada dalilnya, silakan. Bahkan kita mendorong, kita sendiri juga bertawasul dengan perkara-perkara yang diperbolehkan.

Karena firman اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Jangan engkau berdoa kepada selain اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sesuatu yang tidak memberikan manfaat kepadamu dan tidak memberikan mudarat.” (QS. Yunus: 106). Termasuk di antaranya adalah berdoa kepada orang yang meninggal dunia dengan tujuan supaya dia mendoakan; sama saja, juga tidak diperbolehkan. Apalagi kalau dia mengatakan, “Ya Syekh, sembuhkan saya, berikan rezeki kepada saya.” Ini tentunya jelas merupakan kesyirikan.

Jadi, ini termasuk di antara hal yang mungkin rumit atau syubhat yang kuat yang ada pada sebagian orang, karena mereka menganggap, “Saya kan tidak berdoa, saya cuma minta supaya didoakan.” Dia mengatakan demikian, “Saya tidak berdoa, saya minta untuk didoakan.” Saya mengatakan kepada wali tersebut, “Ya Wali, doakan saya kepada Allah,” sehingga dia menganggap itu boleh. Yang tidak boleh adalah ketika saya mengatakan, “Ya Wali, berikan rezeki kepada saya.” Ini termasuk perkara yang samar, banyak di antara mereka yang belum bisa membedakan atau tidak mengetahui bahwasanya dua-duanya hukumnya ini sama, baik mengatakan, “Ya Wali, berikan rezeki kepada saya,” atau mengatakan, “Ya Wali, doakan saya.” Itu sama-sama dinamakan dengan berdoa, meminta kepada orang yang meninggal dunia.

فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Kalau engkau melakukan yang demikian, sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang zalim,” (QS. Yunus: 106) yakni termasuk orang-orang yang musyrikin. Ini adalah tawasul yang mamnu’ (terlarang), yang tidak boleh, dan dia termasuk syirik yang besar.

Nah, di sana ada tawasul yang tidak boleh tetapi tidak sampai kepada kesyirikan yang besar, yaitu bertawasul dengan jah (kedudukan) Rasulullah ﷺ, kemuliaan beliau. Seperti mengatakan, “Ya Allah, dengan kemuliaan Nabimu, kabulkanlah doa saya. Ya Allah, dengan kedudukan Nabimu, kabulkanlah doa saya.” Nah, ini namanya bertawasul dengan jah Rasul, dengan kedudukan dan kemuliaan Nabi ﷺ. Apakah ini diperbolehkan? Tidak diperbolehkan. Seperti ucapan sebagian mereka, “Wahai Rabb, Ya Allah, dengan keutamaan Muhammad ﷺ, sembuhkanlah aku.”

Dia berdoanya kepada siapa? Nah, ketika dia mengatakan, “Ya Allah, dengan kemuliaan Muhammad, sembuhkanlah aku,” berdoanya kepada siapa? Kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Dia tidak berdoa kepada selain اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, sehingga tidak dinamakan kesyirikan. Syirik itu kalau dia berdoa kepada selain اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Dia berdoanya kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, cuma dengan cara yang tidak diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, yaitu bertawasul dengan kemuliaan atau kedudukan Rasulullah ﷺ. Maka yang demikian adalah bidah.

Karena sahabat tidak melakukannya. Alasan yang kedua, karena Umar رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ pernah bertawasul dengan Abbas (رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ) dalam keadaan Abbas masih hidup, bertawasul dengan doa beliau. Dan Umar tidak bertawasul dengan Rasulullah ﷺ setelah meninggalnya beliau. Beliau tidak berdoa kepada Rasul, “Ya Rasulullah, tolong doakan,” padahal saat itu dalam keadaan kemarau yang panjang dan parah, sehingga banyak orang yang kelaparan, banyak hewan yang meninggal dunia, tanam-tanaman tidak tumbuh. Dalam keadaan seperti itu, tentunya seseorang seperti Umar akan melakukan perkara yang paling baik, perkara yang bisa menjadi sebab turunnya hujan segera. Apa yang beliau lakukan? Beliau melakukan salat Istisqa dan meminta kepada Abbas untuk berdoa. Beliau tidak melakukan yang pertama (datang ke makam Nabi ﷺ), tidak datang ke makam Nabi ﷺ kemudian mengatakan, “Ya Rasulullah, doakan kepada Allah.” Tidak. Beliau juga tidak bertawasul dengan kedudukan Nabi atau kemuliaan Nabi ﷺ. Tapi yang beliau lakukan adalah yang diperbolehkan, yaitu meminta doa orang yang masih hidup. Ini termasuk di antara tawasul yang diperbolehkan: kita meminta doanya orang yang masih hidup, minta doa orang tua misalnya. Boleh seorang minta doa orang yang masih hidup untuk mendoakan, meskipun jangan dijadikan ini sebagai kebiasaan. Yang lebih utama justru seorang berdoa sendiri, meminta kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى sendiri.

Tawasul yang seperti ini, meskipun dia tidak sampai kepada kesyirikan, tapi dikhawatirkan bisa menggiring seseorang untuk berbuat syirik. Kenapa demikian? Yang demikian itu ketika dia meyakini bahwasanya اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى membutuhkan perantara dari kalangan manusia. Kalau sampai meyakini Allah tidak akan mengabulkan kecuali dengan adanya perantara manusia, seperti ketika manusia ingin datang ke penguasa dan penguasa tidak mengijabahi kecuali apabila di sana ada perantara, maka yang demikian dikhawatirkan akan membawa dia untuk melakukan kesyirikan. Jadi awalnya dengan bertawasul dengan kemuliaan Nabi, kedudukan Nabi, lama-kelamaan setan memberikan bisikan bahwasanya Allah tidak akan mengijabahi kecuali apabila engkau berdoa kepada Nabi, menjadikan beliau sebagai perantara. Ini yang dikhawatirkan, sehingga seseorang tentunya tidak bermudah-mudahan. Dan di sini beliau mengatakan, karena dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk. Kapan? Ketika dia meyakini bahwasanya kita tidak mungkin diijabahi doanya kecuali apabila kita mengangkat perantara, seperti keyakinan orang tidak bisa sampai kepada penguasa kecuali harus menemui wakilnya, harus menemui ajudannya. Nah, ucapan dia yang seperti ini, ucapan yang berbahaya karena dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk. Kalau penguasa, ya jelas dia butuh wakil, dia butuh ajudan. Presiden tidak mungkin dia mengurus dari Sabang sampai Merauke; di sana ada urusan keamanan yang harus dia selesaikan, pendidikan, kesehatan, hubungan dengan luar negeri. Bagaimana dia bisa menyelesaikan itu sendiri? Dia perlu bantuan menteri dan seterusnya.

Tapi اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, Rabbul ‘Alamin, Dialah yang yudabbirul amr (mengatur segala urusan). Dialah yang mengurus segalanya. Sebanyak apapun urusan, yang ini Allah urus, keluarga itu Allah urus. Bukan hanya manusia saja, jin juga Allah urus, hewan yang ada di dalam bumi, yang ada di bawah lautan, اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang mengurus mereka semuanya, dan tidak ada yang dilalaikan oleh اللهُ عَزَّ وَجَلَّ. Dialah Yang Maha Mendengar. Lalu bagaimana seseorang menyamakan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan makhluk? Untuk mengetahui perincian yang lebih banyak dan dalil-dalil tentang permasalahan ini, (seperti kata) Syekh Albani (رَحِمَهُ اللَّهُ), hendaknya seseorang kembali kepada sebuah kitab “At-Tawassul: Ahkamuhu wa Anwa’uhu” (Tawasul: Hukum-hukum dan Jenis-jenisnya) yang ditulis oleh Syekh Al-Albani (رَحِمَهُ اللَّهُ). Syekh penulis ini pernah belajar dengan Syekh Al-Albani (رَحِمَهُ اللَّهُ), pernah belajar dengan beliau. Maka ini kitab yang khusus membahas tentang masalah tawasul, yang boleh maupun yang tidak boleh.

Perlunya Perantara dalam Berdoa

Apakah berdoa itu perlu perantara manusia? Doa itu tidak perlu, tidak harus perantara dari manusia. Masing-masing dari kita bisa mengangkat tangannya berdoa kepada اللهُ عَزَّ وَجَلَّ, tidak ada yang menghalangi. Dalilnya adalah:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.”1 (QS. Al-Baqarah: 186). Allah2 dekat, bukan jauh, sehingga seseorang mengharuskan dirinya untuk ketika berdoa harus ada syafaat, harus ada perantara, sebagaimana dia membayangkan jauhnya dia dengan penguasa. Tidak, اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى Dialah yang Qarib (dekat). Antum berdoa di mana saja, Allah mendengar. Sebanyak apapun doa yang Antum sampaikan, Allah mendengar, melihat di mana pun Antum berada, dalam keadaan susah bagaimanapun, اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى Dialah yang mengetahui, mendengar, melihat. Alhamdulillah yang telah memberikan hidayah kepada kita untuk menyembah Rabb yang memang berhak untuk disembah.

Dan Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ

“Sesungguhnya kalian berdoa kepada Zat yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama kalian (dengan ilmu-Nya).” (Hadis). Sehingga tidak perlu adanya perantara-perantara tersebut. Dan Dia bersama kalian dengan ilmu-Nya, sebagaimana sudah kita jelaskan. Berdoa langsung kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Bolehkah meminta doa dari orang yang masih hidup? Masih hidup, bukan dari orang yang sudah meninggal dunia. اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman, berbicara kepada Rasulullah ﷺ yang masih dalam keadaan hidup:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Dan mohonkanlah ampun untuk dosamu dan untuk orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun wanita.” (QS. Muhammad: 19). Berarti boleh seorang minta doa orang yang masih hidup.

Dan di dalam hadis yang sahih diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa seorang laki-laki yang buta datang kepada Nabi ﷺ kemudian dia mengatakan, “Ya Rasulullah, doakanlah, berdoalah kepada Allah supaya Allah memberikan kesehatan, kesembuhan kepada diriku.” Dan Nabi ﷺ tidak mengingkari, menunjukkan boleh seseorang meminta doa dari orang yang masih hidup. Tapi seperti yang tadi kita sebutkan, yang afdal adalah kita berdoa sendiri. Lebih tercela lagi ketika seseorang lebih mengutamakan minta doa kepada orang lain daripada dia berdoa sendiri, sehingga setiap kali dia bertemu, (dia berkata) “Doakan saya, doakan saya,” tapi dia sendiri tidak pernah berdoa. Ini tercela yang demikian.

Makna Nabi ﷺ sebagai Perantara (Wasithah)

Lalu, apa yang dimaksud dengan Nabi sebagai perantara? Makna perantara yang sahih itu bagaimana? Nabi sebagai perantara antara kita dengan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, apa maksudnya? Perantaraan beliau ﷺ adalah di dalam menyampaikan (wahyu). Jadi, wahyu tidak sampai kepada kita secara langsung dari اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, (tetapi) lewat Rasulullah ﷺ. Makanya beliau perantara, maksudnya adalah dalam sampainya wahyu kepada manusia. Bukan perantara ketika seseorang berdoa tidak sampai doa tersebut kepada Allah kecuali lewat Rasul. Tidak. Jadi, ada makna perantara yang sahih, ada makna perantara yang tidak sahih. Yang sahih, beliau ﷺ sebagai perantara maksudnya adalah perantara dalam sampainya wahyu kepada kita masing-masing. اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan kepada Nabi-Nya:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu.”3 (QS. Al-Ma’idah: 67). Sampaikanlah, karena beliau sebagai perantara.

Dan Nabi ﷺ di dalam sebuah hadis mengatakan kepada Allah, “Ya Allah, saksikanlah.” Maksudnya adalah, “Saksikanlah Ya Allah, saya sudah sampaikan.” Ya, terkadang beliau sampaikan kepada para sahabat, setelah itu beliau mengatakan, “Allahumma-shhad” (Ya Allah, saksikanlah). Maksudnya adalah, saksikanlah bahwa saya sudah menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepada beliau. Sebagai jawaban dari ucapan para sahabat, “Kami bersaksi bahwasanya engkau telah menyampaikan.” Para sahabat tahu ini adalah seorang utusan Allah, diwahyukan kepada beliau, makanya tugas beliau menyampaikan kepada para sahabat larangan, perintah, khabar, dan para sahabat sadar Nabi ﷺ telah menyampaikan semuanya. Akhirnya mereka pun mengatakan, “Kami bersaksi bahwasanya engkau telah menyampaikan kepada kami.” Hadis ini sahih diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Syafaat Rasulullah ﷺ

Dari siapa kita meminta syafaat Rasulullah ﷺ? Kita meminta syafaat Rasul dari اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Cara mendapatkan syafaat Rasul adalah dari اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Nah, kalau masalah tawasul tadi sudah selesai, sekarang kita membahas tentang masalah syafaat. Kita semuanya ingin syafaat, dan kita beriman dengan syafaat di hari kiamat. Bagaimana caranya untuk mendapatkan syafaat Rasulullah ﷺ? Cara mendapatkannya adalah dari اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, karena اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى Dialah yang menguasai, Dialah yang memiliki syafaat semuanya. اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا

“Katakanlah: ‘Milik Allah seluruh syafaat’.” (QS. Az-Zumar: 44). Jadi, syafaat para malaikat, syafaat para nabi, syafaat orang-orang yang beriman di hari kiamat itu adalah milik Allah. Mereka tidak akan memberikan syafaat kepada seorang pun kecuali setelah diizinkan oleh Allah. Allah izinkan kepada si Fulan untuk memberikan syafaat, baru dia bergerak memberikan syafaat. Allah izinkan kepada seorang malaikat untuk memberikan syafaat, baru dia berbicara meminta kepada Allah untuk kebaikan si Fulan dan si Fulan. Tapi kalau Allah tidak mengizinkan, mereka tidak berani ngomong. Jangankan memberikan syafaat, berbicara saja mereka tidak berani. Semua makhluk saat itu dalam keadaan diam, kecuali yang diizinkan oleh Allah untuk berbicara.

لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَٰنُ

“Mereka tidak berbicara kecuali yang diizinkan oleh Allah untuk berbicara.” (QS. An-Naba’: 38). Semuanya dalam keadaan khusyuk, dalam keadaan takut. Ketika Allah mengizinkan, “Silakan Antum berikan syafaat,” barulah dia memberikan syafaat.

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Tidak ada yang memberikan syafaat di sisi Allah di hari kiamat kecuali setelah diizinkan oleh Allah.” (QS. Al-Baqarah: 255). Makanya, kalau kita ingin syafaat Rasul, kita memintanya kepada Allah.

Dan beliau ﷺ mengajarkan seorang sahabat untuk mengatakan:

اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ

“Ya Allah, izinkan Nabi Muhammad untuk memberikan syafaat kepadaku.” Ini caranya. “Ya Allah, izinkan Nabi Muhammad untuk memberikan syafaat kepadaku.” Jadi, mintanya langsung kepada Allah. Kalau Allah mengabulkan, nanti Allah akan mengizinkan Nabi Muhammad memberikan syafaat untuk kita. Tapi kalau kita langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ, “Ya Rasulullah, berikan aku syafaat di hari kiamat,” ya justru di sini malah kita terjerumus ke dalam kesyirikan, dan dengan kesyirikan ini menjadi sebab kita tidak mendapatkan syafaat beliau di hari kiamat. Makanya beliau mengatakan di sini, dan Nabi ﷺ bersabda:

إِنِّي ادَّخَرْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا4

“Dan aku menyimpan doaku sebagai syafaat di hari kiamat untuk siapa? Orang yang meninggal dunia di antara umatku dalam keadaan dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Jadi, syafaat beliau hanyalah untuk orang-orang yang bertauhid, orang yang meninggal dunia di antara umat beliau yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Adapun orang yang melakukan kesyirikan dan meninggal dunia dalam keadaan dia berbuat syirik, maka orang yang seperti ini tidak ada harapan untuk mendapatkan syafaat Rasulullah ﷺ. Ini Nabi sendiri yang ﷺ mengabarkan bahwasanya syafaat beliau adalah untuk orang yang meninggal dunia di antara umat beliau dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. (Hadis) Rawahu Muslim, hadis ini sahih diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Meminta Syafaat dari Orang yang Masih Hidup

Bolehkah kita meminta syafaat dari orang yang masih hidup? Di sini ada perincian. Kita meminta syafaat dari orang yang masih hidup di dalam perkara dunia saja, istilahnya rekomendasi. Ya, boleh seseorang meminta syafaat dari orang yang masih hidup. اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا

“Barang siapa yang memberikan syafaat dengan syafaat yang baik (yaitu di dunia), maka dia mendapatkan pahalanya.” (QS. An-Nisa: 85). Contoh misalnya, ada seorang dia mau mendaftar daurah, misal asalnya misalnya sudah habis kuotanya. Sementara ada seorang yang dia ingin belajar, ke sana ke sini semuanya mengatakan tidak boleh, sudah habis, tidak ada tempat, dan seterusnya. Kemudian ada seseorang yang ingin memberikan syafaat, “Sudah, nanti saya bicara sama panitia. Pak, tolong dibantu ini anak, dia insya Allah cerdas, dia bisa memberikan manfaat nanti kalau dia pulang kampung. Tolong diterima supaya dia bisa ikut daurah.” Setelah dilihat, karena yang berbicara adalah si Fulan, makanya, “Ya sudah, diterima. Silakan dia ikut daurah.” Akhirnya dia pun ikut daurah, belajar, paham, dia menjadi orang yang saleh, dia dakwah di kampungnya. Maka orang yang memberikan syafaat tadi dapat pahalanya atau tidak? Dia mendapatkan pahalanya. Ini syafaat yang baik yang seperti ini.

Dan syafaat yang baik itu yang terpenuhi beberapa syarat. Di antaranya yang pertama, di dalam perkara yang memang diperbolehkan. Kalau dalam perkara yang diharamkan, tidak boleh. Yang kedua, orang yang diberikan syafaat memang orang yang berhak, dari sifat-sifatnya, karakternya, dia adalah orang yang memang berhak untuk diberikan syafaat. Yang ketiga, jangan sampai menzalimi orang lain. Kalau terpenuhi tiga syarat ini, tidak masalah. Tapi kalau salah satu di antara tiga syarat ini tidak ada, maka ini adalah syafaat yang diharamkan. Berarti ada rekomendasi yang dibolehkan, ada rekomendasi yang tidak diperbolehkan. Kalau sampai menzalimi orang lain, sehingga harusnya dia haji di tahun 2025, karena adanya syafaat-syafaat yang diharamkan, akhirnya dia berhaji tahun 2028 misalnya, karena di sana ada orang-orang yang diajukan oleh orang dalam misalnya, maka ini kezaliman, akan ada tuntutannya di hari kiamat. Tapi kalau terpenuhi syaratnya, maka ini menjadi syafaat yang baik.

وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا

“Barang siapa yang memberikan syafaat dengan syafaat yang jelek, maka dia mendapatkan dosanya.” (QS. An-Nisa: 85). Yakni, dia mendapatkan bagian dari dosanya.

Dan Nabi ﷺ mengatakan:

اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا

“Hendaklah kalian memberikan syafaat, niscaya kalian akan diberikan pahala.” (Hadis). Seperti tadi pengertiannya, dan ini adalah termasuk sedekah dengan kedudukan. Ya, sedekah dengan kedudukan, karena sedekah terkadang dengan harta, kadang dengan ucapan, kadang bersedekah dengan kedudukan. Kedudukan yang kita miliki, kita sedekahkan untuk membantu orang lain.

Berlebihan dalam Memuji Rasulullah ﷺ

Hal Nazidu Fi Madhir Rasul? Bolehkah kita menambah-nambah di dalam memuji Rasulullah ﷺ? Memuji beliau, kalau memang dengan sifatnya, maka ini termasuk amal saleh. Seperti mengatakan beliau adalah seorang rasul, beliau adalah seorang hamba Allah yang saleh, beliau adalah pemuka manusia, beliau adalah manusia yang paling afdal. Memuji beliau dengan sifat yang memang Allah berikan kepada beliau, maka ini adalah termasuk amal saleh.

Namun, kalau menambah-nambah, tidak boleh. Kita tidak boleh menambah-nambah dalam memuji beliau, maksudnya adalah mensifati beliau dengan sifat yang Allah tidak berikan kepada beliau. Contohnya misalnya, mensifati beliau bahwa beliaulah yang mengetahui apa yang ada di dalam Lauhul Mahfuz. Ingin menampakkan keutamaan beliau, akhirnya memuji beliau, “Nabi ﷺ mengetahui apa yang ada di dalam Lauhul Mahfuz.” Atau mengatakan bahwasanya kita ini tidak diciptakan kecuali dengan sebab beliau, karena sebab beliau akhirnya Allah menciptakan langit, bumi, dan seluruh manusia. Dari mana yang demikian? Tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur’an dan juga sunah Nabi ﷺ. Terkadang maksudnya baik, ingin memuji beliau, menampakkan keutamaan beliau, tetapi menambah-nambah.

Apa dalilnya kalau tidak boleh? اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan5 kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa’.” (QS. Al-Kahf:6 110). Berarti sama dengan kita. Apa yang membedakan? Yuuha ilayya (diwahyukan kepadaku) bahwasanya sesembahan kalian adalah sesembahan yang satu. Ini bedanya antara kita dengan beliau, diwahyukan kepada beliau untuk mendakwahkan kepada tauhid. Di antara wahyu yang disampaikan kepada beliau adalah perintah untuk bertauhid.

Jadi, sama antara kita dengan beliau dari sisi kemanusiaan, sama-sama manusia. Kita meninggal, maka beliau pun juga meninggal. Kita sakit, beliau juga sakit. Beliau menikah sebagaimana manusia yang lain juga menikah. Beliau punya anak, beliau terluka, terkadang menang dalam peperangan, terkadang kalah juga dalam peperangan. Keadaan beliau sebagaimana manusia yang lain. Yang membedakan, beliau mendapatkan wahyu, sedangkan kita tidak mendapatkan wahyu. Beliau adalah seorang Rasulullah, manusia dan beliau adalah Rasulullah, sedangkan kita adalah manusia biasa. Nah, kita tempatkan beliau pada tempatnya. Kita katakan beliau adalah hamba Allah dan juga rasul-Nya.

Nabi ﷺ bersabda:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا: عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani mereka berlebihan di dalam memuji Isa bin Maryam. Apa yang mereka katakan tentang Isa? Mengatakan bahwasanya beliau adalah anak Allah karena mereka melihat mukjizat yang luar biasa, kesalehan dia, akhirnya mereka mensifati Isa dengan anak Allah. Ini berlebihan. Beliau tidak ingin umat beliau seperti itu, berlebihan terhadap beliau ﷺ dalam memuji. ‘Sesungguhnya aku adalah hamba saja, bukan Allah, bukan anak Allah. Aku adalah hamba di antara hamba-hamba Allah. Sehingga katakanlah: hamba Allah (عَبْدُ اللَّهِ) dan Rasul-Nya (وَرَسُولُهُ).'” Ini adalah dua sifat yang mulia yang disandang oleh Rasulullah ﷺ: menjadi seorang hamba, beribadah, tunduk kepada Allah, dan di waktu yang sama beliau juga menyampaikan agama Allah. Semakin seseorang menghambakan dirinya kepada Allah, maka semakin tinggi (derajatnya) di hadapan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Dan beliau ﷺ adalah orang yang paling menyempurnakan ubudiahnya kepada Allah. Kemudian, bukan hanya mencukupkan dirinya dalam mengambil faedah tersebut, tapi berusaha untuk menyampaikan faedah tersebut kepada orang lain, beliau berdakwah.

(Ini mumpung ingat, kita di yayasan di HSI Abdullah sedang membuka pendaftaran baru ya, bagi peserta angkatan 251 sampai tanggal 8 Desember ini. Bagi bapak-bapak atau ibu-ibu yang ingin bergabung mempelajari tentang masalah tauhid, belajar tentang masalah akidah secara pelan-pelan, secara sistematis, bisa ikut bergabung. Ini mungkin bagian dari menyampaikan ini dan mengajak orang lain untuk belajar tauhid.)

Jadi, Nabi ﷺ memiliki dua sifat: sebagai seorang hamba Allah dan sebagai seorang utusan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang menyampaikan kebaikan kepada orang lain. Nah, kita pun kalau kita memiliki dua sifat ini di dalam diri kita, kita sebagai seorang hamba Allah yang bertauhid, kemudian di waktu yang sama kita juga mengajak orang lain, maka ini adalah kebaikan di atas kebaikan.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ

“Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang berdakwah kepada Allah?” (QS. Fussilat: 33). Dakwah ini adalah sebuah amal saleh yang besar pahalanya, dan masing-masing dari kita bisa berdakwah sesuai dengan kemampuan, di antaranya dengan menunjukkan kebaikan kepada orang lain. “Ini antum bisa daftar, ini antum bisa belajar, antum bisa ikut kajian.” Seandainya dia ikut belajar dan dapat pahala, antum juga mendapatkan pahalanya. Orang yang menunjukkan sebuah kebaikan, dia seperti orang yang melakukan kebaikan tersebut. Al-Itra’ dalam hadis adalah berlebihan di dalam memuji beliau ﷺ.

Masalah Jihad dan Wala’ (Loyalitas)

Masuk pada pembahasan yang selanjutnya. Setelah beliau menyebutkan tentang masalah kesyirikan kecil maupun yang besar, kemudian syarat diterimanya amalan, beliau membahas sebuah permasalahan yang juga ada kesamaran bagi sebagian orang, yaitu tentang masalah al-Jihad dan al-Wala’ wal Bara’. Tentang masalah jihad yang akhir-akhir ini dijadikan oleh sebagian orang sebagai topeng untuk menyebarkan syubhat-syubhatnya dengan alasan ini adalah jihad di jalan Allah, padahal bukan jihad. Nah, jihad ini adalah termasuk amal saleh yang sudah dijelaskan secara gamblang oleh Rasulullah ﷺ tentang hukum-hukumnya, siapa yang diperangi, apa adabnya, dan seterusnya, tentang masalah rampasan perang itu sudah dijelaskan secara lengkap oleh Nabi ﷺ.

Apa hukum berjihad di jalan Allah? Al-Jihadu wajibun bil mali, wan nafsi, wal lisan. Jihad itu wajib dengan harta, dengan jiwa, dan juga dengan lisan. Karena arti jihad adalah bersungguh-sungguh di jalan Allah untuk menegakkan kalimat Allah. Ini bisa dengan harta; ya, seorang dengan hartanya dia menyumbang, membiayai demi untuk ditegakkannya kalimat Allah, sebuah kegiatan, atau dia membiayai santri yang belajar, atau membiayai dalam dakwah dengan tujuan untuk menegakkan kalimat Allah, maka ini adalah termasuk bagian dari jihad, bersungguh-sungguh di jalan Allah, bukan bermalas-malasan.

Juga berjihad dengan jiwa, dengan mengorbankan jiwanya, mencapekan dirinya. Seseorang datang menghadiri majelis ilmu itu bukan sesuatu yang mudah. Dia duduk, yang biasanya dia duduk di atas kursi yang nyaman, dilayani, di sini dia harus duduk dari habis Subuh sampai Zuhur, ya, dengan menahan pegalnya, ngantuknya. Ini bagian dari jihad di jalan Allah. Memang demikian, dunia ini memang tempat untuk bercapek-capek, berlelah-lelah. Kapan kita istirahat? Ketika seseorang sudah masuk ke dalam surga. Sampai meninggal dunia, ya kita di dunia ini memang untuk bercapek-capek, kita berlelah-lelah. Kalau kita mau capek sekarang, besok kita istirahat. Tapi kalau kita tidak mau capek sekarang, besok kita akan capek. Mana yang kita pilih? Ya, tentunya kita berlelah-lelah sekarang, beramal, supaya kita bisa beristirahat besok.

Wal lisan, dan juga jihad dengan lisan, menyampaikan, berdakwah, membantah, menjelaskan tentang syubhat, ini juga termasuk bagian dari jihad. Bahkan jihad yang seperti ini termasuk di antara jenis jihad yang paling afdal, karena dengan badan, dengan harta bisa dilakukan oleh semua orang, tapi jihad dengan lisan, dengan ilmu, tidak semua orang bisa melakukan yang demikian. Ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang berilmu saja. Jadi, orang yang berilmu dia bisa berjihad dengan hartanya, dengan jiwanya, dengan lisannya. Tapi orang yang punya harta, tidak punya ilmu, dia hanya bisa berjihad dengan hartanya saja.

اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Hendaklah kalian pergi dalam keadaan kalian ringan atau dalam keadaan kalian berat, dan berjihadlah kalian dengan harta kalian dan jiwa kalian di jalan Allah.” (QS. At-Tawbah: 41).

Dan Nabi ﷺ bersabda: “Hendaklah kalian memerangi orang-orang musyrik dengan harta kalian, dengan jiwa kalian, dan dengan lisan kalian.” Dengan lisan maksudnya adalah berdakwah. (Hadis) Sahih riwayat Abu Daud.

Apa yang dimaksud dengan al-Wala’ (loyalitas)? Dari poin yang pertama tadi, kita mengetahui tentang makna jihad yang sebenarnya. Jadi, apa yang kita lakukan ini termasuk bagian dari jihad di jalan Allah. Antum menuntut ilmu pun termasuk bagian dari jihad di jalan Allah, memerangi kebodohan yang ada di dalam dirinya sendiri, memerangi hawa nafsunya. Dan tidak mungkin melakukan jihad yang merupakan jihad peperangan kecuali orang yang bisa memerangi hawa nafsunya sendiri. Kalau dia sudah terbiasa memerangi hawa nafsunya sendiri, maka ketika suatu saat nanti disyariatkan jihad yang sebenarnya, maka dia sudah siap, karena dia sudah terbiasa memerangi dirinya sendiri, memerangi setan yang ada di dalam dirinya. Tapi kalau seseorang tidak terbiasa memerangi hawa nafsunya sendiri, ketika datang waktunya jihad, dia termasuk orang yang berat untuk melakukan jihad, karena dia sudah terbiasa mengikuti hawa nafsunya, dan yang namanya jihad ini bertentangan dengan hawa nafsunya.

Kemudian beliau menjelaskan tentang masalah al-Wala’ (loyalitas). Kita juga harus memahami apa makna al-Wala’. Loyalitas itu adalah terdiri dari dua unsur: unsur yang pertama al-Hubb (mencintai). Antum loyal kepada sesuatu berarti Antum mencintai sesuatu tersebut. Kemudian yang kedua adalah Nusrah (menolong). Kalau antum loyal, maka Antum akan menolong.

اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun wanita, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Tawbah: 71). Wali maksudnya adalah loyal. Kalau loyal, berarti kita mencintai orang-orang yang beriman, berusaha menolong orang-orang yang beriman, mencintai mereka sesuai dengan kadar keimanannya, menolong mereka juga sesuai dengan kadar keimanannya. Tidak sama antara orang yang beriman dengan orang yang beriman yang lain.

Dan Nabi ﷺ bersabda: “Orang yang beriman dengan yang lain itu seperti bangunan, saling menguatkan satu dengan yang lain.” Tidak bisa dia berdiri sendiri. Harus ada dalam sebuah bangunan, harus ada tiang, atap, tembok, pondasi. Tidak bisa masing-masing dari unsur tersebut berdiri sendiri. Demikian pula kita, orang-orang yang beriman, tidak bisa kita berdiri sendiri. Kita saling menguatkan satu dengan yang lain, membantu satu dengan yang lain.

Loyalitas kepada Orang Kafir

Hal tajuzu muwalatul kuffari wa nusratuhum? Apakah boleh kita loyal dengan orang-orang kafir? Tadi disebutkan kita hanya loyal kepada orang-orang yang beriman. Maksudnya adalah kecintaan karena dasar agama itu hanya untuk orang-orang yang beriman saja, menolong mereka. Bolehkah kita loyal kepada orang-orang kafir dan menolong mereka?

La tajuzu muwalatul kuffar. Tidak boleh loyal kepada orang kafir dan juga menolong mereka. Dan barang siapa yang loyal kepada mereka, sesungguhnya dia termasuk mereka. Maksudnya adalah mencintai orang-orang kafir kemudian menolong mereka untuk mengalahkan orang Islam, maka ini adalah termasuk mereka. Orang yang loyal dengan pengertian di atas, maka dia termasuk golongan orang-orang kafir tadi.

Dan Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya keluarga Bani Fulan bukan termasuk wali-waliku.” Karena yang dimaksud oleh Nabi ﷺ di sini adalah keluarga yang kafir. Ya, keluarga Bani Fulan ini adalah termasuk orang-orang musyrikin, makanya beliau mengatakan mereka bukan wali-waliku, karena yang beliau cintai dan beliau tolong hanyalah orang-orang yang beriman saja. Ini pengertian loyalitas di dalam agama kita. Jadi, kita hanya loyal kepada orang-orang yang beriman, tidak boleh kita loyal kepada selain orang-orang yang beriman.

Siapakah Wali Allah itu?

Man Wali? Siapakah yang dimaksud dengan wali? Al-Waliyyu huwa al-mu’min at-taqiyy. Yang namanya wali itu adalah orang yang beriman lagi bertakwa. Permasalahan wali ini juga menjadi permasalahan yang sering tidak dipahami oleh orang. Siapa yang dimaksud dengan wali? Mereka masih bingung. Ada di antara mereka yang mengatakan bahwasanya wali itu adalah orang yang bisa terbang, atau dia bisa berjalan di atas air, atau orang yang dia tidak tembus ketika ditembak, dan pengertian-pengertian yang lain. Mereka membuat pemahaman sendiri, pengertian sendiri tentang wali. Padahal kalau kita kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, kita dapatkan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى telah mensifati siapa wali-wali Allah. Dan wali, sekali lagi, adalah orang yang memiliki loyalitas kepada Allah. Loyalitas tadi maknanya apa? Mencintai dan juga menolong. Berarti wali Allah adalah orang yang mencintai Allah dan menolong Allah. Kecintaan dia ditunjukkan dengan tidak mengamalkan kecuali apa yang diridai dan dicintai oleh اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Dia menolong Allah, menolong agama-Nya, menghidupkan sunah Nabi-Nya, menghidupkan tauhid, berkorban ketika dia mendakwahkan agama اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, maka dia telah menolong اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Makanya di sini beliau mengatakan, wali itu adalah orang yang beriman dan bertakwa, karena Allah mencintai iman, mencintai ketakwaan, akhirnya dia pun menjadi orang yang beriman dan bertakwa. Iman artinya adalah menjalankan perintah, takwa artinya adalah menjauhi larangan. Sehingga orang yang beriman dan bertakwa, dia adalah orang yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Ini adalah wali Allah.

اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada7 rasa takut atas mereka dan mereka tidak bersedih. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63). Ini Allah sendiri yang mensifati wali-Nya dengan dua sifat ini, yaitu sifat iman dan juga takwa. Iman: menjalankan perintah, takwa: menjauhi larangan. Jadi, kalau ada orang yang mengatakan ini adalah wali, dicek dulu, sesuai dengan sifat yang disebutkan oleh Allah atau tidak. Cek, apakah dia menjalankan perintah atau dia juga menjauhi larangan? Perintah Allah yang paling besar adalah tauhid. Dia bertauhid atau tidak? Kalau dia tidak bertauhid, justru malah menyuruh manusia untuk mengagungkan dirinya, ah ini jelas bukan termasuk wali. Di antara perintah Allah adalah mengikuti sunah, meninggalkan bidah. Dilihat apakah dia termasuk orang yang berpegang teguh dengan sunah atau tidak. Kalau ternyata dia justru menyuburkan kebidahan, mengajak manusia untuk berbuat bidah, berarti ini bukan termasuk wali Allah. Seorang wali Allah ya salat, berpuasa, meninggalkan perzinaan, meninggalkan khamar. Kalau dia justru malah berzina atau minum-minuman keras, bahkan di depan orang banyak, sengaja dia tidak melakukan salat, sengaja dia membuka aurat, maka ini bukan termasuk wali Allah. Wali Allah jelas sifatnya di dalam Al-Qur’an: orang yang beriman dan dia bertakwa.

Dan Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya waliku adalah Allah (yang aku cintai, yang aku tolong adalah اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) dan orang-orang saleh dari kalangan orang-orang beriman.” Berarti orang yang saleh saja yang merupakan wali. Adapun yang meninggalkan kewajiban atau melanggar larangan, dosa besar, maka ini bukan termasuk wali Allah, apalagi dia menghalalkan apa yang diharamkan oleh اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, membiasakan dirinya untuk melakukan dosa besar, meninggalkan salat. (Hadis) Muslim.

Berhukum dengan Al-Qur’an dan Hadis

Dengan apa orang-orang Islam berhukum? Yahkumul muslimuna bil Qur’ani wal haditsis shahih. Orang Islam berhukum dengan Al-Qur’an dan hadis yang sahih. Karena اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى Dialah yang lebih mengetahui tentang apa yang diciptakan daripada manusia sendiri. Kita diciptakan oleh Allah, dan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى Dialah yang lebih tahu apa yang menjadi maslahat bagi kita dan apa yang memudarati kita. Dan ini berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari. Yang namanya motor, AC, atau produk yang lain, maka yang lebih tahu tentang produk-produk tersebut adalah pabriknya. Berapa watt yang harus disediakan, atau volt yang harus disediakan, bagaimana cara membersihkannya, apa oli yang digunakan, itu yang tahu adalah pabriknya. “Oh, mobil ini tidak boleh dengan bensin jenis ini, kalau sampai menggunakan bensin jenis itu maka akan rusak.” Maka akhirnya disebutkan, mungkin ditulis dalam buku panduan dan seterusnya. Yang membuat itu yang lebih paham. Nah, kita yang menciptakan adalah Allah, dan Allah tahu apa yang menjadi maslahat untuk kita semuanya, sehingga Allah turunkan aturan-aturan di dalam Al-Qur’an, di dalam hadis, untuk kemaslahatan kita semuanya. “Makanlah dan minumlah kalian dan janganlah kalian berlebihan,” sudah disebutkan oleh Allah dari dulu itu untuk adalah maslahat untuk kita semuanya. Ketika kita melanggar, maka mudarat bagi diri kita. Dan ini kaidah dalam seluruh perkara. اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى Dialah yang lebih mengetahui.

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Bukankah yang menciptakan itulah yang mengetahui? Dan Dialah Allah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14). Sehingga seseorang dan seluruh manusia seharusnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan.

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

“Dan hendaklah engkau menghukumi di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan.” (QS. Al-Ma’idah: 49). Itu dengan Al-Qur’an, dengan hadis.

Dan Nabi ﷺ berdoa: “Ya Allah, Engkau adalah Zat yang mengetahui perkara yang gaib, perkara yang kelihatan. Engkaulah yang menghukumi di antara hamba-hamba-Mu.” (Hadis) Rawahu Muslim. Berarti kita kembali kepada Al-Qur’an dan hadis dalam setiap perkara. Semua sudah dijelaskan oleh اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, tinggal kita melaksanakan. Semakin kita melaksanakan, semakin banyak kebaikan yang didapatkan oleh seseorang. Beramal dengan Al-Qur’an dan hadis.

Mengapa Allah Menurunkan Al-Qur’an?

Limadza anzallahul Qur’an? Kenapa اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menurunkan Al-Qur’an? Anzallahul Qur’ana lil ‘amali bih. اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menurunkan Al-Qur’an untuk diamalkan. Ini harus kita pahami, bukan hanya sekadar untuk dibaca, apalagi hanya ditaruh di rak. اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menurunkan Al-Qur’an itu supaya kita mengamalkan, dan tidak mungkin kita bisa mengamalkan kecuali apabila kita memahami isinya. Para asatizah mengajar itu untuk memudahkan, membantu, “Ini lho isi dari Al-Qur’an.” Karena kadang kalau kita belajar sendiri, ada satu atau dua perkara yang kita tidak memahami. Tapi kalau kita belajar dari seseorang, maka dia akan membantu kita untuk lebih cepat memahami Al-Qur’anul Karim.

اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ

“Hendaklah kalian mengikuti apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian.” (QS. Al-A’raf: 3). Mengikuti maksudnya adalah mengamalkan isinya.

Dan Nabi ﷺ mengatakan: “Hendaklah kalian membaca Al-Qur’an dan amalkanlah Al-Qur’an.” Membaca dapat pahala, kemudian kita amalkan. Jangan hanya sekadar dibaca, kemudian diluruskan makhrajnya, sifat-sifatnya, tetapi berpaling dari mengamalkan Al-Qur’an. Silakan belajar tajwid, bagus ya, dan itu adalah usaha kita untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana Rasulullah ﷺ membacanya. Tapi jangan lupa juga kita melakukan yang lebih penting daripada itu, yaitu mengamalkan Al-Qur’an. Dan janganlah kalian makan dengannya, maksudnya adalah seseorang menggunakan Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an, mengajarkan, tapi tujuan utamanya hanyalah ingin mendapatkan dunia. Ini yang tidak boleh. Adapun seorang mengajar dan niat dia adalah lillah, untuk mengajarkan kalamullah, dan Nabi ﷺ mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkan Al-Qur’an,” itu menjadi tujuan utama dia, kemudian dia mendapatkan dari hasil pengajaran tersebut sesuatu, maka ini tidak masalah. Yang tercela, yang tidak boleh adalah menjadikan dunia sebagai tujuan utama.

Dan dahulu ada beberapa sahabat Nabi ﷺ yang dia merukiah dengan Al-Qur’an, merukiah seorang pembesar yang terkena sengatan, kemudian sembuh dirukiah dengan Al-Qur’an. Akhirnya oleh pembesar kaum tadi diberikan hadiah berupa seekor kambing. Sebagian mereka mengatakan, “Tidak boleh ini, tidak boleh. Jangan kita makan sebelum kita kabarkan kepada Nabi ﷺ.” Akhirnya dibawa kepada Nabi ﷺ, kemudian beliau ﷺ mengikrarkan, yaitu tidak mempermasalahkan, bahkan beliau saat itu meminta bagian dari dagingnya, meminta bagian dari dagingnya, menunjukkan itu adalah sesuatu yang halal dan tidak masalah. (Hadis) Sahih, rawahu Ahmad.

Hukum Beramal dengan Hadis Sahih

Ma hukmul ‘amali bil haditsis shahih? Apa hukumnya beramal dengan hadis yang sahih? Al-‘amalu bil haditsis shahih wajibun. Mengamalkan hadis yang sahih adalah wajib. Wajib maksudnya adalah kita yakini tentang kesahihannya. Kalau isinya adalah amalan yang sifatnya wajib, ya harus kita kerjakan. Tapi kalau isinya adalah amalan yang sunah, maka dianjurkan kita untuk melakukannya. Tapi kewajiban meyakini itu adalah, atau meyakini bahwa itu adalah ucapan Nabi, itu adalah sebuah kewajiban. Itu adalah sesuatu yang hak diucapkan oleh Nabi ﷺ.

Karena firman اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah. Dan apa yang beliau larang, maka hendaklah kalian tinggalkan.” (QS. Al-Hasyr: 7).

Dan ucapan Nabi ﷺ: “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para Khulafa’ Rasyidin al-Mahdiyyin. Hendaklah kalian berpegang teguh dengannya.” Menunjukkan keharusan kita untuk mengambil hadis. Jadi dalam beragama, kita berpegang pada Al-Qur’an dan juga hadis. Tidak boleh hanya Qur’an saja, sebagaimana ini keyakinan ingkarus sunah atau quraniyyun. Ya, mereka hanya berdalil dengan Qur’an saja, hadis mereka taruh di samping. Ya, mereka hanya berpegang dengan Qur’an saja, tidak mau berpegang dengan hadis. Ini kesesatan, karena Nabi ﷺ menjanjikan seseorang bisa selamat dari kesesatan kalau dia berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan juga hadis. “Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: Kitabullah (Al-Qur’an) dan juga hadis.” Tidak bisa dipisahkan ya. Dan banyak hukum-hukum di dalam hadis yang menjelaskan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Kalau kita tinggalkan hadis, bagaimana kita bisa salat dengan sempurna? Ya, bacaan ketika duduk di antara dua sujud, bacaan ketika tahiyat, ya ketika tasyahud, dari mana kita dapatkan? Dari hadis. Tidak ada di dalam Al-Qur’an. Bagaimana seseorang bisa sempurna salatnya kalau dia tidak kembali kepada hadis?

Mencukupkan Diri dengan Al-Qur’an Tanpa Hadis

Bolehkah kita mencukupkan diri dengan Al-Qur’an tanpa hadis? Beliau mengatakan, tidak bisa kita mencukupkan diri dengan Al-Qur’an tanpa hadis.

Karena اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, supaya engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (QS. An-Nahl: 44). Supaya engkau, wahai Muhammad, menjelaskan lewat apa? Lewat hadis-hadis. Jadi Al-Qur’an diterangkan oleh hadis. Jangan sampai seseorang meninggalkan hadis, mencukupkan diri dengan Al-Qur’an, karena dia tidak akan bisa melaksanakan agama ini dengan baik.

Dan Nabi ﷺ mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya aku diberikan Al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya.” Maksud dari “dan yang semisalnya bersamanya” adalah hadis. Menunjukkan bahwasanya hadis ini semisal dengan Al-Qur’an, maksudnya adalah sama-sama wahyu, sama-sama wahyu dari اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Sehingga dalam agama pun kita berdalil dengan Al-Qur’an dan hadis. (Hadis) Sahih, rawahu Abu Daud wa ghairuh.

Mendahulukan Ucapan Selain Allah dan Rasul-Nya

Hal nuqaddimu qaulan ‘ala qaulillahi wa rasulihi? Bolehkah kita mendahulukan sebuah ucapan di atas ucapan Allah dan juga Rasul-Nya? Kalau kita memang harus kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, lalu kita kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, bolehkah seandainya ada ucapan seseorang, kita dahulukan ucapan tersebut di atas Al-Qur’an dan hadis?

Nah, ini beliau mengatakan, la nuqaddimu qaulan ‘ala qaulillahi wa rasulihi. Tidak boleh kita mendahulukan sebuah pendapat, sebuah ucapan di atas ucapan Allah dan juga Rasul-Nya, siapapun orang tersebut. Meskipun seorang imam, meskipun dia seorang ulama besar, kalau bertentangan dengan firman Allah atau sabda Rasulullah ﷺ, maka kita harus dahulukan Qur’an dan hadis daripada ucapan imam tersebut.

Karena firman اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan juga Rasul-Nya.” (QS. Al-Hujurat: 1).

Dan ucapan Nabi ﷺ:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah).” Kalau memang ucapan dia bertentangan dengan firman Allah, tidak boleh kita mentaati ulama tersebut. Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada Allah.

Dan ucapan Ibnu Abbas (رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا): “Aku takut turun kepada kalian batu dari langit karena aku mengatakan Rasulullah ﷺ bersabda, kemudian kalian mengatakan, ‘Tetapi Abu Bakar dan Umar mengatakan demikian.'” Ini Abdullah bin Abbas mengingatkan, jangan sampai ada hadis yang jelas kemudian kita mengatakan, “Tapi kan Abu Bakar berkata demikian, tapi kan Umar mengatakan demikian.” Dikhawatirkan ini adalah sebab turunnya azab. Kalau itu adalah orang semisal Abu Bakar dan Umar, lalu bagaimana dengan orang yang ada di bawah beliau kedudukannya? Bagaimana kita mendahulukan ucapan Imam Abu Hanifah misalnya, di atas dalil, atau mendahulukan ucapan Imam Ahmad di atas dalil? Tidak boleh, dan juga imam-imam yang lain.

Jika Terjadi Perselisihan

Apa yang kita lakukan kalau kita berselisih? Tentunya perselisihan ini tidak bisa dihindari. Kalau kita berselisih, gampang. Kita orang beriman, dan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى telah menurunkan kepada kita Al-Qur’an dan sunah Nabi ﷺ. Kalau kita berselisih, mana yang benar, mana yang salah? Ya, kita kembali kepada Al-Qur’an dan sunah. Kalau yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan sunah adalah A, maka kita ikuti, meskipun itu berbeda dengan pendapat kita yang awal. Ya, harus kita rujuk, kembali kepada apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadis.

اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kalau kalian saling berselisih di dalam sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan juga Rasul, kalau kalian benar-benar beriman kepada Allah dan juga hari akhir. Yang demikian lebih baik (dan) lebih bagus tempat pengembalian.” (QS. An-Nisa: 59). Jadi, tidak usah kita menyombongkan diri kita. Kalau memang kita ingin kebenaran untuk kita dan juga saudara kita, ya kita kembali kepada Al-Qur’an dan hadis.

Dan Nabi ﷺ bersabda: “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan juga sunah para Khulafaur Rasyidin. Hendaklah kalian berpegang teguh dengannya.” Ini kalau terjadi perselisihan, petunjuknya adalah kembali kepada Al-Qur’an dan juga hadis Nabi ﷺ. (Hadis) Sahih, riwayat Imam Ahmad.

Mencintai Allah dan Rasul-Nya

Bagaimana engkau mencintai Allah dan juga Rasul-Nya? Buktikan cintamu kepada Allah dan juga Rasul-Nya. Buktinya apa? Aku mencintai Allah dan juga Rasul-Nya dengan cara mentaati Allah dan juga Rasul, mengikuti perintah keduanya.

اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah8 akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).9 Jadi kalau benar-benar cinta kepada Allah, ikuti Rasulullah, mengikuti sunah beliau, tidak melakukan bidah.

Dan Nabi ﷺ bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak beriman salah seorang di10 antara kalian sampai aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (Hadis Bukhari & Muslim). Bagaimana cara mencintai beliau lebih daripada yang lain? Ya, dengan mengikuti sunah beliau. Kalau sampai terjadi pertentangan antara sunah beliau dengan keinginan manusia, maka kita dahulukan sunah beliau. Itu adalah tanda kecintaan kita kepada Nabi ﷺ. Jangan sampai mengaku cinta kepada Nabi, tapi sedikit ada orang yang menyelisihi sunah beliau, kemudian kita akhirnya meninggalkan sunah beliau dan mengikuti ucapan manusia. Dengan mudahnya seseorang meninggalkan sunah Nabi ﷺ karena bertentangan dengan kebiasaan adat manusia, ini menunjukkan bahwasanya kecintaan dia adalah sangat lemah.

Meninggalkan Amal dan Bersandar pada Takdir

Hal natrukul ‘amala wa nattakilu ‘alal qadar? Bolehkah kita meninggalkan amal dan kemudian bersandar dengan takdir? Ya, tidak salat, tidak usah menuntut ilmu, kemudian mengatakan bahwasanya kan semuanya sudah ditakdirkan. Tidak boleh kita meninggalkan amal dengan alasan takdir.

Kenapa demikian?

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ

“Adapun orang yang memberi dan dia bertakwa, dan dia membenarkan surga, maka Kami pun akan memudahkan dia untuk mendapatkan kebaikan atau mendapatkan kemudahan.” (QS. Al-Lail: 5-7).

Dan Nabi ﷺ mengatakan: “Hendaklah kalian beramal saleh, karena masing-masing akan dimudahkan untuk melakukan sesuatu yang dia diciptakan untuknya.” Beliau mengatakan, berpesan, “Hendaklah kalian beramal.” Karena saat itu Nabi ﷺ mengabarkan bahwa segala sesuatu sudah ditulis, bahkan termasuk seseorang di dalam neraka atau di dalam surga, sudah ditentukan oleh اللهُ عَزَّ وَجَلَّ. Sehingga sebagian sahabat saat itu mengatakan, “Ya Rasulullah, fafimal ‘amal?” (Wahai Rasulullah, kalau begitu apa tujuan kita beramal?). Kalau memang semuanya sudah ditentukan. Apa kata Nabi ﷺ? “I’malu!” (Hendaklah kalian tetap beramal!). Maka masing-masing akan dimudahkan untuk mendapatkan apa yang dia diciptakan untuknya. Jadi, orang kalau sudah ditetapkan sebagai penduduk surga, akan dimudahkan oleh Allah untuk menempuh jalan menuju surga. Ya, dimudahkan dia untuk menuntut ilmu, dimudahkan dia untuk melakukan berbagai kewajiban surga. Sudah ditetapkan, dan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan memudahkan bagi setiap orang yang sudah ditentukan masuk ke dalam surga, memudahkan baginya jalan-jalan menuju surga. Sehingga kita diperintahkan terus beramal.

Sunah dan Bidah

As-Sunnatu wal Bid’ah. Sunah dan juga bidah. Hal fiddini bid’atun hasanah? Apakah ada di dalam agama ini yang dinamakan dengan bidah hasanah?

Laitsa fiddini bid’atun hasanah. Tidak ada di dalam agama ini bidah hasanah. Bidah itu semuanya tidak baik. Tidak ada di dalam agama ini bidah yang baik.

Dalilnya adalah firman اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا11

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk12 kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3). Menunjukkan agama itu sudah sempurna, dikabarkan oleh Allah sendiri tentang kesempurnaan agama ini. Dan masing-masing dari kita paham makna sempurna, tidak perlu ditambah. Ini yang mengabarkan Allah sempurna, berarti benar-benar sempurna. Amalan apa saja yang memasukkan seorang ke dalam surga, ada di dalam Islam ini. Seluruh amalan yang menjauhkan seseorang dari neraka, ada di dalam agama ini. Sehingga tidak perlu kita menambah. Kalau kita menambah, berarti kita seakan-akan tidak percaya dengan kesempurnaan Islam, seakan-akan kita mendustakan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, seakan-akan kita menganggap bahwasanya ada yang disembunyikan oleh Rasulullah ﷺ dan tidak disampaikan kepada manusia. Dan ini adalah tuduhan-tuduhan yang keji, disadari atau tidak disadari.

Dan juga sabda Nabi ﷺ:

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Dan setiap bidah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka.” Beliau mengatakan “wa kullu” (dan setiap), berarti tidak ada bidah yang hasanah, yang ada adalah dhalalah (kesesatan). Dan bidah yang dimaksud tentunya harus kita pahami dengan pemahaman yang benar. Bidah yang dimaksud adalah bidah di dalam agama, yaitu membuat sesuatu yang baru, mengamalkan sesuatu yang baru, dianggap itu adalah ibadah, mendekatkan diri kepada Allah, padahal tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Kita berbicara tentang bidah di dalam agama.

Ma hiyal bid’atu fiddin? Apa yang dimaksud dengan bidah? Al-bid’atu fiddini hiya az-ziyadatu fihi aw an-nuqshan. Bidah itu adalah menambah-nambah di dalam agama atau mengurang-urangi agama. Seandainya seseorang salat Zuhur dua rakaat saja padahal tidak dalam keadaan safar, menganggap itu adalah mendekatkan diri kepada Allah, maka ini dinamakan dengan bidah juga. Atau dia salat Zuhur enam rakaat, maka ini juga dinamakan dengan bidah.

اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berkata, mengingkari orang-orang musyrikin tentang kebidahan mereka:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan13 untuk mereka di dalam agama ini sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?” (QS. Ash-Shura: 21). Menunjukkan bahwasanya yang berhak untuk memberikan syariat, menghalalkan, mengharamkan, ini wajib, ini sunah, hanya Allah saja. Itu adalah hak Allah, tidak boleh kita serahkan kepada manusia. Nah, kalau kita mengangkat seorang manusia, dia yang kita ikuti, dia mengatakan, “Oh, disunahkan untuk membaca selawat ini 1000 kali,” kemudian kita anggap boleh membuat syariat yang seperti itu, itu berarti telah menjadikan dia sebagai sekutu bagi Allah dalam memberikan syariat.

Dan Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru di dalam agama ini yang tidak ada (asalnya), yang tidak termasuk darinya, maka amalan tersebut tertolak.” (Hadis Bukhari & Muslim). Raddun (tertolak) artinya tidak diterima oleh Allah.

Sunah Hasanah dalam Islam

Hal fil Islami sunnatun hasanah? Apakah ada di dalam Islam sunah yang baik? Kalau bidah yang baik tidak ada. Kalau sunah yang baik?

Na’am, fil Islami sunnatun hasanah. Di dalam Islam ada sunah yang baik.

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ14

“Barang siapa yang mencontohkan sunah yang baik di dalam Islam (di dalam Islam berarti dia ada dalilnya), maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah tersebut setelahnya tanpa berkurang dari pahala mereka sedikitpun.” (Hadis Muslim). Contoh misalnya, dalam keluarga belum pada ngaji, tidak biasa dia mengikuti daurah misalnya. Sudah, akhirnya dia pun mencontohkan, dia datang daurah. Akhirnya dilihat oleh keluarganya, “Kamu dari mana?” “Ya, saya ikut daurah.” “Apa itu daurah? Makanan apa itu?” “Oh, daurah itu seperti ini.” “Saya ikut dong.” Akhirnya dia pun ikut. Ya, berarti dia melakukan sunah yang baik di dalam Islam. Dia menghidupkan menuntut ilmu di antara kalangan keluarganya. Akhirnya keluarganya pun pada ikut, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah tersebut setelahnya tanpa berkurang dari pahala mereka sedikitpun.

Kemenangan Umat Islam

Mata yantashirul muslimun? Kapan orang Islam ini akan menang? Orang-orang Islam akan menang (sebagaimana sabda) Nabi ﷺ. Orang Islam akan menang, dan masing-masing dari kita tentunya memiliki cita-cita melihat kemenangan Islam tersebut, sebagaimana اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memenangkan Nabi ﷺ dan juga para sahabatnya. Kita akan menang ketika kita mau kembali kepada Al-Qur’an dan kembali kepada sunah, sebagaimana dahulu para sahabat رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ berpegang teguh dengan apa yang diajarkan oleh Nabi ﷺ, akhirnya Allah pun memberikan kemenangan kepada mereka.

Dan ketika mereka mau untuk menyebarkan tauhid, yang merupakan inti dari agama Islam. Ketika mau mereka kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, menyebarkan tauhid, dan mereka mengingatkan manusia dari kesyirikan dengan seluruh jenisnya dan seluruh bentuknya, dan mereka mempersiapkan untuk musuh-musuhnya apa yang mereka bisa berupa kekuatan. Kalau mereka mau melakukan syarat itu, maka اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan memberikan pertolongan kepada mereka, memberikan kemenangan kepada mereka.

Apa dalilnya? اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, kalau kalian15 menolong Allah, (Allah akan menolong kalian).” (QS. Muhammad: 7). اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى Dialah Yang Maha Kuat. Apa yang dimaksud kalian menolong Allah? Menolong Allah yaitu menolong agama-Nya, dan agama Allah ada di dalam Al-Qur’an dan juga hadis. Menolong Allah adalah menolong agama-Nya dengan menghidupkan ajaran-ajaran yang ada di dalam Al-Qur’an maupun hadis. Dan ajaran yang paling agung di dalam Al-Qur’an dan hadis adalah tauhid. Kita mulai dari diri kita sendiri sebelum kita hidupkan itu di dalam diri orang lain. Kita hidupkan terlebih dahulu diri kita ini dengan tauhid, kita isi dengan tauhid, kita pelajari tauhid dengan sebaik-baiknya, dan itu sudah termasuk bagian dari menolong agama Allah. Kemudian kita berusaha untuk menularkan, mendakwahkan tauhid tersebut kepada orang lain, sehingga keluarga kita kenal tauhid. Itu adalah bagian dari menolong agama Allah. Kemudian kita ajarkan kepada kerabat yang lain, tetangga, dengan niat menolong agama Allah, supaya agama Allah ini hidup di tengah-tengah manusia. Dengan cara seperti ini, dan juga dengan mempraktikkan sunah Nabi ﷺ di saat manusia banyak yang meninggalkannya, menghidupkan sunah, mengingatkan dari kebidahan, yansurkum (Allah akan menolong kalian). اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan menolong kalian. Kalian menolong agama Allah, Allah akan menolong kalian dengan cara-Nya. Akan Allah berikan kepada kita pertolongan sebagaimana Allah memberikan pertolongan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan juga para sahabatnya. Siapa Nabi ﷺ dan juga para sahabatnya? Pertama kali sendiri beliau, dalam keadaan sendiri. Yang mengikuti beliau hanyalah Bilal, Ammar, sementara di sana banyak orang-orang musyrikin dengan kekayaan mereka, kekuatan mereka. Tapi lihat, kalau kita mempelajari sirah nabawiyah, bagaimana اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengatur itu semuanya dengan cara-Nya, sehingga akhirnya اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menampakkan agama ini hanya dalam waktu 10 tahun atau 13 tahun, telah berdiri negara Islam. اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang menolong. Kalau kita benar-benar mau kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, maka ini adalah sebab utama datangnya pertolongan dari اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Tapi kalau kita biarkan manusia dengan kesyirikannya, manusia dengan kebidahannya, kita takut untuk mendakwahi, kita egois memikirkan dirinya sendiri saja, tidak mengingatkan manusia, mengajak mereka untuk kembali kepada agama Allah, atau menganggap bahwasanya orang yang berdakwah itu adalah orang yang memecah belah, sehingga akhirnya tidak mau mengingatkan orang yang berbuat salah, maka kapan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan memberikan pertolongan kepada kita?

Jadi, apa yang dilakukan oleh salafiyun, Ahlussunnah wal Jama’ah, di setiap daerah, bagaimana mereka terus menyebarkan agama Allah mulai dari dirinya sendiri dengan apa yang mereka mampu, baik secara offline maupun secara online, ini adalah termasuk bagian dari menolong agama Allah, yang kita berharap semoga اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menurunkan pertolongan-Nya.

وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Dan Allah akan menguatkan kaki-kaki kalian.” (QS. Muhammad: 7). Dengan kita menolong agama Allah, maka Allah akan menguatkan kita, akan menjadikan kita istiqamah.

Dan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى juga mengatakan:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا16

“Allah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang beramal saleh, Allah akan menjadikan mereka khalifah di bumi, sebagaimana orang-orang sebelum mereka Allah سبحانه وتعالى telah memberikan kekuasaan kepada mereka dengan sebab iman dan juga amal saleh mereka. Dan Allah سبحانه وتعالى akan menjadikan mereka mampu atau menjadikan mereka kokoh agama mereka, mereka pun leluasa, agama yang Allah ridai untuk mereka. Dan Allah سبحانه وتعالى akan mengganti rasa takut yang ada di dalam diri mereka sebelumnya menjadi rasa aman. (Syaratnya) mereka menyembah kepada Allah saja, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nur: 55). Atau maknanya adalah bahwasanya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, di antara sifatnya adalah mereka menyembah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

Doa yang Mustajab

Kemudian beliau menutup kitab ini dengan Ad-Du’aul Mustajab (doa yang mustajab), mengutip hadis Nabi ﷺ yang sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ،17 سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ18 اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي.19

“Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu (laki-laki), dan aku adalah anak dari hamba-Mu (perempuan). Ubun-ubunku berada di tangan-Mu. Berlaku di dalam diriku hukum-Mu, artinya apa yang اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى putuskan, kita tidak bisa menolaknya, pasti akan terjadi pada diri kita. Adil keputusan-Mu, tidak ada di antara keputusan Allah yang zalim kepada manusia. Apa yang Allah takdirkan pasti akan menimpa kita, dan apa yang Allah takdirkan itu adalah adil, tidak ada kezaliman di dalamnya. Kemudian, ‘Aku meminta kepada-Mu ya Allah, dengan seluruh nama yang itu milik-Mu, yang Engkau telah memberi nama diri-Mu dengan nama tersebut, atau ada di antara nama tersebut yang Engkau turunkan di dalam Al-Qur’an, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara makhluk-Mu (yaitu diajarkan kepada seorang Nabi), atau Engkau simpan nama tersebut di dalam ilmu gaib di sisi-Mu.’ Berarti ada nama Allah yang diajarkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, ada yang ada di dalam sunah, ada yang disimpan oleh Allah di dalam ilmu gaib. Tidak semua Asmaul Husna diberitahukan kepada kita. Kemudian, ‘Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, dan cahaya bagi dadaku, dan sebagai penghilang dari kesedihanku, dan sebagai penghilang dari kegelisahanku.'”

Orang yang mengucapkan doa seperti ini, maka اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan menghilangkan kesedihan dari dia dan kegelisahan dia. Dan masing-masing dari kita punya kegelisahan, punya keresahan, memikirkan anaknya, memikirkan keluarganya, memikirkan bisnisnya. Baca doa ini, niscaya kalau kita baca sungguh-sungguh dengan memahami maknanya, maka akan hilang seluruh kegelisahan, keresahan yang ada, dan اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan menggantikan dengan jalan keluar. Ya, sebelumnya dia gelisah, resah, sedih memikirkan sesuatu, ketika dia membaca doa ini, dan doa ini adalah doa yang diajarkan oleh Nabi ﷺ, termasuk yang diutamakan untuk dibaca, maka insya Allah akan hilang seluruh kegelisahan dan keresahan yang ada di dalam dirinya. Antum baca doa ini.

Dan beliau رَحِمَهُ اللَّهُ menutup doa ini, ee, menutup kitab ini dengan menyebutkan doa ini supaya kita bisa mengamalkan isinya. Dengan demikian, kita telah menyelesaikan kitab yang bermanfaat ini. Kita berdoa di akhir majelis ini, semoga اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menjadikan ilmu yang kita pelajari adalah ilmu yang bermanfaat, ilmu yang kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari, yang memberikan atsar (bekas) dan juga pengaruh di dalam kehidupan kita. Dan tentunya kita doakan semoga Syekh رَحِمَهُ اللَّهُ mendapatkan pahala, semoga اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى membalas beliau dengan balasan yang lebih baik.

Demikian yang bisa kita sampaikan, ayyuhal ikhwah. Alhamdulillah binikmatihi tatimmush shalihat. جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا atas perhatian Antum semuanya, dan mohon maaf mungkin tidak ada pertanyaan. Semoga اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memudahkan kita semuanya untuk bertemu kembali, tapi di Jawa ya, di Jawa ketemunya. بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ.

صَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.